Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memproyeksikan jumlah penduduk dunia akan mencapai 9,7 miliar jiwa pada 2050 mendatang. Untuk memberi makan populasi manusia di masa depan, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menghitung, kita perlu memproduksi 60-70% lebih banyak pangan dari saat ini untuk memberi makan miliaran orang tersebut.
Indonesia, seperti banyak negara di seluruh dunia lainnya turut menghadapi tantangan yang serupa untuk menjaga keseimbangan antara pertanian dan populasi manusia. Dari hasil perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) dengan skema moderat, jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 333,57 juta jiwa pada 2050 atau bertambah 63,99 juta jiwa dari 2022.
Kita berkaca pada Jawa Barat yang merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia, menurut Bappenas persentase penduduk perkotaan di Jawa Barat akan mencapai 93% pada 2045. Di balik kemajuan pembangunan ada lampu kuning yang menyala, sebab menurut UU No 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, kawasan perkotaan tak menjadikan pertanian sebagai pekerjaan utamanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tentunya dari kedua sisi itu memberikan tantangan tersendiri. Di mana saat kebutuhan pangan di masa depan dituntut lebih banyak, tetapi lahan dan sumber daya produksi pangan semakin menyempit.
"Seringkali alasan orang kekurangan gizi adalah karena mereka tidak dapat menanam makanan yang cukup untuk dirinya sendiri, atau tidak mempunyai cukup uang untuk membelinya," seperti dinukil dalam kronik 'Feeding the World Sustainably' dalam laman un.org.
Oleh karena itu, ekstensifikasi pangan ke wilayah perkotaan dengan skema urban farming di masa depan merupakan keniscayaan. Kabar baiknya, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi dengan persentase penduduk usia produktif hingga 60% pada tahun 2030 - 2040, artinya masih ada peluang untuk menanamkan semangat bertani urban kepada kawula muda hari ini untuk menjaga ketahanan pangan di masa depan.
Seni Tani, Rahim Petani Urban Muda dari Perkotaan
Semilir angin membelai lembut saat cerita 'Growing Vegetables Soup' dituturkan. Penyimak ceritanya yakni tujuh anak-anak berusia 2-8 tahun, mereka kelihatan asyik mengikuti alur cerita tentang ayah dan anaknya yang menanam sayuran untuk sup.
Cerita karya Lois Ehlert itu sedianya menjadi pembuka kegiatan menanam yang akan dilakukan anak-anak tersebut kemudian. Matahari sudah mulai meninggi, ketujuh anak yang sudah memakai topi safari siap untuk bercocok tanam dengan membawa peralatan masing-masing.
Di sela-sela aktivitas anak-anak itu, ada Vania Febriyantie (30). Ia turut mengarahkan anak-anak tata cara berkebun bersama rekannya, Fathan Abdillah. Keduanya tampak cekatan saat meladeni aksi dan pertanyaan polos khas anak-anak.
Usai bercocok tanam, anak-anak kemudian diajak berkeliling melihat kandang ayam dan budidaya lele dalam ember di kebun komunal Seni Tani. Mereka juga diajak berkarya dengan menggunakan stempel dengan motif dedaunan sebagai penutup kegiatan 'Berkebun Gembira'.
'Berkebun Gembira' merupakan kegiatan rutin akhir pekan dari Seni Tani. Seni Tani sendiri merupakan urban farming social-enterprise di bidang pertanian yang diinisasi oleh Vania dan kawan-kawannya sejak tahun 2020. Salah satu misi dari usaha ini adalah untuk meregenerasi petani muda.
Penuaan usia petani patut menjadi perhatian bersama. Pasalnya, kegiatan produksi pertanian bila hanya dilakukan oleh generasi tua, maka lambat laun jumlah petani akan berkurang dari tahun ke tahun.
Pusat Riset Kependudukan BRIN mengungkapkan jumlah petani usia muda (15-24 tahun) mengalami penurunan lebih besar dibandingkan dengan jumlah petani usia tua.
Jumlah petani usia muda pada 2004 sebesar 5,95 juta menurun menjadi 5,02 juta pada tahun 2012 (BPS, 2005 dan 2013). Menurunnya minat pemuda terhadap sektor tani karena profesi petani dianggap tak menguntungkan dan tidak membanggakan.
Pemuda desa lebih tertarik mencari pekerjaan di kota dan tidak kembali ke desa, sehingga lahan-lahan garapan kehilangan tenaga kerja muda, yang tersisa adalah petani dengan penduduk yang semakin menua. Kondisi tersebut tak luput dari perhatian Vania.
"Kita punya misi, kita ingin mengenalkan profesi petani ke anak-anak sejak dini. Sekarang dunia pertanian tidak disorot anak-anak muda. Kita bikin gimana caranya, supaya kita bisa memberikan awareness dimulai dari anak-anak usia dini ini. Kita kenalin ke dunia tani, kita tanam makanan mereka segala macam-macam, dan menekankan bahwa ada profesi petani yang penting peranannya bagi kita," ujar penerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2021 kategori khusus itu.
![]() |
Sekilas tentang Seni Tani, gerakan mewujudkan ketahanan pangan lokal ini lahir atas kegelisahan dan kekhawatiran Vania dan kawan-kawannya, saat melihat berita pasokan pangan di Kota Bandung masih bergantung dari luar. Mereka juga melihat ada lahan tidur yang tak termanfaatkan di kawasan Arcamanik, Kota Bandung.
Dari segi sosial, gerakan ini juga ingin mengajak kawula muda untuk bertani sekaligus nature healing. Karena dari berbagai sumber, ada keterkaitan antara tingkat depresi dan penggunaan media sosial yang berlebihan di kalangan generasi muda.
Dalam masa perjuangannya, ada pengalaman yang membuat Vania terhenyak, pasalnya ia pernah menemukan ada anak yang enggan makan sayur gegara melihat panen sayuran di kebun. Ia cukup kaget, karena ada jarak yang begitu jauh yang membuat anak merasa asing dengan asal muasal makanannya.
"Kami pernah menemukan ada anak TK, kemudian kita berkebun dan panen sayur bareng. Sebenarnya dia suka makan sayur, cuma pas datang ke Seni Tani tidak mau makan sayur dari seni Tani. Katanya itu dari tanah sayurnya, bukan dari supermarket. Sedih kan jadi koneksi asal makanan kita itu jauh. Kita ingin ngasih perhatian sebenarnya, makanan kamu itu bukan dari supermarket asalnya tapi dari tanah," ujarnya.
Selain 'Berkebun Gembira', Seni Tani juga memiliki program 'Tani Bestari' program edukasi pertanian kepada pemuda dan pemudi di perkotaan. Di sana anak-anak muda diajarkan proses bertani hingga bagaimana melihat peluang pasar. Tak jarang ada mahasiswa magang dari berbagai kampus yang menjadikan Seni Tani sebagai living lab, mereka belajar proses bertani secara urban.
"Tak semuanya memang jadi petani usai program ini, ada yang ke usaha beverages, tapi karena dia sudah terpapar dia jadi fair terhadap petani," kata mojang kelahiran Lhokseumawe itu.
![]() |
Menurut Vania saat ini pemuda di Indonesia lebih tertarik bekerja di sektor bidang jasa dan manufaktur dibandingkan dengan pertanian. Padahal jika dihadapkan dengan kondisi bonus demografi Indonesia, regenerasi petani menjadi sangat penting karena pemuda memiliki peran sebagai agen perubahan.
"Sebetulnya untuk regenerasi petani penting banget, saat mereka di golden age itu, mereka jadi agen perubahan yang bisa membuat keputusan. Kalau tidak ada yang fokus di sana (pertanian), terus kita mau makan apa," katanya.
Ia berharap regenerasi petani muda juga dapat diiringi dengan inovasi teknologi pertanian. Pasalnya, dampak dari El Nino di Indonesia sangat kentara di pertengahan hingga akhir tahun 2023 ini yang membuat lahan tanam mengering karena kekurangan air.
"Kita merasakan plot produksi di sana tadinya rutin menghasilkan sayur, tapi karena sekarang kekeringan yang sudah kering banget, sayurannya kerdil dan layu jadi enggak produksi. Kita berusaha menghubungkan dengan situasi di 2050, itu bisa saja sulit sekali makan, ke hilir juga sulit, jadi menurut aku regenerasi itu penting banget sebetulnya, ya kalau tidak ada petani mau makan apa kita?" katanya.
Tani Sauyunan, Pelanggan Senang, Petani Tenang
Seni Tani juga menginisiasi community supporter agriculture (CSA) untuk mengedukasi dan mendekatkan akses pangan ke konsumen. Dikutip dari 1000kebun.org, konsep CSA memungkinkan petani terhubung secara langsung dengan konsumen serta berkolaborasi untuk berbagi manfaat dan risiko bercocok tanam dalam komunitas.
Jika secara konvensional produk pangan segar dapat dibeli ketika produk sudah dipanen, namun dalam konsep CSA, konsumen dilibatkan dalam proses produksi sebagai anggota dari komunitas. Pihak petani dengan anggota dalam konsep CSA memiliki hak dan kewajiban masing-masing.
Anggota berhak mendapatkan sayuran sesuai dengan kesepakatan dan petani berhak untuk memperoleh modal dari anggota. Anggota berkewajiban memberikan dukungan pada kegiatan bercocok tanam sebagai anggota komunitas seperti memberikan modal, membantu petani merawat tanaman dan bahkan mencurahkan pikiran untuk turut berdiskusi mengenai keberlangsungan kegiatan CSA.
Sedangkan petani memiliki kewajiban untuk memaksimalkan modal yang diberikan oleh anggota untuk kegiatan bercocok tanam dan merawat tanaman dengan penuh tanggung jawab. Di sisi lainnya, petani juga jadi lebih memiliki kepastian usaha. Nantinya Seni Tani akan mendistribusikan hasil tani kepada pelanggan CSA.
"Sebetulnya untuk pemenuhan akses pangan dekat ke warga, karena rantai distribusi yang lebih pendek, gimana kita mendistribusikannya. CSA singkatnya sih langganan gitu tiap bulan. Dengan sistem CSA ini kita ingin mengenalkan juga siapa produsennya, kita ingin meningkatkan kesadaran ke pelanggan CSA agar mereka paham asal makanannya dari mana, kita kenalin petani ini dari mana, terus cara nanamnya yang ramah lingkungan dan berkelanjutan," kata Vania.
Untuk mewujudkan CSA, Seni Tani memanfaatkan lahan tidur di perkotaan sebagai lahan produksi, dalam hal ini lahan yang berada di bawah lokasi SUTT Arcamanik yang dijadikan sebagai kebun komunal. Hasil pertaniannya pun tak main-main, dari kebun komunal seluas 1000 meter persegi terhasilkan 330.92 kilogram berbagai jenis sayuran sehat.
Sayuran-sayuran tersebut mendapatkan nutrisi alami dari lasagna compost yang diolah di lahan dengan menggunakan material organik di sekitar kebun seperti rumput liar, ilalang, jerami padi hingga ampas kopi dari beberapa kedai kopi mitra Seni Tani.
Bertani Bukan Sekedar Cari Cuan
Vania menekankan konsep bertani bukan hanya sekedar berjualan sayur atau mencari cuan. Menurutnya bertani merupakan salah satu kemampuan bertahan hidup yang wajib dimiliki oleh setiap orang, apalagi saat ini ancaman krisis pangan karena perubahan iklim dan menyusutnya lahan garapan menghantui.
"Ada value kita harus bisa survive untuk menanam makanan kita sendiri. Kalau ada perang-perang itu ngeri, di sisi lain bertani itu menjadi kebutuhan primer. Bertani itu konsep utamanya untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarga, bertani bukan hanya sekedar mencari uang tapi pemenuhan hidup dan pembelajaran hidup," katanya.
![]() |
Salah satu tantangan yang dihadapi untuk mencetak petani muda, ialah kecenderungan kawula muda yang membandingkan kehidupan sosial dengan segala kemudahan dan tren yang ada di media sosial. Fenomena fear of missing out (FOMO) atau takut ketinggalan tren juga menjadi salah satu penyebab pemuda terlilit pinjaman online (pinjol). Hasil riset dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menunjukkan jumlah rekening penerima pinjaman aktif generasi muda (19-34) tahun ke pinjol naik dari 9,6 juta rekening pada Januari 2022 ke 10,68 juta rekening pada Juli 2023.
"Anak-anak cenderung membandingkan terhadap orang lain di media sosial, dia compare terhadap orang lain yang dapat duit instan. Dia bisa loh mengikuti tren tapi dia ngutang, itu lebih ke arah sistem, konsumtif dan lingkungannya juga, kita diracuni banyak hal di luar sana," katanya.
"Terus makanan juga yang beredar sekarang juga ada yang artificial. Kenapa ada anak yang kena penyakit diabetes dan datang bulan di awal-awal, di usia yang masih kecil, ya itu pengaruh makanan juga. Akses makanan yang real food jarang dikenalkan orang tua juga. Itu juga jadi sistem (yang membentuk perilaku), aksi reaksi yang terjadi," katanya.
Ia menilai jalan agar pertanian dilirik dan diminati oleh kawula muda masih panjang dan berliku. Walau begitu, ia memupuk asa, suatu hari petani yang disebut Ir Soekarno sebagai kependekan dari 'Penyangga Tatanan Negara Indonesia' bisa menjadi profesi bergengsi yang diresmikan oleh negara.
"Saya harap petani menjadi profesi yang keren, menjadi profesi yang menjanjikan. Mudah-mudahan nanti ada urban-urban farmer lainnya," pungkasnya.
Tantangan Petani Urban Muda: Konsistensi
Sinar matahari sudah cukup terik kala Taufik Hidayat membawa semaian kangkung yang ia bawa dari lahan penyemaian Seni Tani yang juga memanfaatkan lahan tidur. Ditempatkanya kotak-kotak semaian itu di dalam gudang terbuka.
Opik, pemuda berusia 20 tahun itu akrab disapa, merupakan salah satu petani urban muda yang aktif di kebun urban Seni Tani. Ia bergabung dengan gerakan petani perkotaan yang dirintis Vania cs sejak tahun 2020. Sehari-harinya, Opik yang aktif bertani sambil menyelesaikan pendidikan studi akuntasi di STIA Bagasasi.
Tak hanya mengurusi bercocok tanam, Opik dibantu dengan rekan-rekan dari Seni Tani lainnya juga beternak ikan lele dalam ember dan juga ayam di kebun komunal. Setelah tiga tahun aktif bertani, Opik kini memiliki wawasan tentang proses produksi pangan di perkotaan yang mumpuni.
Pemahaman soal rantai pemasaran pascapanen dengan model CSA pun turut ia dapatkan. Opik juga mulai terbiasa membuat pupuk kompos alami dari dedaunan dan sisa makanan, demi pertanian yang berkelanjutan.
"Jadi lebih tahu tentang pertanian yang tadinya nol banget. Jadi tahu menanam sayur begini, market begini. Awalnya benar-benar dari nol soal tani," ujar Opik kepada detikJabar di kebun komunal Seni Tani.
![]() |
Ia memandang penting bagi anak muda untuk terjun ke dunia pertanian. Andai petani tak ada lagi di masa depan karena pemuda tak meminati sektor pertanian, ia khawatir akan muncul kerawanan pangan yang membuat banyak orang kelaparan.
"Regenerasi petani itu penting, kalau melihat ke sini petani semakin berkurang. Kalau tidak ada petani nanti bagaimana makan kita?" ujarnya.
Menurutnya bercocok tanam tidak perlu lahan yang luas. Ia meyakini lahan seluas 1x1 meter pun bisa dimanfaatkan untuk menanam pangan. Minimal, dari satu pot cabai rawit atau bawang daun bisa memangkas pengeluaran untuk belanja dapur tipis-tipis.
"Ada kepuasan tersendiri apalagi yang panennya bagus. Memang kita harus konsisten. Karena ada juga teman Opik yang mau bertani pakai lahan tidur, tidak berlanjut, kalau misal diajak katanya sibuk atau bilangnya takut kepanasan entar kulit kusam," katanya.
KBA Pasirluyu: Lahan Tidur dan Semangat Bertani Urban yang Tak Pernah Layu
Selain dihadapkan dengan regenerasi petani, tantangan untuk melaksanakan pertanian di perkotaan adalah masalah lahan yang terbatas. Berdasarkan data Indeks Ketahanan Pangan Global atau Global Food Safety Initiative (GFSI), indeks ketahanan pangan Indonesia pada 2022 berada di angka 60,2 atau peringkat ke-63 dari 113 negara. Angka ini masih di bawah indeks rata-rata dunia sebesar 62,2 dan Asia Pasifik sebesar 63,42.
Adapun salah satu masalah yang mengancam ketahanan pangan Indonesia adalah adanya alih fungsi lahan pertanian yang mencapai 90-100 ribu hektare setiap tahun. Namun, tantangan itu mampu dihadapi oleh warga RW 08 Mengger Girang, Pasirluyu, Regol, Kota Bandung.
Dengan memanfaatkan lahan tidur seluas kurang lebih 20 meter persegi di tengah permukiman padat penduduk, warga dari Kampung Bersinar Astra (KBA) Pasirluyu memupuk asa menuju kemandirian pangan. Program dari KBA Pasirluyu ini berkolaborasi dengan program Buruan SAE yang dicanangkan oleh Pemkot Bandung.
"Ada beberapa jenis tanaman yang kami tanam, macam sayur-sayuran. Ada pakcoy kemarin baru dipanen, sekarang ditanam kembali. Kangkung, cengek, terong, bawang, pepaya juga ada," ujar pengelola Buruan SAE Mengger Girang, Slamet kepada detikJabar.
Warga tak perlu pusing bila mencari tumbuhan untuk obat herbal. Pasalnya, di lahan tanam yang membentuk 'Letter L' itu ada juga daun kumis kucing (Orthosiphon aristatus), daun pecah beling (Strobilanthes crispus), jahe (Zingiber officinale), jahe merah (Zingiber officinale Var Rubrum), kencur (Kaempferia galanga), kunyit (Curcuma longa), mint (Mentha piperita L) dan lainnya.
"Pokoknya tanaman obat juga itu segala macamnya kami tanam," ujar Slamet. Saat ini, Buruan SAE itu dikelola oleh kurang lebih 15 orang.
![]() |
Slamet tak menapik jika kendala lahan menjadi salah satu hal yang harus dihadapi oleh para petani di perkotaan. Lahan menanam yang dipakai saat ini, sedianya merupakan milik warga yang kerap difungsikan sebagai tempat parkir sementara.
"Pemilik lahan belum mau membangun, jadi dipinjam dulu lahan tidurnya. Ini juga kan untuk kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi. Si pemilik juga setuju, daripada lahannya jadi tempat pembuangan sampah yang bikin kotor," ucapnya.
"Tanaman ada yang ditanam di tanah, ada juga yang pakai polybag. Karena memang sebagian lahannya itu ada yang sudah disemen," katanya menambahkan.
Di salah satu sudut Buruan SAE, warga juga memanfaatkan ember sebagai organic vertical garden (OTG) OTG merupakan tiga ember bekas yang disusun secara vertikal. Badan ember yang sudah disusun ini dibuat lubang-lubang untuk menanam sehingga dalam lahan yang sempit tetap dapat menghasilkan sayur yang lebih banyak.
OTG juga punya fungsi lain selain media tanam, ember itu bisa menjadi tempat pengomposan karena di tengah-tengah OTG ada selongsong untuk mengompos sampah organik. Untuk memenuhi kebutuhan protein, warga KBA Pasirluyu juga beternak lele dengan menggunakan metode budikdamber (budidaya ikan dalam ember).
Caranya dengan menernakkan ikan lele di dalam ember. Air yang berada di dalam ember dimanfaatkan juga untuk mengairi sayuran di Buruan SAE. "Jadi ini program Astra infrastrukturnya kita sangat didukung, DKPP juga menyumbang untuk tanaman, sarana dan prasarana seperti budikdamber, ada ternak ayam juga untuk ketahanan pangan warga di sini," ujarnya.
Optimalisasi Lahan Tidur
Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma'ruf Amin meminta agar optimalisasi pemanfaatan lahan tidur yang tidak diberdayakan terus digenjot, khususnya untuk menjadi lahan usaha tani yang produktif.
"Saya minta tidak ada lagi lahan tidur, karena itu diperlukan optimasi lahan tidur sehingga menjadi lahan usaha tani yang produktif," ujar Wapres Ma'ruf Amin di Cibitung, Kabupaten Bekasi seperti dikutip dari wapresri.go.id.
Ia mengingatkan, khususnya kepada TNI dan pemerintah daerah agar upaya optimasi lahan yang dilakukan memperhatikan legalitas lahan yang jelas dan tidak dalam sengketa. Hal itu untuk meminimalisasi terjadinya konflik dengan warga sekitar.
Di samping itu, Wapres mengharapkan agar pemerintah daerah dan masyarakat untuk terus meningkatkan potensi sumber pangan lokal, utamanya peningkatan produksi bahan pangan dari sumber protein hewani dan nabati.
"Kenalkan diversifikasi makanan pokok non beras di daerah masing-masing yang memiliki nilai gizi setara dengan beras, seperti sagu, umbi-umbian, jagung, dan lainnya," urainya.
Program Petani Milenial
Beragam program telah dicanangkan pemerintah untuk menyedot minat pemuda ke sektor pertanian. Salah satunya program Petani Milenial yang diinisiasi oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Program ini digadang-gadang menjadi salah satu program unggulan dari Gubernur Jabar era Ridwan Kamil. Di sini, petani muda diberikan akses teknologi dan perbankan, berikut pendampingan untuk mengembangkan wirausaha tani.
Ada sejumlah focus dari program ini, di antaranya pemulihan perekonomian masyarakat, menumbuhkembangkan semangat wirausaha tani bagi generasi milenial, dan terakhir meningkatkan budidaya pertanian di Jawa Barat. Pemprov selain bertugas sebagai pendamping, juga sebagai jembatan antara petani dengan offtaker.
Dikutip dari laman petanimilenial.jabarprov.go.id, sejak diresmikan pada tahun 2020, sedikitnya ada 8.000 petani muda yang mengikuti program ini. Para peserta, ujar Arifin, mendapatkan pendampingan selama satu hingga dua tahun baik dari sisi teknis menanam hingga perbankan.
"Apa yang kami lakukan dengan petani milenial, kami coba agar mereka tertarik. Tapi kendalanya ada di perbankan, jadi mungkin bagi petani yang belum familiar atau petani baru, akan terus ada pendampingan," ucap Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan (DKPP) Jawa Barat Arifin Soendjayana kepada detikJabar saat dihubungi.
"Saya coba berkoordinasi dengan Gabungan Koperasi Seluruh Indonesia (GKSI), saya mencoba agar petani milenial ada pendampingan dari GKSI sebagai induknya. Dan itu lumayan, ada beberapa lokasi di Sukabumi, Cianjur yang sudah mulai bagus," ujarnya melanjutkan.
![]() |
Arifin tak membantah terkait data BPS yang menyebutkan jika jumlah petani muda terus merosot setiap tahunnya karena berbagai faktor. Namun, ia optimistis dengan mengadopsi teknologi dan digitalisasi kendala di bidang pertanian satu per satu bisa diatasi, termasuk menjawab isu terbatasnya lahan garapan.
"Seperti polanya ada kandang atau apartemen ayam. Dari lahan yang asalnya 140 meter persegi yang cukup untuk 1.000 ekor ayam, bisa jadi 5.000 ekor ayam. Produktivitasnya juga jadi meningkat. Itu yang kemudian kita sugestikan ke mereka. Soal perikanan memberi pakannya cukup sambil baca buku dan pencet dari hp," katanya.
Pemerintah juga, ujar Arifin, kerap memberikan bantuan stimulus kepada petani muda untuk mengembangkan potensi lokal.
"Sisi lain kami coba dari subsektor peternakan ini ayam kampung. Posisi Jabar punya potensi ayam kampung pentul. Program Petani Milenial kita bagikan 500 anak ayam termasuk pakannya dan Alhamdulillah, hampir 60 persen mereka cukup berhasil padahal mereka pemula. Untuk pasarnya ayam kampung ini juga masih terbuka," katanya.
Masa Depan Pangan Indonesia Ada di Perkotaan
Guru Besar Unpad Prof Tualar Simarmata menyebut pertanian dan perkotaan itu ibarat rel yang seiring sejalan tetapi berbeda arah. Ia menyebut saat lahan perkotaan semakin luas, lahan pertanian justru sebaliknya.
"Lahan pertanian itu semakin berkurang, semakin menyempit satu tahun kita kurang lebih antara 125 ribu hingga 150 ribu hektare dikonversi menjadi non pertanian. Kemudian di sisi lain itu lahan untuk perkotaan bertumbuh," ujar Prof Tualar dalam Satu Jam Bincang Ilmu (Sajabi). Prof Tualar telah mengizinkan detikJabar untuk mengutip penjelasannya dalam siniar tersebut.
Dari catatan Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk daerah perkotaan di Indonesia pada 2035 melambung ke angka 66,6% dari 49,8% di 2010. Provinsi Jawa Barat diproyeksikan akan mengalami lompatan wilayah ke perkotaan tertinggi yakni dari 65,7% pada 2010 ke angka 89,3% pada 2035.
Sementara itu, jumlah penduduk di Indonesia juga kurang lebih akan mencapai sekitar 333 juta orang pada tahun 2050. Tualar menyebut jumlah penduduk yang semakin banyak, tetapi lahan pertanian semakin sempit bisa memunculkan potensi krisis.
"Ratusan juta orang ini makannya dari mana? makanan sintetis? pisang sintetis ? tidak, susu sintetis? tidak. Oleh karena itu pertanian kita harus bergeser ke perkotaan," katanya.
Menurutnya sudah tak relevan lagi membicarakan ekstensifikasi perluasan pertanian ke luar Jawa atau membuka areal baru. Pasalnya, mau tidak mau pertanian harus bisa mengadopsi dengan lahan-lahan yang ada di perkotaan. Walau terkesan berat, Tualar justru melihat ada peluang baru di sana.
"Ternyata areal baru itu ada di perkotaan, dan luar biasa marketnya ada di perkotaan dan petaninya di perkotaan. Itu yang kita sebut dengan petani milenial, petani digital. Oleh karena itu masa depan pertanian di perkotaan," kata Tualar.
"Urban farming is the future of Indonesia, jadi jangan lagi menganggap pertanian di perkotaan jangan iseng-iseng, tidak ini serius, harus didorong dengan kebijakan yang tumbuh. Gedung kosong daripada sarang hantu jadi pertanian di situ," ucapnya menambahkan.
![]() |
Di mancanegara, ujar Tualar, banyak contoh sukses tentang pengolahan pertanian perkotaan. Salah satunya adalah Singapura. Generasi muda di Singapura mulai bertani di gedung atau atau atap parkiran di tengah-tengah kota. Bahkan di Jepang, ujarnya, panen padi bisa dilakukan di dalam gedung.
"Sudah dilihat dari luar negeri itu, mereka punya tantangan yang besar, karena selain suhu, matahari juga kurang. Oleh karena itu mereka mengembangkan urban farming, di Indonesia baru dilirik. Tidak ada matahari bisa diganti dengan lampu LED, itu murah ratusan ribu bisa 30 ribu jam nyalanya," ucapnya.
Untuk menjalankan urban farming, Tualar mengatakan pola pikir dari petani juga harus bergeser dari bekerja keras menjadi bekerja cerdas. Konsep smart farming pun, menurutnya tidak melulu soal urusan teknologi mutakhir yang perlu modal besar.
"Kita sudah memasuki smart farming. Orang menganggap smart farming itu teknologi yang bagaimana, tidak smart farming itu murah. Kini semua orang sudah punya hp, saya juga terbiasa melayani pertanyaan dari petani dari seluruh Indonesia melalui hp ini," ujarnya.
Selain itu, untuk melahirkan petani-petani muda untuk menjalankan urban farming, Tualar juga menekankan soal edukasi pertanian sejak dini.
"Kita ketinggalan, karena orang tua memesankan kepada anak-anaknya jangan jadi petani, karena jadi petani penuh penderitaan termasuk ke saya ini. Padahal tidak seperti itu. Jadi pertanian ini harus dikenalkan sejak dini, di sekolah SD, SMP, SMA harusnya jadi jendela teknologi pertanian, showroom kita harus kenalkan di sana," ucap Tualar.
(yum/yum)