Terlibat dalam pengujian pesawat N219 Nurtonio selama 500 jam penerbangan menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi Hindawan Hariowibowo. Dia mengaku senang bisa menjadi bagian sejarah dalam pengetesan pesawat buatan anak bangsa ini.
Kepada detikJabar, pria yang bekerja sebagai senior flight test engineer PT DI itu mengaku banyak jenis pesawat yang pernah diikuti dalam uji terbangnya. Namun dari sekian banyak pesawat yang diujinya, ada satu pesawat yang uji terbangnya belum dirampungkan yakni pesawat N250.
"Ya jenis tes saya udah hampir semua produk PTDI mulai yang bersayap tetap atau fixed wing itu ada 212, kemudian ada CN235 dan waktu itu ada yang pesawat yang paling canggihnya PTDI N250," kata Hindawan kepada detikJabar, Selasa, 16 Mei 2023.
Hindawan mengungkapkan, dia sempat ikut dalam flight test pesawat N250 atau dikenal Gatot Kaca kebanggaan warga Indonesia itu. Pada zamannya, pesawat ini adalah pesawat canggih yang dibuat Indonesia .
"Dulu waktu N250 itu saya ikut diterbangkan perdananya yang fly by wire itu. Kemudian yang helikopter atau wing juga, itu saya juga ikut semua sampai yang kemarin aks yang tes torpedo itu," ujarnya.
Baca juga: Pesawat CN235 Buatan PTDI Dilirik Guinea |
Lain dengan pesawat N219, Hindawan menyebut flight test pesawat N250 membutuhkan waktu cukup lama atau tiga kali lipat dari uji terbang pesawat N219.
"Rencana uji terbang atau test plan yang paling panjang itu yang N250, itu karena dia dulu fly by wire dan kita rencana membuat 4 prototipe. Tapi baru jadi 2 terus programnya disetop-kan oleh IMF waktu itu, nah rencana total 4 ini dulu fly test plannya 1500 jam," ungkapnya.
Pesawat N250 hanya tinggal cerita, bahkan satu dari prototipe pesawat ini sudah dimuseumkan dan satu lainnya masih terparkir di kawasan PTDI. Salah satu pesawat karya BJ Habibie ini sudah ada di Museum Pusat TNI AU Dirgantara, Yogyakarta.
Menurutnya, dari 1500 jam uji terbang yang dibutuhkan oleh dua pesawat ini, Hindawan menyebut pesawat itu sudah terbang 800 jam.
"Nah kita udah terbang setengahnya kira-kira udah 800, eh ditutup sama pemerintah program ini jadi pas baru setengahnya gitu. Programnya udah jadi museum-kan kayaknya dimuseumkan nah ini padahal pesawatnya canggih pada masanya dan kalau ini masuk dan selesai yang ATR-ATR (perusahaan pesawat Eropa) itu nggak ada berterbangan di sini karena itu terus kita ditutup akhirnya yang masuk yang ATR ke Indonesia," jelasnya.
Disinggung mengapa alasannya program pesawat itu tak diteruskan, Hindawan menyebut pada saat itu Indonesia mengalami krisis moneter. Mungkin karena itu, program pesawat tersebut tidak berlanjut.
"Nah dulu jadi kelihatannya kan itu pas Indonesia krismon (krisis moneter) kan 97 ya, jadi kita habis air show dari Paris, kita bawa pesawatnya N250 ke Paris kita lakukan air show nah, di-situ mungkin kompetitor Barat juga mulai lihat gitukan," tuturnya.
Dia menilai, pesawat ini sangat canggih pada masanya dan kualitasnya tidak diragukan lagi. "Pesawat ini berpotensi lah untuk itu karena di-kelasnya itu dia yang paling maju dan dari survei market Indonesia memang paling butuh itu gitu selain misalnya kelas Boeing sama Airbus ya kan," paparnya.
Disinggung seperti apa perasaannya saat ini, Hindawan mengaku cukup sedih.
"Wah itu sedih juga gitu, benar-benar apa merasa kayak di dalam tanda kutip dicurangin gitu ya sama yang Barat gitu. Dia ngeliat ada potensi ini kemudian kita proyeknya ditutup khususkan ada klausul khusus gitu di IMF bahwa nggak boleh dilanjutkan proyek N250 itu," pungkasnya.
(wip/yum)