Gunung Semeru di Jawa Timur mengalami erupsi pada Minggu (4/12/2022) kemarin. Erupsi itu membuat pemerintah setempat menetapkan status tanggap darurat hingga 17 Desember 2022.
Erupsi yang terjadi pada gunung tertinggi di Pulau Jawa itu dikomentari oleh pakar gunung api Universitas Padjadjaran (Unpad), Nana Sulaksana. Bukan soal erupsinya yang jadi perhatian Nana, namun sistem peringatan dini bencana.
Nana mempertanyakan sistem peringatan dini (early warning system) dalam memantau aktivitas Gunung Semeru. Nana mengatakan erupsi yang terjadi pada Semeru kali ini berbeda dengan tahun 2021 lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, banjir lahar akibat erupsi Semeru tahun lalu dipicu adanya persentuhan aktivitas vulkanik dengan cuaca ekstrem di wilayah tersebut. Namun kali ini, erupsi terjadi karena naiknya magma di dalam gunung.
"Erupsi kali ini betul-betul proses erupsi akibat naiknya magma," kata Nana dalam keterangannya, Selasa (6/12/2022).
Menurut Nana, erupsi gunung api bukanlah suatu peristiwa yang luar biasa besar. Soal Semeru, gunung itu kata dia sudah berstatus siaga sejak 16 Desember 2021. Status Semeru baru naik menjadi awas pada Minggu (4/12/2022) pukul 12.00 WIB.
Ia pun mempertanyakan soal peringatan dini yang dianggap terlambat. Sebab, erupsi pada Semeru diperkirakan sudah terjadi sejak Minggu pukul 03.00 WIB.
"Ini menurut saya adalah masalah. Sebab kehadiran instansi vulkanologi itu justru untuk memberikan peringatan sedini mungkin sebelum letusan terjadi, berdasarkan hasil pengamatan pemantauan melalui pos pengamatan yang ada," ungkapnya.
Karena itu, Nana mempertanyakan optimalisasi sistem peringatan dini sebelum erupsi Semeru terjadi. Sistem peringatan dini sebaiknya dikeluarkan sedini mungkin hingga diketahui oleh masyarakat. Tujuannya agar proses evakuasi lebih cepat dilakukan.
Guru Besar Fakultas Teknik Geologi Unpad ini juga mempertanyakan soal peran dari daerah dalam hal pemantauan gunung api. Menurut Nana, perlu ada otonomi daerah agar penyampaian informasi peringatan dini ke masyarakat menjadi lebih cepat.
"Sebagai contoh kita lihat penaikan status itu gunung api kan itu oleh instansi pusat. Kan artinya itu ada rentang birokrasi laporan dari pos pengamatan yang notabene ada di daerah ada di sekitar Semeru, lapor ke kepala vulkanologi terus ke atas lagi ke Badan Geologi, itu terlalu jauh," tegasnya.
Selain itu, Nana juga menuturkan jika untuk mendapat pengamatan gunung api tan optimal, diperlukan sarana dan sumber data manusia yang mumpuni. Ketersediaan pos, peralatan pengamatan, hingga ahli vulkanologi perlu ada untuk mengetahui seluk beluk karakter dari satu gunung berapi.
Peringatan dini kata dia juga harus optimal dengan adanya peta detail mengenai aliran lahar. Adanya material erupsi menumpuk di tubuh gunung berapi yang berupa endapan awan panas, ditambah dengan cuaca ekstrem sangat rentan terjadi luapan lahar panas maupun dingin.
"Pemetaan potensi lahar panas dan dingin harus selalu di-update," tutup Nana.
(bba/mso)