Indonesia kini tengah mengejar visi mengubah status pandemi menjadi endemi COVID-19 seperti negara lain yang telah lebih awal menerapkannya. Namun, situasi itu diyakini belum mampu diterapkan di Tanah Air dalam waktu dekat karena dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Guru besar Fakultas Kesehatan Universitas Padjajaran (Unpad) Prof Kusnadi Rusmil mengatakan, pertimbangan perubahan status ke endemi belum bisa dilakukan karena angka penularan dan positify rate di Indonesia masih tinggi. Belum lagi, angka kasus kematian juga masih besar di beberapa daerah.
"Kalau sekarang sepertinya belum bisa merubah menjadi endemis. Kita lihat angka kematian masih tinggi, angka penularannya juga sama masih tinggi," kata Prof Kusnadi saat ditemui wartawan di kediamannya, Bandung, Senin (7/3/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mantan Ketua Uji Klinis Vaksin RI yang kini menjabat sebagai anggota Departemen Ilmu Kesehatan RS Hasan Sadikin (RSHS) Bandung itu menyebut, situasi saat ini masih membahayakan jika merubah status pandemi ke endemi. Sebab menurutnya, penularan COVID-19 varian Omicron masih berbahaya terutama jika menyerang penduduk lanjut usia (lansia).
"Masih membahayakan, penularannya masih berbahaya. Kita lihat sekarang Omicron kan masih tinggi, walaupun gejalanya enggak banyak tapi angka kematiannya juga tinggi di Indonesia. Jabar tinggi, Jakarta, Jatim, itu angka Omicronnya tinggi, angka kematiannya juga tinggi," ungkapnya.
Berdasarkan perhitungannya, ia meyakini Indonesia baru siap menghadapi perubahan status pandemi ke endemi pada akhir tahun 2022. Namun, itu pun baru sebatas pelonggaran dengan syarat capaian vaksinasi di seluruh Indonesia telah mencapai 70 persen.
"Kalau menurut saya, mungkin akhir tahun lah. Akhir tahun 2022 ini kita udah bisa agak longgar, tapi itu tergantung sasaran imunisasi kita. Jangan sampai di bawah 70 persen, sekarang masih di bawah, apalagi di luar Jawa, termasuk untuk lansianya," pungkasnya.
(ral/tey)