Contoh Tembang Macapat Beserta Pengertian, Jenis, dan Maknanya

Contoh Tembang Macapat Beserta Pengertian, Jenis, dan Maknanya

Aditya Mardiastuti - detikJabar
Selasa, 26 Jul 2022 18:20 WIB
Aturan struktur tembang macapat.
Foto: Tangkapan Layar Buku Macapat Tembang Jawa Indah dan Kaya Makna terbitan Kemdikbud

Macapat adalah salah satu jenis tembang atau puisi dalam bahasa Jawa. Macapat merupakan salah satu karya sastra Jawa yang memiliki perjalanan sejarah panjang dan menjadi penyampai pesan.

Tembang macapat juga sering ditemukan saat acara pertunjukan wayang, pentas karawitan, dan materi pelajaran bahasa Jawa. Simak pengertian dan contoh tembang macapat dalam Bahasa Jawa di bawah ini ya!

Pengertian Tembang Macapat

Mengutip situs Kemdikbud, tembang dapat bermakna syair, gubahan, kidung, atau nyanyian. Kemudian macapat adalah puisi tradisional dalam bahasa Jawa yang disusun dengan menggunakan aturan tertentu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penulisan tembang macapat memiliki aturan dalam jumlah baris, jumlah suku kata, ataupun bunyi sajak akhir tiap baris yang disebut guru gatra, guru lagu, dan guru wilangan.

Dulu tembang macapat disenandungkan tanpa menggunakan iringan apapun, dan lebih mengutamakan pada makna yang terkandung di dalam syairnya. Seiring perkembangan zaman, tembang macapat disenandungkan dengan iringan gamelan.

ADVERTISEMENT

Dalam jurnal Fungsi Sosial Kemasyarakatan Tembang Macapat karya Puji Santosa, ada pula yang berpendapat jika kata macapat berasal dari kata ma + cepat. Artinya tembang macapat cara membacanya cepat, tidak pelan dan lagunya tidak banyak cengkok (ragam, gaya).

Kemudian ada yang mengartikan kata macapat dengan cara uarwa dhosok (keterangan atau uraian kata berdasarkan pada utak-atik bunyinya), yaitu maca (membaca) + pat (empat, pembacaannya empat-empat).

Maksudnya jika melagukan tembang itu jeda gatra pertama jatuh pada wanda (suku kata) yang keempat. Berdasarkan iramanya, macapat juga diartikan sebagai akronim dari kata mat + pat, maksudnya jika melagukan tembang itu menggunakan birama atau penggalan pada nyanyian atau silih pergantinya nada empat-empat, yakni satu birama berisi empat suku kata.

Menurut Poerwadarminta (1039:299) yang dikutip dalam Buku Macapat dan Santiswara karya Darusuprapta, macapat adalah nama jenis tembang yang digunakan dalam gubahan puisi hasil karya sastra Jawa baru yang menggunakan metrum tembang Jawa.

Kemudian Padmosoekotjo (1960:18) menyimpulkan tembang macapat adalah jenis puisi klasik dalam kesusastraan Jawa yang terikat konvensi yang mapan berupa guru gatra, guru lagu, dan guru lagu.

Pengertian Tembang Macapat

Mengutip situs Kemdikbud, tembang dapat bermakna syair, gubahan, kidung, atau nyanyian. Kemudian macapat adalah puisi tradisional dalam bahasa Jawa yang disusun dengan menggunakan aturan tertentu.

Penulisan tembang macapat memiliki aturan dalam jumlah baris, jumlah suku kata, ataupun bunyi sajak akhir tiap baris yang disebut guru gatra, guru lagu, dan guru wilangan.

Dulu tembang macapat disenandungkan tanpa menggunakan iringan apapun dan lebih mengutamakan pada makna yang terkandung di dalam syairnya. Seiring perkembangan zaman, tembang macapat disenandungkan dengan iringan gamelan.

Dalam jurnal Fungsi Sosial Kemasyarakatan Tembang Macapat karya Puji Santosa, ada pula yang berpendapat jika kata macapat berasal dari kata ma + cepat. Artinya tembang macapat cara membacanya cepat, tidak pelan dan lagunya tidak banyak cengkok (ragam, gaya). Kemudian ada yang mengartikan kata macapat dengan cara uarwa dhosok (keterangan atau uraian kata berdasarkan pada utak-atik bunyinya), yaitu maca (membaca) + pat (empat, pembacaannya empat-empat).

Maksudnya jika melagukan tembang itu jeda gatra pertama jatuh pada wanda (suku kata) yang keempat. Berdasarkan iramanya, macapat juga diartikan sebagai akronim dari kata mat + pat maksudnya jika melagukan tembang itu menggunakan birama atau penggalan pada nyanyian atau silih pergantinya nada empat-empat, yakni satu birama berisi empat suku kata.

Menurut Poerwadarminta (1039:299) yang dikutip dalam Buku Macapat dan Santiswara karya Darusuprapta, macapat adalah nama jenis tembang yang digunakan dalam gubahan puisi hasil karya sastra Jawa baru yang menggunakan metrum tembang Jawa. Kemudian Padmosoekotjo (1960:18) menyimpulkan tembang macapat adalah jenis puisi klasik dalam kesusastraan Jawa yang terikat konvensi yang mapan berupa guru gatra, guru lagu, dan guru lagu.

Macam-Macam Contoh Tembang Macapat dan Maknanya

Tembang macapat memiliki urutan yang menggambarkan perjalanan manusia sejak masih dalam kandungan hingga meninggal, dimulai dari Maskumambang hingga Pucung. Maskumambang menggambarkan janin yang mengambang dalam rahim ibunya, Sinom yang menggambarkan masa muda, hingga Pucung yang berarti meninggal dan dipocong.

Dalam jurnal Mengenal Tembang Macapat karya Agus Efendi yang diterbitkan Univet Bantara Sukoharjo, dalam setiap tembang macapat terkandung nilai-nilai moral, budi pekerti dan berisi petunjuk atau tuntunan tentang perilaku utama yang harus dilakukan manusia dari lahir hingga menjelang ajal. Tujuannya agar dapat mencapai kemuliaan hidup dunia dan akhirat.

Mengutip Macapat Tembang Jawa Indah dan Kaya Makna karya Zahra Haidar dan juga situs Selopamioro Pemkab Bantul, berikut 11 jenis tembang macapat:

1. Maskumambang

Simbol fase roh/kandungan di mana kita masih mengapung atau kumambang di alam roh yang kemudian di dalam kandungan yang gelap. Karakter tembang ini menggambarkan kesedihan, suasana hati sedang nelangsa.

2. Mijil

Mijil melambangkan bentuk sebuah biji atau benih yang terlahir ke dunia, mijil berasal dari kata wijil yang berarti keluar. Mijil mengisahkan fase bayi manusia mulai mengenal kehidupan dunia, membutuhkan perlindungan. Tembang ini menggambarkan keterbukaan menyajikan nasihat dan tentang asmara.

3. Sinom

Sinom berarti pucuk yang baru tumbuh atau bersemi dan menggambarkan masa muda. Tembang ini menceritakan masa manusia tumbuh dan berkembang mengenal hal-hal baru, kesabaran, dan keramahtamahan.

4. Kinanti

Kinanthi berasal dari kata kanti yang berarti menggandeng atau menuntun. Tembang ini mengisahkan masa pencarian jati diri, pencarian cita-cita dan makna diri.

5. Asmarandana

Asmarandana mengisahkan fase paling dinamis dan berapi-api dalam pencarian cinta dan teman hidup. Gambaran dari tembang ini cinta kasih, asmara, dan juga rasa pilu dan sedih karena cinta.

6. Gambuh

Gambuh mengisahkan fase dimulainya kehidupan keluarga dengan ikatan pernikahan suci (gambuh). Tembang ini berisi pesan tentang sikap bijaksana, nasihat hidup, persaudaraan, toleransi dan kebersamaan.

7. Dhandanggula

Dhandanggula merupakan fase puncak kesuksesan secara fisik dan mater (dhandang=bejana). Namun selain kenikmatan gula (manisnya) hidup, semestinya diimbangi pula dengan kenikmatan rohani dan spiritual.

8. Durma

Durma merupakan fase kehidupan harus lebih banyak didermakan untuk orang lain, bukan mencari kenikmatan hidup lagi (gula). Tembang ini menggambarkan peristiwa duka, selisih, dan juga kekurangan akan sesuatu berkarakter tegas, keras, dan amarah yang menggebu-gebu.

9. Pangkur

Pangkur merupakan fase uzla (pangkur=menghindar), fase menyepi, fase kontemplasi, mendekatkan diri kepada Gusti Allah dan menjauhkan diri dari gemerlapnya hidup. Tembang ini berkarakter gagah, kuat, perkasa, dan hati besar.

10. Megatruh

Megatruh merupakan fase penutup kehidupan dunia di mana roh meninggalkan badan (megat=memisahkan). Tembang ini mengisahkan kesedihan dan kedukaan.

11. Pucung

Pucung merupakan fase kembali kepada Allah, Sang Murbeng Dumadi, Sangkan Paraning Dumadi. Diawali dengan menjadi pocung (jenazah), fase menuju kebahagiaan sejati, bertemu dengan yang Maha Suci. Ada pula yang mengatakan pucung berasal dari kudhuping gegodhongan atau kuncup dedaunan yang segar, tembang ini menceritakan hal-hal lucu dan tebak-tebakan.

Berikut Beberapa Contoh Tembang Macapat:

a. Pucung

Ngelmu iku kalakone kanthi laku
Lekase lawan kas
Tegese kas nyantosani
Setya budya pengekesing durhangkara

b. Durma

Paman paman apa wartane ing ndalan
Ing ndalan keh wong mati
Mati kena apa
Mati suduk salira
Ing jaja terusing gigir
Pan kaniaya
Badan kari ngglinthing

Terjemahannya: Paman ada kejadian apa di jalan, di jalan kok banyak orang meninggal, matinya kena apa ya. Kok matinya ditusuk dari dada sampai ke punggung, betul-betul teraniaya dan bangkainya tidak terutus sampai menjadi tulang dan kulit saja/berserakan tidak terurus bahkan ada yang seperti mumi.

Tembang ini merupakan teka-teki yang menggambarkan pedagang tahu kupat yang sedang meracik kupat di atas piring. Kupat bisa dihidangkan di atas piring melalui proses penyiksaan terlebih dulu.

c. Dhandanggula petikan dari Serat Tripoma

Pada I:
Wonten malih tuladhan prayogi
Satriya gung nagari Ngalengka
Sang Kumbokarno arane,
Tur iku warna diyu,
Suprandene nggayuh utami,
Duk wiwit prang Alengka,
Denya darbe atur,
Mring raka pinrih raharja,
Dasamuka tan kengguh ing atur yekti,
Dene mungsuh wanara.

Pada II:
Kumbokarno kinen mangsah jurit,
Mring kang raka sira tan nglenggana,
Nuhoni kasatriyane,
Ing tekat datan purun,
Among nyipta labuh nagari,
Miwah kang yayah rena,
Myang leluhuripun,
Wus mukti aneng Alengka,
Mangke arsa rinusak ing bala kapi,
Punagi mati ngrana.

Terjemahan sederhananya: Kumbokarno sebagai ksatria negara tidak mau disuruh kakanya untuk membela rajanya karena kakaknya sebagia pihak yang salah. Namun Kumbokarno ketika melihat sendiri hancurnya negara oleh wadya bala kera merasa geram dan bertekat membela negara.

Dalam hatinya Kumbokarno tidak rela negaranya hancur oleh musuh. Ia merasa dirinya dan leluhurnya sudah berutang segalanya ke negaranya. Jadi ia maju perang bukan karena membela kakaknya tetapi membela negara yang sangat dicintainya.

Inti tembang ini menunjukkan sikap Kumbokarno terhadap negaranya adalah ikut andarbeni/memiliki, angrungkebi/akan berkorban demi negara, mulat salira angrasa wani/mawas diri atau introspeksi sang Kumbokarno berani bertanya kepada dirinya, 'Jangan bertanya negara sudah memberi apa kepada kamu tetapi tanyalah dirimu sendiri apa yang sudah kamu berikan untuk negaramu'.

Sikap andarbeni, angrungkebi, mulat salira angrasa wani, ini bisa digunakan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga, kantor, tempat menuntut ilmu atau di mana pun.

Sejarah Tembang Macapat

Mengutip jurnal Fungsi Sosial Kemasyarakatan Tembang Macapat karya Puji Santosa yang diterbitkan Kemdikbud, tembang Macapat merupakan karya sastra Jawa yang sudah lama dikenal. Konon macapat diturunkan dari dewa kepada pendeta Walmiki dan diperbanyak sang pujangga istana Yogiswara dari Kediri.

Menurut Serat Mardawalagu yang dikarang Ranggawarsita, macapat merupakan singkatan dari frasa maca-pat-lagu yang artinya ialah melagukan nada keempat. Selain maca-pat-lagu, masih ada lagi maca-sa-lagu, maca-ro-lagu, dan maca-tri-lagu.

Macapat termasuk tipe tembang gedhe yang jumlah bait per pupuh bisa kurang dari empat. Sementara jumlah suku kata dalam setiap bait tidak selalu sama dan ini diciptakan oleh Yogiswara.

Maca-tri-lagu atau kategori yang ketiga adalah tembang tengahan yang konon diciptakan oleh Resi Wiratmaka, pendeta istana Janggala dan disempurnakan oleh Pangeran Panji Inukartapati dan saudaranya.

Sementara itu, dalam buku Macapat Tembang Jawa Indah dan Kaya Makna karya Zahra Haidar yang diterbitkan Kemdikbud, ada yang berpendapat tembang macapat diciptakan Prabu Dewawasesa atau Prabu Banjaran Sari di Sigaluh pada 1279 Masehi. Pendapat lain mengatakan macapat tidak hanya diciptakan satu orang, tapi oleh beberapa wali dan bangsawan.

Para pencipta itu antara lain Sunan Giri Kedaton, Sunan Giri Prapen, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Muryapada, Sunan Kalijaga, Sultan Pajang, Sultan Adi Eru Cakra, dan Adipati Nata Praja. Pada saat wali sanga menyebarkan Islam, tembang macapat juga digunakan sebagai media dakwah. Syair yang terkandung dalam tembang macapat juga banyak yang menyiratkan nilai-nilai yang diajarkan Al-Qur'an.

Aturan dan Struktur Tembang Macapat

Tembang macapat memiliki tiga unsur yakni guru gatra, guru lagu, dan guru wilangan. Berikut pengertiannya:

Guru Gatra

Guru: pathokan/pedoman
Gatra: larik/baris
Setiap jenis tembang dalam setiap baitnya memiliki pedoman-pedoman berbeda-beda terhadap jumlah barisnya.

Guru Lagu

Guru: pathokan/pedoman.
Lagu: jatuhnya aksara vokal di akhir kata dalam setiap baris.
Setiap jenis tembang mempunyai pedoman yang sudah tidak bisa diganti tentang jatuhnya aksara vokal dalam setiap akhir kata dan setiap barisnya.

Guru Wilangan

Guru: pahotkan/pedoman
Wilangan: jumlah suku kata/wanda dalam setiap baris
Setiap jenis tembang mempunyai pedoman yang sudah ada dan tidak bisa berubah tentang jumlah wanda/suku kata dalam setiap barisnya.

Aturan struktur tembang macapat.Foto: Tangkapan Layar Buku Macapat Tembang Jawa Indah dan Kaya Makna terbitan Kemdikbud

Setiap tembang boleh jadi terdiri dari beberapa bait (pada). Pada adalah pedoman banyaknya baris, suku kata (wanda), dan jatuhnya aksara vokal (guru lagu) di dalam satu jenis tembang.

Pada bisa disebut bait yang memiliki norma dalam penyusunannya. Selain itu, ada pula pengelompokan beberapa tembang macapat ke dalam kelompok (pupuh).

Nah, itulah contoh tembang macapat dan pengertiannya. Semoga membantu kamu memahami tentang tembang macapat ya detikers!




(ams/fds)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads