Waspada! Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik Kian Merajalela

Waspada! Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik Kian Merajalela

Bima Bagaskara - detikJabar
Jumat, 02 Des 2022 21:40 WIB
Poster
Ilustrasi kekerasan (Foto: Edi Wahyono/detikcom).
Bandung -

Kekerasan seksual berbasis elektronik jadi kasus yang paling banyak ditangani oleh 10 lembaga anggota Forum Pengada Layanan (FPL) di Wilayah DKI Jakarta, Jawa
Barat, Banten dan Kalimantan, sejak Januari hingga November 2022.

Dari total 1.510 kasus kekerasan seksual, jumlah kekerasan seksual berbasis elektronik mencapai angka 518 kasus yang dilaporkan. Hal ini menunjukkan bahwa minimnya ruang aman bagi korban termasuk di dunia digital.

"Sebenarnya kalau angka kekerasan seksual yah itu empat tahun belakang ini terutama sejak pandemi kekerasan seksual berbasis elektronik itu sangat tinggi yang berani dilaporkan. Yang paling signifikan itu berbasis elektronik," kata Ira Imelda dari Women Crisis Center (WCC) Pasundan Durebang-Bandung, Jumat (2/12/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ira menjelaskan kekerasan seksual yang termasuk dalam kategori elektronik bisa bermacam-macam bentuknya. Ia menyebut perekaman dan penyebarluasan konten yang mengarah ke pornografi tanpa diketahui oleh salah satu pihak sudah menjurus pada kekerasan seksual berbasis elektronik.

"Ancaman perekaman yah, misalnya ada kasus mantan suami istri, ada perekaman ketika berhubungan seksual, ketika bercerai video itu dipakai untuk eksploitasi ancaman dan sebagainya. Perekaman konten foto video yang korbannya nggak tahu. Ada juga yang lagi mandi kemudian di videokan selain memang ada revenge porn," ujarnya.

ADVERTISEMENT

Adapun kondisi terberat dari kekerasan seksual berbasis elektronik itu menurut Ira adalah dimana korban tidak mengetahui jika pelaku sudah menyebarluaskan baik foto maupun video pribadinya.

Sementara ketika hal itu mencuat ke publik dan diusut oleh pihak berwajib, korban yang seharusnya mendapat perlindungan justru dikriminalisasi karena dianggap turut andil dalam pembuatan konten porno itu.

"Yang paling berat itu ketika dia (korban) tidak tahu direkam atau difoto itu disebarkan, sebelum ada UU TPKS ini, masuk kriminalisasi, dianggap turut serta membuat konten pornografi, padahal dia nggak tahu," ungkap Ira.

Dengan telah disahkannya UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), Ira bersyukur korban yang mengalami kekerasan seksual berbasis elektronik kini bisa dilindungi dan tidak akan terjerat UU ITE.

"Karena ya tadinya yang diterpakan pakai UU ITE, korban kena juga padahal dia kan korban jadi dianggap ikut andil. Dengan UU TPKS ini korbannya dilindungi," jelasnya.

Masih kata Ira, dengan adanya UU TPKS, ia berharap pemerintah bisa segera bertindak untuk berpihak kepada korban kekerasan seksual berbasis elektronik dengan menghapus jejak digital. Karena selama ini menurutnya, hal itu masih diabaikan.

"Yang pasti kalau di UU TPKS ada disebutkan bahwa pemerintah punya kewajiban untuk menghilangkan rekam jejak digital bagi korban kekerasan seksual berbasis elektronik," ujarnya.

"Selama ini dibiarkan saja, kasusnya diproses tapi kontennya masih menyebar, jadi itu berdampak juga bagi korban. Dan di UU TPKS itu pemerintah diharapkan bisa menghapus jejak digital bagi korban kekerasan seksual," ujar Ira.

(bba/mso)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads