Gawat! Cuma 2 Persen Lulusan Informatika yang Jadi Tenaga IT

Gawat! Cuma 2 Persen Lulusan Informatika yang Jadi Tenaga IT

Tya Eka Yulianti - detikJabar
Jumat, 02 Des 2022 09:38 WIB
Program Gaskeun Startup! detikJabar bersama Budi Rahardjo, Akademisi yang juga Technopreneur serta Dyan R. Helmi - Founder dan CEO, Alkademi - UMPTN.ID.
Program Gaskeun Startup! detikJabar bersama Budi Rahardjo, Akademisi yang juga Technopreneur serta Dyan R. Helmi - Founder dan CEO, Alkademi - UMPTN.ID. (Foto: Wisma Putra/detikJabar)
Bandung -

Kampus-kampus di Indonesia menghasilkan lulusan informatika sekitar 600 ribu setiap tahunnya. Namun, hanya 2 persen dari jumlah tersebut yang menekuni dan terjun di dunia IT (information technology).

Kondisi ini membuat Indonesia berada dalam krisis tenaga IT. Padahal saat ini perkembangan teknologi dan semangat digitalisasi sedang gencar-gencarnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Menurut data riset McKinsey, di tahun 2030 kita akan kekurangan 10 juta talenta digital. Ironinya, Indonesia ini berlimpah SDM. Kita bukan kekurangan orang, tapi kekurangan skill," tutur Founder dan CEO Alkademi.id Dyan R Helmi dalam program Gasskeun Startup #3 bertema Indonesia Darurat Tenaga IT yang tayang di detikcom, Kamis (1/12/2022).

Ia menyebut dari 600 ribu lulusan informatika per tahun, hanya 2 persennya saja yang terjun sebagai IT. Sementara sisanya menempati pekerjaan-pekerjaan di luar IT dan bahkan banyak yang masih menganggur.

ADVERTISEMENT

"Kita kadang bingung 600 ribu ribu itu pada kemana. Jadi setahun hanya 12 ribu saja kita nambah tenaga IT, sementara dibutuhkan 10 juta nih sampai 2030, jauh banget ngejarnya. Dengan kondisi seperti ini, dalam 10 tahun, kita hanya bisa hasilkan 120 ribu tenaga IT, sementara butuhnya 10 juta," paparnya.

Menurut Helmi, ada jurang yang cukup jauh antara kebutuhan industri dan lulusan kampus atau talenta IT yang dimiliki Indonesia. Teknologi selalu mengalami kebaruan sementara kampus tak bisa mengejar kemajuan yang pesat itu.

"Kalau mahasiswa hanya mengandalkan pendidikan dari kampusnya saja susah. Mahasiswa yang rajin di kampus itu paling baru dapat 30 persennya saja, kalau dia mau nambah portofolio dengan ikut pelatihan, bootcamp dll bisa naik 50-60 persen lah kemampuannya. Tapi anak-anak muda sekarang tuh susah mau belajar tambahan," kata Helmi.

Senada dengan Helmi, Budi Rahardjo, Akademisi yang juga Technopreneur menuturkan kondisi krisis tenaga IT seperti ini memang sulit. Ia mengakui banyak mahasiswanya yang kurang berminat untuk menekuni IT.

"Iya memang betul begitu kondisinya. Kadang kita juga bingung nih, kampus kan menghasilkan SDM IT, tapi sama perusahaan tuh enggak nyambung. Karena yang dibutuhkan perusahaan dan yang diberikan di kampus itu berbeda. Tapi kampus itu sebenarnya mau berubah, hanya saja lambat," ujar Budi.

Dosen ITB itu juga mengungkap jika untuk menambah atau mengganti kurikulum di kampus tidak semudah itu.

"Misalnya ada 160 SKS, itukan udah ada materinya. Nah untuk memilih mana materi yang dibuang, mana diganti itu tidak mudah. Kalau menambahkan, berarti SKS bertambah. Nah, kalo gitu lulusnya makin lama, nah mahasiswa enggak mau. Makanya kalau kampus-kampus itu mata kuliahnya itu agak statik, terlambat," jelasnya.

Seperti contoh, kebutuhan di industri IT saat ini adalah micro services, block chain, quality control dan banyak lainnya. Namun di kampus hal-hal seperti itu tidak ada di mata kuliah.

"Kampus hanya menyiapkan dasarnnya saja, fondasi. Makanya untuk mengejar yang baru-barunya itu harus dari luar," tambah Budi.

Upaya yang bisa dilakukan dari kampus yakni mengajak pihak luar, dengan membuat berbagai program magang dengan perusahaan atau pelatihan (bootcamp) yang bisa menambah skill mahasiswa.

"Tapi berbeda dengan mahasiswa dulu, sekarang tuh mahasiswa tuh jarang yang mau ambil project. Kita ajak untuk magang atau dikasih project, disuruh main, itu enggak mau. Mereka inginnya cepet lulus. Kalau mahasiswa dulu itu mau ambil walaupun lebih lama lulusnya. Sayang sekali padahal itu dibutuhkan di industri," tuturnya.

Budi yang juga memiliki 2 startup pun mengakui jika ia kesulitan memenuhi kebutuhan tenaga IT. "Startup saya kecil saja susah cari orang IT. Saya sering dimintai tolong untuk carikan orang pun ga sanggup, karena memang sesulit itu carinya," kata Budi.

Simak lebih lengkap perbincangan tentang Indonesia Darurat Tenaga It di program Gaskeun Startup di sini.




(tya/ern)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads