Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi menolak SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No 287 tahun 2022 tentang penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK). Menurutnya, kebijakan tersebut berpotensi menghilangkan kawasan hutan seluas 1,1 juta hektare di Pulau Jawa.
Hal tersebut kembali ia tekankan saat rapat dengar pendapat dengan Forum Penyelamat Hutan Jawa (FPHJ) di Gedung DPR pada Selasa (24/5) sore.
"Semangat penolakan sudah sejak lama, sejak digulirkannya gagasan Menteri LHK dalam rencana mengatur tata kelola kehutanan di Pulau Jawa. Kita tolak karena di Jawa ini hutan menjadi fundamen dan esensial karena arealnya semakin menipis," ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (25/5/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak dulu, ia mengaku menggagaskan kepada pemerintah kabupaten/kota, provinsi atau pusat untuk mengangkat masyarakat sekitar hutan menjadi pegawai. Mereka nantinya dapat diberi tugas khusus untuk menjaga areal hutan dan penanaman secara masif.
Selain itu, lanjutnya, anak-anak yang tinggal di kawasan hutan dapat diberi pendidikan kepariwisataan. Di sisi lain, pemerintah dapat memberikan bantuan kepada masyarakat untuk mengubah tempat tinggal mereka menjadi bergaya rumah adat.
"Kemudian sumber mata airnya dipertahankan dan dikembangkan peternakan yang kuat di lingkungannya sehingga pada akhirnya tumbuh ekonomi yang kuat," imbuhnya.
Dedi mengungkapkan hal tersebut sudah berhasil ia lakukan sejak menjadi Wakil Bupati dan Bupati Purwakarta. Saat menjabat, Kampung Tajur yang berada di kaki Gunung Burangrang berhasil diubah menjadi kawasan wisata yang selalu diminati wisatawan, terutama mereka yang berasal dari kota.
"Setiap tahun ada 10 ribu pelajar datang ke situ untuk bermukim di situ kemudian bercocok tanam bersama masyarakat yang rumahnya difungsikan sebagai homestay. Sekarang masyarakat di situ setiap hari relatif lebih baik dan lebih makmur tanpa ada perusakan hutan," tuturnya.
"Ini sebenarnya bisa dilakukan, ikhtiar-ikhtiar itu. Penanaman pohonnya juga bisa diganti nangka, petai, duren, kopi, jadi hutan terjaga masyarakatnya sejahtera, kalau dalam bahasa saya leuweung hejo rakyat ngejo (hutan hijau rakyat makan)," sambung Kang Dedi.
Lahan tersebut, lanjutnya, dijadikan tempat pembuangan limbah B3. Setelah di-police line, tempat tersebut mengalami kebakaran. Bahkan, pada Selasa (24/5) malam juga ada informasi tempat tersebut kembali mengalami kebakaran. Kang Dedi curiga hal tersebut terjadi lantaran ada unsur kesengajaan.
"Saya kemudian menemukan kuitansi yang menunjukan bahwa lahan itu dikavling, dibagi-bagi dan sebagian lagi dialih fungsikan. Kemudian saya temukan lagi satu areal di depannya peternakan domba tapi di belakangnya urugan tanah. Ini sangat berbahaya kalau para pemodal maju terlebih dahulu kemudian tanah dikuasai, justru masyarakat setempat semakin tertinggal," terangnya.
Ia menjelaskan salah satu bentuk kerja sama ideal pengelolaan hutan adalah dengan melibaktan masyarakat adat setempat. Ia mencontohkan Ciptagelar, Sirnaresmi atau Kasepuhan Banten yang tidak pernah mengalami konflik. Hutan di sana sangat terjaga, pariwisata juga berkembang sehingga masyarakat menjadi sejahtera.
Dedi menilai jika pengelolaan hutan jatuh di tangan yang salah seperti LSM di Karawang, maka akan terjadi kerusakan hutan yang masif. Sebab, tangan mereka tidak terbiasa menanam dan merawat pohon tapi justru sibuk melakukan pengerukan tanah hingga 'kavling' lahan.
"Sudut pandang kita ada gak sih jaminan dari SK itu kelestarian hutan terjaga. Faktanya belum apa-apa orang sudah main kavling. Jadi dalam pikiran orang saat ini adalah ini (SK) adalah pintu masuk menguasai tanah negara," ucapnya.
Ia khawatir bila terus dibiarkan, masyarakat di Pulau Jawa akan kehilangan 1,1 juta hektar lahan hutan dalam kurun waktu 6 bulan.
"Suatu saat ini bisa ubah mata air menjadi air mata. Suatu saat di Jawa termasuk di Jabar mata air akan berubah menjadi air mata," pungkasnya.