Pengendara yang sedang melaju dari arah Cianjur menuju Bandung, tak asing lagi dengan sebuah benda yang bentuknya menyerupai pedangtertancap di sebuah tebing tepatnya di Desa Citatah, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB).
Jika ditelisik lebih saksama lagi, benda berukuran raksasa berwarna hitam di atas Gunung Manik itu ternyata merupakan sebuah belati. Namun jangan bayangkan belati yang dibuat dari besi, melainkan sebuah monumen yang dibangun dari campuran material semen, batu, dan pasir.
Ketua Forum Pemuda Citatah Asep Sulaeman belati setinggi 8 meter tersebut ternyata merupakan sebuah monumen yang dibuat oleh kesatuan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pasukan Khusus (Pusdiklatpassus).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi sangkur atau belati ini dibangun oleh Pusdiklatpassus tahun 2004 lalu. Ini materialnya dari coran semen," kata Asep kepada detikJabar di Cipatat, Bandung Barat, Kamis (10/4/2022).
Lantas apa alasan belati tersebut dibangun dengan bentuk seolah-olah menancap pada tanah di atas Gunung Manik? Asep mengatakan hal itu sebagai penanda teritorial apalagi lokasi tersebut sudah digunakan sebagai tempat latihan RPKAD sejak tahun 1965.
"Jadi bukan tanpa alasan dan bukan tanpa tujuan sangkur komando ini dibuat. Yang utama itu untuk menandakan kalau daerah ini merupakan tempat latihannya Kopassus," kata Asep.
Ia mengaku tak sedikit pihak yang mengaitkan keberadaan belati tersebut dengan kisah mistis. Bahkan segelintir orang yang mengaitkan munculnya belati itu dengan peristiwa Tsunami Aceh, yang kebetulan terjadi pada tahun yang sama.
"Padahal ya bukan seperti itu. Jadi belati ini memang dibuat untuk menandai kalau Gunung Manik ini sebagai area latihan prajurit Kopassus, yang bersambung dengan tempat lainnya yakni Situ Lembang kemudian Cilacap," ujar Asep.
Asep menjelaskan jika pembangunan belati raksasa itu berlangsung selama 21 hari. Namun ia tak bisa menyebut secara rinci siapa pihak yang merancang belati tersebut.
"Saya cuma bisa sampaikan kalau ini dibangun selama 21 hari, informasi rinci lainnya belum bisa disampaikan termasuk siapa yang mendesainnya," kata Asep.
Untuk mencapai puncak Gunung Manik tanpa perlu memanjat, traveler bisa melalui jalur samping yang lebih aman, tepatnya melalui permukiman warga Kampung Cicocok RT 03/03, Desa Citatah.
Begitu sampai di puncak, kita akan disuguhkan dengan pemandangan Karst Citatah yang keindahannya terus memudar karena eksploitasi penambangan bebatuan.
"Makanya saya punya keinginan mengembalikan kondisi karst tebing 48 Gunung Manik jadi seperti tahun 80-an yang rimbun. Sekarang progresnya baru 55 persen dan kita terus membutuhkan dukungan pengadaan bibit," ungkap Asep.
(yum/bbn)