Berbuat baik kepada sesama adalah ajaran mulia dalam Islam, termasuk sikap mendahulukan orang lain dalam berbagai urusan dunia. Namun, ketika berbicara tentang urusan ibadah, muncul pertanyaan penting tentang apakah kebaikan itu tetap berlaku dengan cara mempersilahkan orang lain mengambil bagian ibadah yang seharusnya kita lakukan?
Islam memandang ibadah sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah, sehingga ada aturan khusus yang mengatur adab di dalamnya.
Hukum Mendahulukan Orang Lain dalam Ibadah
Dijelaskan dalam buku Pengantar Kaidah Fikih oleh Amrullah dan Panji Adam, mendahulukan orang lain dalam hal ibadah itu hukumnya adalah makruh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini mengacu kepada kitab al-Asybah wa al-Nadzar yang secara eksplisit membahas mengenai fenomena ini.
الإيثار في القرب مكروه وفي غيرها محبوب
"Mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah adalah makruh, sedangkan dalam masalah lainnya (masalah dunia) disukai"
Selain itu, dalam kitab lain Al-Asybah wan Nazho-ir juga dibahas untuk menghindari mendahulukan orang lain dalam hal ibadah.
Syaikh 'Izziddin rahimahullah berkata,
لا إيثار في القربات فلا إيثار بماء الطهارة و لا بستر العورة و لا بالصف الأول لأن الغرض بالعبادات
"Tidak boleh mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah (iitsar), maka tidak boleh iitsar dalam menggunakan air untuk thaharah, menutup aurat dan menempati shaf terdepan karena tujuannya adalah ibadah."
Dalam urusan ibadah kepada Allah, seorang hamba justru dianjurkan untuk mendahulukan dirinya sendiri dalam meraih keutamaan. Artinya, bersikap mengalah atau mempersilakan orang lain lebih dahulu dalam hal ibadah dihukumi makruh.
Hal ini karena setiap bentuk ibadah memiliki tujuan utama, yaitu mengagungkan dan mendekatkan diri kepada Allah. Ketika seseorang memberikan kesempatan itu kepada orang lain, ia berarti mengabaikan peluang untuk menunjukkan pengagungan tersebut.
Dengan demikian, lebih utama bagi seorang Muslim untuk mengambil bagian ibadah itu sendiri selama tidak ada alasan syar'i yang menghalanginya.
Contoh Mendahulukan Orang Lain dalam Ibadah
Kembali mengutip dari buku yang sama, contoh pertama dapat dilihat ketika seseorang hanya memiliki air yang cukup untuk satu orang sementara waktu salat telah tiba. Dalam kondisi ini, ia dianjurkan menggunakan air tersebut untuk dirinya sendiri dan tidak mempersilakan orang lain, karena ibadahnya bergantung pada air itu.
Contoh berikutnya terjadi dalam salat berjamaah, khususnya saat memperebutkan shaf terdepan. Seorang Muslim disunahkan untuk berusaha mendapatkannya, dan makruh jika ia sengaja mengalah atau memberikan tempat itu kepada orang lain.
Adapun kaidah ini berlaku pada ibadah-ibadah sunah yang sifatnya mendekatkan diri kepada Allah. Sementara dalam ibadah wajib, mengutamakan orang lain hingga menyebabkan dirinya meninggalkan kewajiban justru dihukumi haram.
Dianjurkan Mendahulukan Orang Lain dalam Hal Duniawi
Mendahulukan orang lain dalam ibadah memang dihukumi makruh karena dapat mengurangi kesempatan seseorang untuk meraih kedekatan dengan Allah. Namun, dalam urusan duniawi atau perkara selain ibadah, sikap mendahulukan orang lain justru dianjurkan dan menjadi bentuk akhlak yang terpuji.
Allah Ta'ala berfirman,
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
"Mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka sendiri sangat membutuhkan/dalam kesusahan" (Al-Hasyr: 9).
Dalam urusan di luar ibadah, terutama yang berkaitan dengan muamalah, sikap mendahulukan orang lain justru dianjurkan. Perkara-perkara seperti jual beli, sewa-menyewa, atau memberikan manfaat tertentu termasuk dalam kategori ini.
Selama tidak dalam kondisi mendesak, memberi kesempatan kepada orang lain merupakan bentuk akhlak mulia yang sangat dihargai dalam Islam. Sikap ini mencerminkan kebaikan hati, empati, dan kepedulian terhadap sesama.
Wallahu a'lam.
(hnh/lus)












































Komentar Terbanyak
Tolak Mundur dari Ketum PBNU, Gus Yahya Kumpulkan Ulama Malam Ini Tanpa Rais Aam
Gus Yahya Kumpulkan Alim Ulama di PBNU Malam Ini, Rais Aam & Sekjen Tak Diundang
Fatwa MUI: Bumi & Bangunan Hunian Tak Boleh Kena Pajak Berulang