Menurutnya, pemerintah saat ini perlu mengambil langkah serius untuk memperkuat sistem pertahanan siber yang serangannya setiap bari makin gencar dan menguat.
"Pertahanan siber kita masih lemah, kita jadi negara yang sangat rentan terhadap serangan siber. Sehingga perlu diambil langkah oleh kita semua untuk serius pada penguatan pertahanan dari serangan siber," ujar Bambang di Pusdikhub Kodiklat TNI AD, Cimahi, Kamis (9/11/2023).
Ia mengungkap, data serangan siber yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan laporan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), ada jutaan serangan siber yang menghantam Indonesia sepanjang tahun 2023.
"Pada September 2023 saja, tercatat ada 6 juta serangan siber menghantam Indonesia. Lalu istana menerima 1 juta serangan siber. Pada semester pertama tahun 2023, DKI Jakarta menjadi wilayah dengan sumber serangan siber terbanyak dibanding daerah lain, dengan 11,2 juta serangan," kata Bambang.
Bambang menjelaskan, berdasarkan data alamat protokol internet yang digunakan untuk melakukan serangan siber, Indonesia menduduki peringkat 11 dunia sebagai kontributor serangan siber terbanyak.
Secara global, Indonesia ada di peringkat ke-8 dengan jumlah kasus kebocoran data tertinggi dan negara dengan pembobolan data terbanyak di Asia Tenggara. Index pertahanan siber Indonesia juga masih sangat lemah, berada di kisaran 3,46 poin, jauh dari indeks rata-rata global di angka 6,19 poin.
Sebagai data pembanding dari National Security Index, tercatat jika nilai keamanan siber Indonesia hanya sebesar 64 persen dan menempati urutan ke-47 secara global.
"Dengan gambaran tadi, maka penting bagi kita menata orientasi pertahanan dan keamanan nasional dari ancaman siber," ujar Bambang.
Hanya saja, menurut Bambang, saat ini pemerintah belum memprioritaskan penguatan pertahanan siber tanah air lantaran masih fokus mewujudkan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
"Sayang karena keuangan negara sangat terbatas, sehingga kebutuhan yang sangat penting ini selalu tidak jadi prioritas. Pemerintah selalu mengesampingkan peningkatan anggaran untuk ketahanan siber kita. Misalnya anggaran BSSN, sangat memprihatinkan jauh dari tanggungjawab yang diemban," kata Bambang.
Sementara secara regulasi, pemerintah juga belum memiliki Undang-Undang (UU) mengenai keamanan siber. Saat ini, di Indonesia sendiri baru terdapat UU ITE dan data pribadi.
"Soal keamanan siber dan infrastrukturnya belum kita miliki," kata Bambang.
Bambang lalu mengingatkan potensi bahaya serangan siber dan perkembangan teknologi yang sangat pesat menjelang Pemilu Serentak tahun 2024 mendatang. Menurutnya sebaran berita dan informasi pada tahun politik nanti berkaitan dengan kecenderungan masyarakat Indonesia memegang ponsel setiap waktu.
"Ada kecenderungan, hari-hari rakyat kita 80 persen waktunya tidak lepas dari handphone. Mau sibuk atau luang, semua bermain handphone," kata Bambang.
Belum lagi dengan perilaku orang Indonesia yang gemar membagikan informasi tanpa melakukan kroscek lagi mengenai informasi yang mereka dapatkan. "Kemudian ketika terima info, masyarakat hanya baca sekilas, langsung share. Ternyata mungkin isinya fitnah, jadi isinya makin lama makin jadi," tutur Bambang.
Contoh lainnya, penggunaan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) yang belakangan sedang tren. Seperti beredarnya video-video beberapa tokoh yang tidak sesuai dengan kondisi aslinya.
"Belum lagi penggunaan AI, harus hati-hati terhadap kemajuan teknologi AI ini karena sangat berbahaya. Beberapa kali di medsos, ada video Pak Jokowi nyanyi, Pak Luhut menyanyi. Ternyata itu buatan AI, bukan mereka yang bernyanyi. Jadi membuat video menyanyi saja bisa, apalagi pidato dengan tidak sesuai pada fakta," ujar Bambang.
Bambang mengatakan informasi-informasi yang beredar di media sosial namun tidak sesuai dengan faktanya, hal itu menjadi cara termudah untuk mengacak-acak kondusifitas dalam negeri.
"Jadi ada anekdot kalau mau bikin chaos atau gaduh Indonesia, nggak usah kirim roket dan kapal perang, tapi kirim saja fitnah pasti ramai," ucap Bambang. (mso/mso)