Biaya Pengobatan Gangguan Jiwa Warga Indonesia Butuh Rp87,5 Triliun

Biaya Pengobatan Gangguan Jiwa Warga Indonesia Butuh Rp87,5 Triliun

Bima Bagaskara - detikJabar
Kamis, 01 Jun 2023 23:00 WIB
Lonely girl sitting on the floor
Ilustrasi gangguan jiwa (Foto: Getty Images/D-Keine)
Bandung -

Indonesia membutuhkan biaya yang yang sangat besar untuk biaya pengobatan gangguan kesehatan jiwa yang dialami warganya. Tidak tanggung-tanggung, estimasi biaya yang diperlukan mencapai Rp 87,5 triliun atau USD 6,2 miliar.

Hal itu diungkapkan Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof. Irma Melyani Puspitasari. Dia memaparkan jika biaya tersebut merupakan estimasi prevalensi gangguan kesehatan jiwa, mencakup skizofrenia, bipolar, depresi, dan gangguan kecemasan selama setahun.

"Adapun rincian biaya pengobatan tahunan adalah Rp 1,5 triliun untuk skizofrenia, Rp 62,9 triliun untuk gangguan bipolar, Rp 18,9 triliun untuk depresi dan Rp 4,2 triliun untuk gangguan kecemasan," kata Irma dalam keterangan tertulis yang diterima detikJabar, Kamis (1/6/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya pada tahun 2018, 470 ribu orang di Indonesia mengalami skizofrenia. Sementara orang yang mengalami gangguan bipolar, depresi, dan gangguan kecemasan ada sekitar 19 juta orang. Biaya itu digunakan dengan asumsi semua pasien mematuhi perawatan medis dalam setahun.

Dalam penelitian yang dilakukan Prof. Irma dan tim pada 2020, didapatkan hasil bahwa biaya rata-rata pengobatan skizofrenia untuk satu tahun sekitar Rp 3,3 juta. Sementara untuk gangguan bipolar sekitar Rp 17,9 juta, depresi sekitar Rp 1,6 juta dan gangguan kecemasan Rp 1,1 juta.

ADVERTISEMENT

Estimasi penghitungan ini didasarkan pada Burden of Disease (BOD) atau cost of illness. Pada studi cost of illness ada beberapa biaya yang dapat diikutsertakan, yaitu biaya langsung, biaya tidak langsung, dan biaya intangible.

"Biaya langsung biasanya berupa biaya obat, biaya konsultasi dokter, dan biaya administrasi. Biaya tidak langsung itu kerugian produktivitas karena tidak bekerja dan juga ada biaya intangible," jelasnya.

Namun Irma mengatakan jika estimasi biaya kesehatan jiwa itu akan lebih rendah, karena tidak semua individu dengan gangguan jiwa di Indonesia mencari pertolongan untuk kondisinya atau patuh berobat. Data Riskesdas melaporkan bahwa hanya 9% pasien depresi di Indonesia yang mendapatkan pengobatan.

"Hal ini mungkin terjadi karena pengetahuan tentang kesehatan jiwa yang kurang baik, sikap negatif terhadap pengobatan, efek samping pengobatan, efek terapeutik yang buruk, serta adanya stigma di masyarakat," ungkapnya.

Prof. Irma juga mengadakan survei tentang persepsi, pengetahuan, serta sikap terhadap gangguan kesehatan jiwa dan pengobatannya kepada para mahasiswa. Hasilnya, 51,29% mahasiswa masih memiliki perspektif negatif terhadap gangguan kesehatan jiwa dan pengobatannya.

Karena itu dia menyampaikan bahwa promosi kesehatan tentang gangguan kesehatan jiwa harus dilakukan untuk meningkatkan perspektif menjadi positif, pengetahuan yang lebih baik, dan juga sikap positif dari masyarakat dan salah satu caranya adalah melalui media sosial.

Prof. Irma bersama tim juga mengembangkan aplikasi "De-stres" untuk memantau stress level dan deteksi dini dari gangguan kesehatan jiwa di Indonesia. Aplikasi ini dapat mengukur tingkat stress dan membantu orang mengenali respon tubuh terhadap stress serta deteksi dini gangguan kesehatan jiwa seseorang.

"Aplikasi ini sudah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan telah diunduh lebih dari 1.800 pengguna," tandas Prof. Irma.




(tey/tey)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads