Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional diperingati setiap 5 November. Melalui peringatan ini, seluruh masyarakat diajak untuk mengambil bagian dalam menjaga dan melestarikan keragaman flora dan fauna di Indonesia. Salah satu tolak ukur untuk tingkat kepunahan suatu spesies adalah status konservasi.
Salah satu organisasi yang senantiasa melakukan penelitian terhadap status konservasi berbagai spesies adalah the International Union for Conservation of Nature's Red List of Threatened Species (IUCN). Dalam menjabarkan status konservasi aneka spesies, IUCN mengeluarkan 9 kategori status konservasi yang disebut IUCN Red List.
Terdapat 9 kategori daftar merah IUCN yaitu kekurangan data (Data Deficient/DD) tidak mengkhawatirkan (Least Concern/LC), mendekati terancam (Near Threatened/NT), rentan (Vulnerable/Vu), terancam berbahaya (Endangered/EN), terancam kritis (Critically Endangered/CR), punah di alam (Extinct in the Wild/EW), punah (Extinct), dan belum dievaluasi (Not Evaluated/NE). Untuk memahami lebih lanjut terkait pembagian kategori ini, simak visualisasi berikut.
Selain berbagai kategori tersebut, tolak ukur lainnya untuk melihat tingkat kelangkaan suatu spesies adalah apendiks yang dikeluarkan oleh Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES).
Menurut CITES, terdapat tiga appendiks. Apendiks I adalah daftar seluruh spesies yang dilarang untuk beredar dalam seluruh jenis perdagangan. Appendiks II merupakan spesies yang dapat semakin terancam punah jika perdagangan terus berlanjut tanpa diatur dan diawasi. Sedangkan, Appendiks III adalah spesies yang dilindungi di negara atau batas habitat tertentu yang sewaktu-waktu dapat naik tingkat menjadi Appendiks I atau II.
Dirangkum dari berbagai jurnal, situs organisasi, dan situs resmi pemerintah, berikut 20 puspa dan satwa yang hampir punah.
1. Trenggiling (Kritis - Appendix I)
![]() |
Trenggiling adalah salah satu hewan mamalia yang dapat dijumpai di Asia Tenggara seperti Indonesia, Thailand, Vietnam, Laos, Kamboja, dan Malaysia. Di Indonesia sendiri, hewan dengan nama latin Manis javanica ini biasa ditemukan di area Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Ciri khas trenggiling adalah memiliki sisik berbentuk runcing di sekujur tubuhnya yang dapat turut bergerak. Sisik tersebut menutup tubuh Trenggiling dari ujung nostril hingga ujung ekor. Sisik mamalia tersebut memiliki warna cokelat kekuningan, sedangkan bagian bawah tubuhnya tertutup rambut berwarna putih kecokelatan dan kulit berwarna abu-abu kebiruan.
Tubuh trenggiling dewasa memiliki panjang sekitar 79-88 cm dengan bobot 8-10 kg. Trenggiling memiliki kepala kecil yang runcing, mata kecil, mulut tanpa gigi, lidah kecil sepanjang 25 cm. Lidah panjang tersebut ia gunakan untuk menyantap semut, rayap, atau larva serangga. Dalam 21 tahun terakhir, populasi trenggiling turun 80 persen.
2. Tarsius Siau (Kritis - Appendiks II)
![]() |
Tarsius Siau merupakan spesies primata yang berhabitat di pulau Siau, Sulawesi Utara. Binatang nokturnal atau biasa aktif di malam hari ini memiliki nama latin Tarsius tumpara. Tarsius Siau menyukai tempat yang memiliki banyak rumpun bambu, akar pohon beringin, ataupun kayu yang berlubang sebagai tempat dirinya bersembunyi dan beristirahat.
Hewan ini memiliki ciri tubuh ekor panjang yang berbulu hanya pada bagian ujungnya. Tarsius Siau memiliki bulu abu-abu gelap dengan bintik-bintik cokelat. Setiap tangan dan kaki hewan nokturnal ini memiliki lima jari panjang. Kepala tarsius Siau juga dapat berputar hingga 180 derajat layaknya burung hantu.
Makanan utama primata ini adalah berbagai serangga seperti kecoa dan jangkrik. Namun, tarsius siau juga dapat memakan reptil kecil. Pada 2009, populasi tarsius Siau diperkirakan hanya tersisa 1.300-an ekor, menurun drastis sebanyak 80% dalam tiga generasi terakhir.
3. Rusa Bawean (Kritis - Appendiks I)
![]() |
Dikenal sebagai pelari ulung, rusa bawean merupakan salah satu jenis yang hanya hidup di kawasan Laut Jawa. Hewan dengan nama latin Axis kuhlii ini merupakan satwa endemik Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Rusa bawean biasanya aktif di sore hingga malam hari, sekitar pukul 17.00 sampai 21.00 WIB. Rusa bawean dewasa memiliki tinggi sekitar 65 cm dan panjang tubuh mencapai 140 cm. Rusa ini memiliki rambut pendek dengan tekstur halus berwarna kuning atau cokelat.
Karena tidak menyukai kehadiran manusia, rusa bawean biasanya menghabiskan waktunya di hutan atau lereng curam. Saat ini, hanya tersisa sekitar 300-an rusa bawean.
4. Orangutan Kalimantan (Kritis - Appendiks I)
![]() |
Orangutan Kalimantan adalah salah satu hewan endemik yang terbesar di area Kalimantan (Indonesia), Sabah, dan Serawak (Malaysia). Pongo pygmaeus banyak ditemukan di hutan dan lahan gambut dataran rendah (di bawah 500 mdpl). Mereka senang menjelajah area itu karena memiliki banyak tanaman berbuah besar.
Secara morfologi, orangutan Kalimantan memiliki rambut panjang dan kusut berwarna merah gelap kecokelatan. Warna wajahnya adalah merah muda, merah, dan hitam. Orangutan Kalimantan dewasa memiliki tinggi 1-1,5 meter dengan bobot sekitar 30-90 kg.
Dibandingkan orangutan Sumatera yang juga Kritis, orangutan Kalimantan memiliki tubuh yang lebih besar dan warna rambut yang lebih gelap. Tingkah laku orangutan Kalimantan juga cukup berbeda lantaran kerap bergerak lebih lambat dan sering melakukan aktivitas di tanah.
Jumlah keberadaan orangutan Kalimantan terus tergerus dikarenakan kehilangan habitatnya. Dalam satu dekade terakhir, paling tidak terdapat 1,2 juta hektare kawasan hutan di Indonesia yang digunakan sebagai kawasan penebangan berskala besar. Bahkan dalam 20 tahun terakhir, habitat orangutan Kalimantan telah berkurang sekitar 55 persen.
5. Badak Sumatra (Kritis - Appendiks I)
![]() |
Dahulu, populasi badak Sumatra tersebar di berbagai negara Asia Tenggara. Kini, 70% populasi badak Sumatra dunia terletak di beberapa taman nasional di Sumatra. Hewan dengan nama latin Dicerorhinus sumatrensis ini biasanya ditemukan di daerah berbukit yang dekat dengan air. Selain itu, ia juga dapat dijumpai di hutan hujan tropis hingga rawa-rawa dataran rendah.
Badak Sumatra merupakan badak terkecil dengan panjang 2-3 meter, tinggi 1-1,5 meter, dan bobot 600-950 kg. Badak Sumatra memiliki dua cula. Cula depan berkisar 25-80 cm, sedangkan cula belakang tidak lebih dari 10 cm. Ia memiliki kulit tipis, halus, licun, dan berwarna cokelat kemerahan.
Badak Sumatra merupakan salah satu hewan yang paling rentan punah. Pada 2016, populasi satwa ini diperkirakan kurang dari 100 individu di alam. Populasi ini kian tergerus akibat perkembangan pembangunan di pulau Sumatra.
6. Badak Jawa (Kritis - Appendiks I)
![]() |
Sejak 1930-an, populasi badak Jawa terkonsentrasi di Taman Nasional Ujung Kulon. Badak Jawa sendiri menyukai habitat hutan hujan dataran rendah dan rawa-rawa. Kendati demikian, terdapat pula beberapa badan Jawa yang terdapat di ketinggian 600 mdpl dengan habitat hutan yang rimbun, semak yang rapat, dan terdapat banyak tempat terbuka.
Badak Jawa merupakan badak bercula satu dengan panjang tubuh 3-4 meter, tinggi 1,2-1,7 meter, dan bobot sekitar 900-2.300 kg. Cula yang dimiliki badak Jawa memiliki ukuran 20-30,5 cm dan biasanya ditemukan pada badak jantan.
Badak Jawa memiliki warna kulit abu-abu dan kulit tebal berlipat-lipat yang terlihat seperti lapisan baju baja. Pada 2021 lalu, populasi badak Jawa hanya tersisa 75 ekor, menjadikannya salah satu hewan dengan populasi paling sedikit.
7. Monyet Yaki (Kritis - Appendiks II)
![]() |
Monyet yaki atau Monyet hitam Sulawesi adalah satwa endemik Pulau Sulawesi bagian utara. Primata yang memiliki nama latin Macaca nigra ini banyak dijumpai di area hutan, kawasan pesisir, bahkan di dataran tinggi hingga 2000 mdpl. Kendati demikian, monyet yaki juga sering ke area perkebunan untuk mencari makan.
Primata satu ini memiliki bulu berwarna hitam legam mengkilat di sekujur tubuhnya, kecuali area wajah, telapak tangan, dan pantat. Monyet yaki dewasa memiliki tinggi sekitar 44-60 cm dengan bobot 7-15 kg. Ciri khas yang membuatnya berbeda dengan monyet lain adalah jambul di kepalanya dan ekor sepanjang 20 cm.
Monyet yaki biasa mengonsumsi berbagai bagian tumbuhan seperti daun, biji, bunga, umbi, dan buah. Namun, primata ini dapat memakan beberapa jenis serangga, moluska, invertebrata kecil, bahkan ular. Saat ini, populasi monyet yaki hanya tersisa sekitar 3.000 ekor.
8. Lutung Simakobu (Kritis - Appendiks I)
Lutung Simakobu merupakan salah satu primata terancam punah yang berasal dari Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Habitat simakobu terletak di hutan hujan dataran rendah atau hutan daerah rawa air payau dan tawar yang dekat dengan lereng bukit.
Simakobu memiliki tubuh yang dipenuhi rambut berwarna cokelat kehitaman dan wajah yang dipenuhi rambut berwarna hitam. Rata-rata simakobu memiliki tubuh pendek dan gemuk. Panjang tubuh simakobu berkisar 45-52 cm, sedangkan beratnya 6-9 kg. Ekor simakobu juga tergolong pendek, hanya 15 cm saja.
Populasi simakobu terus terancam karena perburuan liar dan rusaknya habitat akibat deforestasi. Jumlah simakobu menurun sekitar 22-75 persen dari tahun 1980 hingga saat ini.
9. Beruk Mentawai (Kritis - Appendiks II)
Beruk Mentawai adalah satu-satunya monyet endemik kepulauan Mentawai, Sumatra. Hewan dengan nama latin Macaca pagensis ini dapat ditemui di area hutan bakau, pesisir pantai, hutan primer, dan hutan sekunder. Persebarannya terbatas di pulau Pagai Selatan, Pagai Utara, dan Sipora di Kepulauan Mentawai, Sumatra.
Beruk Mentawai dewasa memiliki panjang tubuh 40-55 cm dengan bobot 4,5-9 kg. Panjang ekor primata ini sekitar 10-16 cm. Beruk Mentawai memiliki bulu cokelat kekuningan di sekitar tubuhnya dengan mahkota berwarna cokelat dan rambut pada dahi serta mantel yang lebih panjang.
Primata yang satu ini memakan berbagai jenis daun, bunga, biji-bijian, dan buah-buahan. Biasanya, beruk Mentawai tinggal di atas pohon sekitar 24-36 meter. Pada 2004, populasi beruk Mentawai hanya tersisa 2.100-3.700 ekor, menyusut 86 persen dari tahun 1980.
10. Kukang Jawa (Kritis - Appendiks I)
Kukang Jawa banyak tersebar di Pulau Jawa, terutama dalam kawasan taman nasional cagar alam atau suaka margasatwa. Hewan dengan nama latin Nycticebus javanicus ini banyak ditemukan di hutan sekunder, perkebunan, dan batas tertentu dalam hutan primer.
Panjang tubuh hewan nokturnal ini sekitar 28-32 cm, bobot sekitar 575-750 gram, dan panjang ekor 10-20 cm. Kukang Jawa biasanya dipenuhi oleh rambut kelabu keputihan di sekujur tubuhnya. Ciri khas Kukang Jawa adalah terdapat rambut di sekitar telinga dan mata yang berwarna cokelat dan membentuk bulatan sehingga menyerupai kacamata.
Sebagai makanan sehari-hari, kukang Jawa biasanya menyantap getah kayu, nektar bunga, serangga, dan beberapa jenis buah-buahan. Populasi kukang Jawa terus menyusut lantaran kerap diburu dan habitat yang semakin mengecil. Dalam 24 tahun terakhir, diperkirakan populasinya menurun hingga 80%.
11. Surili (Genting)
![]() |
Surili adalah satwa khas Jawa Barat dan Banten. Primata ini tersebar di area hutan pantai sampai hutan pegunungan, mulai dari 0-2000 mdpl. Hewan dengan nama lain Presbytis comata ini kerap dijumpai di perbatasan antara hutan dengan kebun penduduk.
Surili dewasa biasanya memiliki panjang sekitar 42-60 cm, bobot 6,5 kg, dan panjang ekor sekitar 56-72 cm. Punggung primata satu ini biasanya berwarna hitam atau cokelat tua keabuan. Sedangkan, tubuh bagian depan surili memiliki warna putih.
Umumnya, surili menyantap daun muda, kuncup daun, buah, bunga, dan biji-bijian. Namun, surili juga dapat menyantap serangga, jamur, dan tanah. Surili yang sangat tergantung dengan keberadaan hutan sebagai tempat hidupnya semakin menurun populasinya seiring dengan maraknya penebangan hutan.
12. Paus Biru (Genting - Appendiks I)
![]() |
Kendati dapat ditemukan di nyaris seluruh belahan samudra, termasuk di perairan Indonesia. Umumnya, hewan dengan nama latin Balaenoptera musculus ini terdapat di perairan Antartika, Samudra Hindia, dan Samudra Atlantik.
Hewan mamalia terbesar di dunia ini memiliki panjang tubuh 33 meter dan bobot sekitar 181 ton. Warna punggung paus biru didominasi oleh warna biru kehijauan atau abu-abu, sedangkan bagian perutnya memiliki warna yang lebih terang.
Pada awal abad ke-20, populasi paus biru amat melimpah dengan kisaran sekitar 200.000-300.000 ekor. Namun, populasi hewan ini terus menyusut hingga 11.000-25.000 ekor saja. Pengikisan jumlah paus biru dikarenakan perburuan mamalia tersebut dan perubahan temperatur laut yang berpengaruh pada populasi krill, makanan utama paus biru.
13. Harimau Sumatra (Genting - Appendiks I)
![]() |
Harimau Sumatra merupakan hewan endemik Pulau Sumatra. Habitat Panthera tigris sumatrae ini adalah hutan dataran rendah hingga hutan pegunungan. Nyaris seluruh harimau Sumatra yang tersisa berada di cagar alam, taman nasional, dan kebun binatang.
Harimau Sumatra merupakan salah satu harimau yang bertubuh kecil. Harimau Sumatra dewasa memiliki panjang tubuh sekitar 198-250 cm, tinggi 60 cm, dan berat sekitar 90-140 kg. Keluarga Panthera yang satu ini memiliki lebih banyak janggut dan surai ketimbang sub-spesies harimau lainnya.
Diperkirakan saat ini populasi harimau Sumatra hanya tersisa 400-600 ekor saja. Mamalia satu ini terus berkurang karena adanya degradasi lahan, penghancuran habitat, hingga perburuan dan perdagangan harimau secara ilegal.
14. Musang Air (Genting - Appendiks II)
Musang air adalah salah satu binatang semi akuatik yang hanya bisa ditemukan di Sumatra, Kalimantan (Indonesia), Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand. Habitat Cynogale bennettii ini adalah hutan rawa gambut atau hutan kering dataran rendah. Binatang ini biasanya beredar di sekitar sungai dan lahan basah.
Karena terbiasa hidup di darat dan perairan, tubuh musang air pun sudah beradaptasi. Hewan ini memiliki mulut yang lebar dan kaki berselaput. Musang air merupakan salah satu hewan nokturnal.
Biasanya, hewan dilindungi ini menyantap ikan, kepiting, katak, dan moluska air tawar sebagai makanannya. Namun, ia juga terkadang memakan mamalia kecil, burung, dan buah. Populasi musang air dipekirakan menyusut hingga 50% dalam 15 tahun terakhir akibat deforestasi hutan, pencemaran air, dan rusaknya daerah aliran sungai.
15. Pesut Mahakam (Genting - Appendiks I)
Pesut Mahakam merupakan salah satu mamalia yang tersebar di air payau dekat pantai dan muara sungai. Oleh karena itu, mereka sering dijuluki lumba-lumba sungai sejati. Hewan yang memiliki nama latin Orcaella brevirostris ini banyak ditemukan di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur.
Pesut Mahakam memiliki bentuk serupa dengan lumba-lumba. Namun, moncong pesut sangat tumpul, tidak seperti moncong lumba-lumba yang panjang. Alhasil, kepala pesut memiliki bentuk membulat. Panjang pesut Mahakam dewasa sekitar 1,5-2,8 meter dengan berat 114-135 kg.
Populasi mamalia ini juga merupakan salah satu yang paling memprihatinkan. Pada 2018, pesut ini memiliki populasi global hanya sebanyak 80 ekor saja. Di Kalimantan, jumlah hewan ini terus menyusut akibat semakin sibuknya lalu lintas perairan Sungai Mahakam dan sekitarnya.
16. Edelweis (Kritis)
![]() |
Para pendaki gunung pasti sudah tidak asing dengan bunga edelweis. Bunga yang dijuluki bunga abadi ini hidup di ketinggian antara 1.600-3.600 mdpl. Bunga edelweis biasanya bermekaran di bulan April dan Agustus. Bunga ini tersebar di sekitar Asia Tengah, Tenggara, dan Selatan.
Ciri khas bunga edelweis adalah memiliki batang silinder, daun yang panjang dan tipis, berbulu lebat, serta tersebar. Bagian tengah bunga edelweis memiliki warna oranye dan kepala bunga menyerupai bunga aster. Bunga ini memiliki hormon etilen yang menyebabkan umur bunga itu dapat mencapai 100 tahun.
Bunga dengan nama latin Anaphalis javanica ini merupakan salah satu bunga yang dilindungi, Bahkan, orang yang melanggar UU terkait pelestarian bunga ini dapat didenda hingga Rp100 juta. Populasi bunga ini kerap menurun karena sering dipetik oleh pendaki yang tidak bertanggung jawab.
17. Acung Jangkung
Acung jangkung adalah salah satu tanaman endemik Jawa Barat dan Jawa Tengah. Tumbuhan dengan nama latin Amorphophallus decus-silvae Backer & Aldrew ini memiliki tinggi yang dapat mencapai 2-3,5 meter. Ciri tanaman ini adalah memiliki warna tangkai keabu-abuan dengan bintik-bintik cokelat tua.
Bunga yang mengeluarkan bau menyengat saat mekar ini termasuk salah satu tumbuhan yang dilindungi. Saat ini, diperkirakan populasi tumbuhan ini sudah berada di bawah 10.000. Salah satu faktor yang menjadi penyebab utama penurunan jumlah tumbuhan ini adalah alih fungsi lahan.
18. Kantong Semar
![]() |
Kantong semar adalah salah satu tumbuhan yang menempel pada batang pohon. Biasanya, kantong semar tumbuh pada tanah atau tempat-tempat yang miskin unsur hara. Beberapa varian kantong semar hidup di tempat lembab, sedangkan terdapat varian lainnya yang hidup di tempat terbuka dengan banyak cahaya matahari.
Tumbuhan yang satu ini merupakan tumbuhan karnivora, yaitu tumbuhan pemakan daging seperti serangga dan hewan kecil. Tumbuhan tersebut melahap makanannya menggunakan kantong yang dilapisi oleh lilin yang sangat licin.
Dari setidaknya 85 jenis kantong semar, terdapat 27 spesies terancam punah. Bahkan, salah satu jenis kantong semar yang memiliki nama latin Nephentes sumatrana masuk dalam status konservasi kritis.
19. Anggrek Hitam
Anggrek hitam merupakan salah satu tumbuhan yang tersebar di area Kalimantan dan Sumatra. Biasanya, anggrek dengan nama latin Coelogyne pandurata ini hidup di pohon yang dekat dengan sungai serta memiliki kelembapan sekitar 60-85%. Tumbuhan ini biasanya berbunga saat akhir tahun, sekitar Oktober hingga Desember.
Tumbuhan endemik dari pulau Kalimantan ini terus terancam karena diburu oleh kolektor dan perusakan hutan. Bahkan, kebakaran hutan yang melanda kawasan Kalimantan pun turut berpengaruh pada keberadaan anggrek hitam yang terletak dalam Cagar Alam Padang Luway.
20. Keruing Gunung
Keruing gunung atau dikenal juga dengan palahlar adalah salah satu jenis tumbuhan yang tersebar di berbagai area seperti Aceh, Bali, Lombok, Sumbawa, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Tumbuhan endemik di pulau Nusakambangan ini kerap ditemukan di area dengan kemiringan 0-40 derajat dan ketinggian 10-108 mdpl. Alhasil, tumbuhan ini biasa terdapat di dekat aliran sungai.
Tumbuhan dengan nama latin Dipterocarpus littoralis ini masuk ke dalam status konservasi kritis. Tumbuhan ini semakin berkurang karena kerap ditebang dan diambil secara ilegal untuk dijadikan kayu bakar.
Simak Video "Jual Satwa Dilindungi, Pemuda Semarang Dibekuk Polisi Cyber"
[Gambas:Video 20detik]
(tya/tey)