Selain terowongan jalan, salah satu peninggalan jalur kereta api (KA) pasir gunung Galunggung adalah komplek stasiun KA Pirusa di Kecamatan Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya.
Bangunan bekas stasiun KA ini berada di kaki gunung Galunggung. Di sekitar kawasan stasiun berdiri deretan rumah warga. Bahkan bangunan bekas kantor stasiun juga ditinggali oleh warga.
Di salah satu sudut terdapat plang yang menegaskan bahwa area ini milik Pemprov Jawa Barat. Luasnya sekitar 6 hektar dengan batas-batas yang sudah dipasangi patok.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tiang sinyal kereta api masih berdiri tegak sementara bentangan rel sudah raib. Tinggal menyisakan sekitar beberapa meter di depan bekas kantor stasiun.
"Yang ini saya jaga, mau mengaku dari mana pun tak akan saya izinkan untuk diambil," kata Wawan. Dia adalah warga yang kini menghuni eks kantor stasiun KA Pirusa. Dia mengaku membayar sewa untuk tinggal di sana.
![]() |
Keberadaan rel menurut Wawan harus dijaga, karena selain bukan haknya juga bisa menjadi catatan sejarah. "Ya untuk titimangsa bahan cerita untuk anak cucu kita nanti, bahwa di sini pernah ada jalur kereta api," kata Wawan.
Wawan mengatakan jalur kereta api pasir ini dibangun setahun setelah Galunggung erupsi di 1982. Sebelum akhirnya berhenti di pertengahan dekade 90-an. Selanjutnya eksploitasi pasir Galunggung dilakukan dengan menggunakan truk.
"Tahun 95 kalau tak salah sudah berhenti. Mungkin karena dianggap sudah tak menguntungkan atau memang pasirnya sudah habis. Kan masih zaman Presiden Soeharto," kata Wawan.
Saat masih beroperasi, pengangkutan pasir dilakukan siang malam. Sekali berangkat sekitar 7 sampai 12 gerbong pasir dibawa ke Jakarta. Di stasiun ini pun masih terdapat tembok trap untuk memuat pasir ke gerbong.
"Pasir dan alat berat di atas tembok itu, kereta kan di bawah. Untuk lansirnya di sebelah sana. Komplek stasiun ini luasnya 6 hektar termasuk lokasi penampungan pasir," kata Wawan.
Dia menjelaskan dari lokasi tambang di gunung Galunggung, pasir diangkut oleh truk ke stasiun, sebelum akhirnya dimuat ke kereta api.
![]() |
Keberadaan kereta api kala itu menyisakan kenangan bagi sejumlah warga. Ahdi warga Desa Sukamahi Kecamatan Sukaratu mengatakan di akhir tahun 80-an dirinya bekerja di Bandung.
"Kalau habis pulang kampung sering kehabisan uang untuk berangkat lagi ke Bandung. Nah pernah beberapa kali saya menumpang kereta pasir," kata Ahdi.
Karena sudah kenal dengan pekerjanya, Ahdi bisa dengan mudah jadi "penumpang gelap" kereta pengangkut pasir. "Tapi ngebul bukan main, sampai Bandung badan kotor semua. Makanya yang kedua kali menumpang ke Bandung, wajah ditutup baju seperti ninja. Pakai baju butut aja, asal tertutup. Sampai Bandung langsung ganti baju," kata Ahdi.
(yum/yum)