Kasus kekerasan seksual akhir-akhir ini semakin banyak terungkap setelah mereka yang menjadi korban mulai berani bersuara dan melapor untuk mencari keadilan. Namun, di sisi lain, kekerasan seksual masih jadi ancaman nyata yang bisa menimpa siapa saja.
Data yang dicatat oleh 10 lembaga anggota Forum Pengada Layanan (FPL) di Wilayah DKI Jakarta, Jabar, Banten dan Kalimantan, sejak Januari hingga November 2022 ada 1.510 kasus kekerasan seksual yang ditangani.
Sa'adah selaku pengurus FPL Koordinator Wilayah DKI, Jabar, Banten, dan Kalimantan mengungkapkan angka kasus yang terungkap itu menandakan semakin banyaknya korban kekerasan seksual yang berani untuk berbicara, melaporkan kasusnya dan mencari pertolongan dan keadilan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Namun di sisi lain dapat terlihat bahwa kekerasan seksual masih merupakan persoalan yang perlu ditangani secara serius," ungkap Sa'adah dalam acara launching data kasus kekerasan seksual di Kantor Sinode GKP, Kota Bandung, Jumat (2/12/2022).
Sa'adah mengatakan sebagaimana fenomena gunung es, jumlah kumulatif kekerasan seksual berbeda jika dikomparasikan dengan fakta jumlah kekerasan seksual yang terjadi di lapangan.
Dia menilai hal itu disebabkan oleh beberapa hal, antara lain keengganan dan ketakutan para korban dan keluarganya untuk melaporkan kasusnya karena stigma yang dilekatkan pada korban, hingga anggapan bahwa kekerasan seksual adalah aib.
"Ancaman pelaku, minimnya akses informasi tentang lembaga penyedia layanan, hingga lambatnya proses hukum sehingga membuat korban menyerah dan tidak ingin melanjutkan proses hukumnya," kata Sa'adah.
Secara khusus, data kasus kekerasan seksual merekam isu-isu khusus yang muncul. Isu tersebut meliputi jenis kekerasan seksual yang dilaporkan mencakup seluruh kekerasan seksual yang terdapat dalam UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Selain itu, dari 1.510 kasus, 90% jumlah korban yang ditangani adalah perempuan, dengan rentang usia 0-60 tahun.
"Jumlah kasus kekerasan seksual berbasis elektronik sangat signifikan mencapai 518 kasus yang dilaporkan. Hal ini menunjukkan bahwa minimnya ruang aman bagi korban termasuk di dunia digital," ujar Sa'adah.
"Mayoritas pelaku adalah orang yang dikenal oleh korban, atau yang seharusnya bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan bagi korban," imbuhnya.
Sa'adah juga mengungkapkan, untuk menangani dan menyelesaikan kasus kekerasan seksual, FPL menemukan berbagai kendala seperti belum diimplementasikannya UU TPKS hingga aparat penegak hukum yang belum berperspektif pada korban.
Atas dasar itulah, FPL mendesak agar pemangku kebijakan seperti Kemenkumham, Kemendikbud, Kemenkes, Kemenkominfo, aparat penegak hukum hingga masyarakat untuk sama-sama memberikan jaminan kepada korban kekerasan seksual.
(bba/mso)