Petani yang tergabung dalam Serikat Petani Indonesia(SPI) PAC Jampang Tengah menolak permohonan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) yang diajukan PT Bumiloka Swakarya ke Kementrian ATR/BPN. Pihak pengelola perkebunan kakao itu mengaku menghadapi berbagai dilema.
SPI sendiri sudah mengadukan keinginan mereka untuk menolak perpanjangan HGU PT Bumi Swakarya kepada Sekretaris Komisi 3 DPRD Propinsi Jawa Barat Hasim Adnan. Ada 7 poin yang diutarakan SPI sebagai alasan kuat menolak perpanjangan itu.
Poin dimaksud antara lain :
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"1. 99,7 % lahan perkebunan sudah dikuasai oleh masyarakat di wilayah 5 Desa tersebut sehingga PT Bumiloka Swakarya hanya menguasai lahan secara fisik 0,030% saja
atau sekitar 5 Ha, sesuai pengakuan Bpk. Kakan Rusmawan sebagai kuasa Perusahaan saat pertemuan dengan komisi 1 DPRD Kabupaten Sukabumi dan BPN Kabupaten Sukabumi.
2. PT Bumiloka Swakarya tidak mampu mengelola lahan dengan baik sesuai dengan peruntukannya.
3. Sejak Tahun 2000 PT Bumiloka Swakarya, berkonflik dengan warga sekitar dibuktikan dengan adanya warga masyarakat yang dilaporkan dan di tahan di Poires
Sukabumi dan di ulang pada tahun 2015 sekitar 22 Orang warga di panggil Kapolres Sukabumi dengan tuduhan penyerobotan lahan dan perusakan tanaman.
4. PT Bumiloka Swakarya ,tidak mampu dan masih punya hutang kepada karyawan sejak tahun 2019 dan sampai saat ini ada puluhan karyawan yang tidak dibayar upahnya.
5. Sebagaian besar karyawan sudah tidak mau lagi bekerja di perkebunan PT Bumiloka Swakarya karena perusahaan tidak mau mengelola tenaga kerja sesuai Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berlaku
6. PT Bumiloka Swakarya sejak tahun 1992 sampai dengan sekarang tidak pernan membayar CSR kepada pemerintah maupun masyarakat setempat
7. Setelah memperhatikan Permen ATR No.1 tahun 2017 mengisyaratkan PT Bumiloka Swakarya tidak memenuhi syarat untuk di perpanjangan ataupun diperbaharui HGU-nya."
Lalu, apa kata pihak PT Bumiloka Swakarya? Melalui kuasa direksinya, Kakan Rusmawan, mereka mengatakan ada perusakan di area perkebunan penghasil coklat tersebut. Ia juga menunjukan foto-foto perusakan yang disebut dilakukan warga tersebut.
"Kami bisa jawab ini dengan fakta diterlantarkan atau dijarah jika seperti ini,berbagai cara kami lakukan. Bagaimana kondisi kami saat itu, bisa dilihat dari dokumentasi itu. (Tanaman) dalam posisi tanaman produktif dan menghasilkan pengakuan di poin satu itu memang benar adanya, tidak ada yang saya tutupi," kata Kakan kepada detikJabar, Jumat (5/8/2022).
![]() |
"(Tanaman) Ditebang, dibakar, bisa bayangin deh, di sisi lain saya harus jaga keselamatan karyawan, di lain sisi ada kewajiban karyawan jaga kebun sebagai tanggung jawab mereka ke perusahaan. Dilema, mudah-mudahan saja keadaan membaik kembali," sambung Kakan.
Kakan mengatakan, hasil dari perkebunan miliknya pernah menjadi nomor tiga di dunia dan kualitas tertinggi di Indonesia pada 2017 -2018. Itu terjadi saat kakao di lahannya masih banyak.
"Kakao masih produksi dan kita pernah jadi owner terbesar nomor tiga dunia dan kualitas tertinggi di Indonesia tahun 2017-2018 masih 80 persen populasinya," ujarnya.
Ia menjelaskan pada 2018 aksi penebangan mulai dilakukan masyarakat. Bukti pun masih ia kumpulkan di gudang perusahaannya.
Kakan menjelaskan sudah lama perusahaannya melakukan pertemuan dengan masyarakat. Namun hasilnya selalu tanpa keputusan alias deadlock.
"Kita sering melakukan pertemuan, tapi kan deadlock. Kalau lebih dari persentasi (permintaan lahan) lebih dari undang-undang, kami tidak bsia berikan mengingat tidak ada dasar untuk memberikan," pungkas dia.
Diberitakan sebelumnya, sejumlah petani yang tergabung dalam SPI PAC Jampang Tengah meminta Kementerian ATR/BPN menolak permohonan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) yang diajukan PT Bumiloka Swakarya. Diketahui perusahaan tersebut mengelola perkebunan kakao seluas 1.600 hektare di Jampang Tengah.
Mereka sempat mendatangi Kantor Dewan Pengurus Cabang (DPC) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kabupaten Sukabumi untuk menyampaikan aspirasi kepada wakil rakyat dari partai tersebut.
Di sisi lain, pihak perkebunan menyebut di atas lahan seluas 1.600 hektare sebanyak 20 persennya sudah diserahkan kepada pihak BPN (ATR/BPN) untuk memenuhi PP Nomor 86 Tahun 2018. Sedangkan masyarakat ngotot meminta 100 persen lahan diserahkan.
(sya/ors)