Suasana hati Ndis, bukan nama sebenarnya, diguyur kebahagiaan. Musababnya, Bale Pasewakan di Kampung Cicalung, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB) bakal menggelar acara. Bale ini merupakan tempat para penghayat Budi Daya menggelar pertemuan.
Ndis bersekolah di salah satu SMA di Bandung Barat. Ia mendapat mandat dari organisasi penghayat Budi Daya untuk menyampaikan surat undangan kepada pihak sekolah. Isinya soal kegiatan yang bakal digelar para penghayat Budi Daya di Bale Pasewakan.
Ndis memberanikan diri menyampaikan surat undangan itu kepada salah seorang guru pengawas ujian penilaian tengah semester (PTS) di kelas Ndis. Kemudian, mandat dari organisasi pun Ndis tunaikan. Ia sampaikan surat undangan itu ke guru pengawas. Tiba-tiba, kebahagiaan Ndis berujung kesedihan. Ia mendapat diskriminasi dari guru pengawas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Gurunya nanya, surat undangan apa itu. Terus, saya jawab, undangan acara keagamaan. Berarti ada ceramah dong, kata gurunya," ucap Ndis menirukan dialog dengan guru pengawasnya saat berbincang dengan detikJabar belum lama ini.
Ndis mengingat betul kejadian diskriminasi yang dialaminya pada 16 September 2022 silam, sehari sebelum kegiatan di Bale Pasewakan digelar. Ndis kemudian melanjutkan dialognya dengan guru pengawas yang melakukan diskriminasi. Saat sang guru menanyakan persoalan ada ceramah atau tidak, Ndis menjawab tidak ada ceramah. Guru tersebut berpikir Ndis seorang muslim. Ndis pun memberitahu gurunya, bahwa dirinya bukanlah muslim.
"Saya bukan muslim. Terus agamanya apa, katanya. Saya jawab agama kepercayaan," ucap siswi berusia 16 tahun itu.
Usai Ndis mengaku seorang penghayat kepercayaan. Ndis menceritakan guru pengawas itu mengeluarkan kata-kata yang membuat hatinya merasa sakit. Terlebih lagi, kata-kata itu diucapkan dengan nada tinggi. Sikap intoleransi sang guru itu membuat Ndis menangis. "Jaman sekarang masih ada agama kepercayaan, kan itu atheis. Ngomongnya pakai nada tinggi," kata Ndis menirukan ucapan guru pengawasnya itu.
Ndis tak diam. Ia menjawab bahwa penghayat kepercayaan sudah diakui oleh negara. Jawaban Ndis langsung dibantah. Guru secara sadar menolak penjelasan Ndis.
Usai mendapatkan perilaku intoleran dari sang guru, Ndis pulang ke rumah dengan penuh kucuran air mata. Ia mengadu pada orang tuanya. Hingga akhirnya, orang tuanya datang ke sekolah. Ndis trauma dengan kejadian itu. Ia sangat menyayangkan sikap sekolah yang seakan tutup mata adanya tindakan intoleransi.
"Ya keinginan saya mah, kan kita hidup di Indonesia ya yang sangat beragam dan tidak semua pelajar di sekolah teh agamanya sama. Kan seharusnya ya toleransi lah gitu. Setidaknya kalau nggak tahu bertanya dulu, bukannya langsung nge-judge kayak gitu," tutur Ndis.
"Sebenarnya ini pertama kali saya alami (intoleransi) dari guru. Kalau dari teman sering, nggak pernah saya tanggapin," kata Ndis menambahkan.
Ndis berjuang melawan sikap intoleransi dan diskriminasi. Organisasi Budi Daya memfasilitasi para penghayat Budi Daya yang masuk duduk di bangku sekolah untuk bersuara saat mendapatkan sikap intoleran maupun diskriminasi. Ndis dan kawan-kawannya diminta untuk tak segan melapor ke penyuluh pendidikan penghayat kepercayaan Budi Daya. Atau, melaporkan ke orang tua.
Hal serupa juga dirasakan Pramudya, mahasiswa semester tiga di salah satu kampus di Bandung. Pram, sapaan akrabnya, mengaku pernah mendapatkan tindakan diskriminasi dari guru agamanya saat masih berseragam SD. Pram masih mengingat betul peristiwa itu.
"Waktu itu saat pertama daftar sekolah, sistem pendidikan kita belum menyediakan kolom kepercayaan. Saya isi kolom lain-lain," kata Pram saat ditemui di rumahnya di Kota Bandung.
Saat jam mata pelajaran agama, Pram tetap diberi tugas untuk menulis salah satu surat dalam agama yang diajarkan gurunya itu. Karena tak bisa, Pram pun tak mengumpulkan tugasnya. "Guru itu menepuk saya, menanyakan kenapa tidak dikerjakan. Saya jawab bahwa bukan pemeluk agama yang diajarkan guru saya. Akhirnya, saya bilang ke orang tua saya," kata mahasiswa berusia 20 tahun.
Setelah itu, diskriminasi tak lagi didapatkan Pram. Orang tua Pram memberikan penjelasan dan pemahaman tentang penghayat pada pihak sekolah.
Mengikis Diskriminasi
Orang tua Pram kini menjadi salah satu penyuluh pendidikan bagi penghayat Budi Daya. Bahkan, bisa dibilang sebagai pionir. Menurut data yang disampaikan salah seorang penyuluh pendidikan Budi Daya Cakra Arganata, saat ini siswa penghayat Budi Daya tersebar di beberapa sekolah di empat daerah di Jawa Barat, yakni Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Tasikmalaya. Para penyuluh ini mengajarkan tentang nilai-nilai penghayat bagi siswanya.
Sistem pengajaran telah dibuat. Hal ini tentunya mengikuti aturan pemerintah. Jumlah penyuluh pendidikan penghayat kepercayaan Budi Daya saat ini sebanyak 10 orang. Mereka merupakan tenaga pendidik sekaligus memperjuangkan kemerdekaan sekolah bagi para penghayat.
"Sekarang belajarnya online, kadang juga di Bale Pasewakan. Para penyuluh ini mengajar dari siswa SD hingga SMA," kata Cakra saat ditemui di kediamannya di Kota Bandung.
Cakra membeberkan dalam kurun waktu lima tahun terakhir, kasus diskriminasi terhadap siswa dari Budi Daya selalu terjadi. Setiap tahunnya tercatat satu kasus.
"Tahun 2017, kasus dialami siswa SMA. Pelakunya gurunya. Ya, disindir-sindir sesat, istilahnya ditelanjangi. Kemudian, apa yang dilakukan gurunya itu seperti menghasut teman-teman lainnya untuk memusuhi anak kami. Harusnya, guru tidak seperti itu," ucap Cakra.
Cakra membeberkan kasus diskriminasi lainnya yang dialami penghayat. Pada 2018, penyuluh mendapat laporan tentang perundungan terhadap penghayat kepercayaan yang masih berseragam SD. Cakra mengatakan siswa perempuan korban perundungan ini awalnya tak keluar kelas saat pendidikan agama. Kemudian, ia disindir bakal masuk neraka.
"Daripada di luar, anak ini tetap di dalam kelas dan diam. Tapi, malah disindir-sindir sama gurunya. Mental si anak jadi down, sampai tidak mau sekolah. Akhirnya kita lakukan pendekatan, ini kejadian di Bandung Barat," ucap Cakra.
"2019 juga ada, anak SD yang dipaksa memakai jilbab. 2021 kasusnya nilai agamanya kosong. Kemudian, tahun ini ada lagi anak SD yang dipaksa pakai jilbab. Itu kasus-kasus diskriminasi yang pernah penyuluh tangani," kata Cakra menambahkan.
Cakra dan penyuluh lainnya langsung sigap mendatangi sekolah saat menerima laporan. Ia berharap sekolah bisa memahami dan bertoleransi. Cakra juga mendorong agar sekolah lebih peka terhadap informasi atau aturan baru mengenai penilaian. Sebab, lanjut Cakra, kesalahan penilaian atau nilai rapot mata pelajaran yang kosong. Pendataan siswa, seperti tersedianya kolom agama kepercayaan saat mendaftar sekolah dari jenjang SD hingga kuliah. Hal ini akan memudahkan pendataan dan penilaian bagi pelajar Budi Daya. "Kemudian, kita masih minim dosen penghayat. Belum banyak kampus. Ini harus didorong juga," kata Cakra.
'Karena, hasil dari pendidikan ini adalah membuat mereka berani. Dulu saya nyalinya ciut, merasa sendiri karena takut. Saya pernah berpura-pura bukan penghayat. Mental saya dulu tidak sekuat sekarang. Sekarang, dengan adanya penyuluh pendidikan ini, anak-anak jadi punya mental dan berani," tutur Cakra menambahkan.
Teguran dan Sanksi
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Jabar Dedi Supandi mengaku telah menggelontorkan sejumlah kebijakan untuk menguat toleransi di lingkungan pendidikan, seperti kurikulum antiradikalisme dan tujuh harkat Disdik. Program tujuh harkat Disdik ini mengampanyekan tentang antiperundungan, anti-intoleransi, antikekerasan seksual, antinarkoba, antikorupsi dan antivandalisme. Jelang peringatan Hari Toleransi Nasional kemarin, Disdik Jabar bersama Sekolah SMAN 1 Kawali mendeklarasikan diri program sekolah toleransi dan antihoaks. "Semua program tentang menguatkan toleransi sudah kita jalankan, termasuk implementasi kurikulum antiradikalisme," kata Dedi kepada detikJabar.
Saat ditanya mengenai langkah Disdik Jabar ketika menerima laporan tindakan atau kasus intoleransi dan diskriminasi, Dedi mengaku secara tegas akan bersikap. Ia juga tak segan bakal memberikan teguran dan sanksi terhadap pelaku.
"Justru kemarin yang terjadi di Depok tidak terbukti. Kalau terjadi hal-hal itu, kita akan lakukan teguran dan bisa keluarkan sanksi," ucap Dedi.
"Jadi, pesan saya adalah Indonesia besar karena keanekaragaman, jika kita ingin jadi negara adi daya sampai Indonesia Emas harus menjaga toleransi. Lingkungan pendidikan itu harus mengajarkan soal toleransi ini. Jadi, jika lingkungan pendidikan tidak mendukung ke arah yang pengakuan terhadap keanekaragaman maka ancaman disintegrasi," ucap Dedi menambahkan.
(sud/iqk)