Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 83 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Perjuangan Palestina telah memicu kesadaran kolektif untuk memboikot produk yang terafiliasi dengan Israel. Namun, di tengah semangat solidaritas itu, muncul kebingungan: bagaimana menyikapi perusahaan publik (Tbk) nasional yang sebagian sahamnya dimiliki investor asing?
Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis, menegaskan bahwa semangat utama dari fatwa ini adalah untuk tidak memberikan dukungan kepada pihak-pihak yang mendukung Israel. Jika kepemilikan (asing) hanya minoritas di perusahaan publik nasional yang sahamnya bisa dibeli siapa saja, tentu pengaruhnya terhadap kebijakan perusahaan tidak signifikan. Ia membedakan antara kepemilikan minoritas yang tersebar di pasar saham dengan kepemilikan oleh pemegang saham pengendali yang mendukung Israel.
"Yang terakhir inilah sebenarnya sasaran utama fatwa kami, yaitu pihak pemegang kendali yang berpihak kepada Israel," kata Cholil dalam forum diskusi bertajuk "Apa Kabar Gerakan Boikot Israel? Antara Tantangan, Kesadaran, dan Pilihan Konsumsi Sehari-hari" yang diselenggarakan di Jakarta pada Rabu (3/9/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, dalam kesempatan berbeda, Wakil Sekretaris Jenderal MUI Bidang Ukhuwah KH. Arif Fahrudin memperkuat pernyataan KH Cholil Nafis dengan memaparkan sejumlah kriteria untuk memastikan suatu produk terafiliasi Israel.
Pertama, saham mayoritas dan pengendali perusahaan dikuasai oleh pihak yang memiliki afiliasi dengan Israel. Kedua, pemegang saham pengendali perusahaan merupakan entitas asing yang memiliki bisnis aktif di Israel.
Ketiga, sikap politik pengendali perusahaan mendukung politik genosida dan agresi Israel atas bangsa Palestina. Keempat, nilai-nilai yang dianut produsen bertentangan dengan nilai-nilai luhur agama, Pancasila, dan UUD 1945, seperti LGBT, terorisme, dan ultraliberalisme. Kelima, sikap dan pernyataan politik dan ekonomi perusahaan, termasuk perusahaan global sebagai induknya, yang masih mempertahankan investasi di Israel.
Selain itu, Arif menegaskan bahwa fokusnya bukan hanya pada apa yang harus diboikot, tetapi juga pada apa yang harus didukung. Ia merumuskan 10 kriteria yang menjadi panduan bagi masyarakat untuk beralih dan mendukung produk dalam negeri sebagai pengganti produk terafiliasi Israel.
"Fokusnya adalah keberpihakan. Fatwa ini menjadi momentum untuk memperkuat dan mendukung produk-produk nasional kita yang jelas-jelas berkontribusi bagi perekonomian bangsa dan tidak memiliki afiliasi dengan Israel," tegasnya.
Kriteria utama yang ditekankan adalah kepemilikan nasional, yaitu produk yang dimiliki sepenuhnya oleh individu atau perusahaan Indonesia dengan otoritas pengambilan keputusan di dalam negeri. Untuk perusahaan publik, saham mayoritas harus dimiliki oleh individu atau perusahaan Indonesia.
Kriteria lainnya mencakup penggunaan bahan baku dan rantai pasok dalam negeri, inovasi teknologi nasional, kebijakan ramah lingkungan, dukungan terhadap komunitas lokal, standar kualitas dan keamanan yang tinggi, pemberdayaan tenaga kerja nasional, transparansi dan etika bisnis, serta keberagaman dan inklusivitas yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan Islam.
Dengan panduan kriteria ini, posisi perusahaan Tbk nasional menjadi lebih jelas. Selama saham mayoritas dan pengendalian perusahaan berada di tangan individu atau entitas Indonesia, serta memenuhi kriteria-kriteria lainnya, maka produk dari perusahaan nasional tersebut termasuk dalam kategori yang layak didukung.
Kepemilikan saham minoritas oleh investor asing yang tersebar di pasar modal tidak serta-merta menjadikan perusahaan tersebut harus diboikot, karena tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kebijakan perusahaan.
Dengan kriteria tersebut, Arif mengajak masyarakat untuk mengubah pendekatannya dari sekadar reaktif menjadi proaktif. Alih-alih bingung menentukan apa yang harus diboikot, konsumen kini memiliki panduan jelas tentang apa yang harus didukung.
"Langkah utama yang dapat diambil adalah memprioritaskan produk-produk dari perusahaan yang jelas-jelas dimiliki, dikelola, dan menggunakan sumber daya Indonesia. Konsumen juga perlu membiasakan diri untuk melihat informasi produsen pada kemasan produk dan memilih produk yang diproduksi oleh perusahaan nasional," katanya.
Dengan berpegang pada panduan ini, konsumen tidak lagi terjebak dalam kebingungan. Setiap keputusan konsumsi menjadi sebuah pernyataan sikap yang jelas: mendukung perjuangan Palestina dengan cara memperkuat ekonomi bangsa sendiri.
"Fatwa MUI tidak bertujuan untuk menciptakan kebingungan, melainkan mengajak umat untuk mengambil sikap proaktif yang bermanfaat bagi semua pihak," tambah Arif.
(ega/ega)
Komentar Terbanyak
Kemenhaj Rombak Sistem Antrean Haji, Tak Ada Lagi Masa Tunggu 48 Tahun
Antrean Haji Tiap Daerah Akan Dipukul Rata 26-27 Tahun
Waketum MUI: Seret Benyamin Netanyahu ke Pengadilan Kriminal Internasional