Gebrak Podium PBB Ala Prabowo Dalam Kaidah Ilmu Tajwid

Gebrak Podium PBB Ala Prabowo Dalam Kaidah Ilmu Tajwid

Penulis Kolom, Agus Maftuh Abegebriel - detikHikmah
Rabu, 01 Okt 2025 06:04 WIB
Mantan Duta Besar RI untuk Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel
Foto: Mantan Duta Besar RI untuk Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel (dok.ist)
Jakarta -

Awal Januari 2025, tetiba saya dihubungi kawan saya di Jakarta dengan sebuah pesan saya diminta untuk menjadi kontributor penulisan sebuah buku tentang Presiden Prabowo. Buku tersebut bertitelkan; Islam ala Prabowo. Saya tidak langsung menyanggupi permintaan tersebut karena terus terang saya grogi dan tak layak menulis narasi berat tersebut, lebih-lebih saya diminta untuk menyoroti dari aspek diplomasi internasional yang akan dilakukan oleh Prabowo.


Saya lihat penulisnya orang-orang hebat, ada Prof Yusril, Prof Jenderal Hendropriyono, Prof Asep Saifuddin, Kyai Asad Said Ali, Prof Said Agil Siradj, Prof Noor Achmad, Mas Ahmad Muzani, Prof Muhadjir Effendi, Prof Mukti, Zuhair Al Syun (Dubes Palestina untuk Indonesia), Jurnalis expert Imam Anshari dan orang-hebat lainnya. Saya yang hanya guru kampung yang tak hebat merasa tak layak untuk ikut menjadi kontributor buku yang mendeskripsikan Presiden Prabowo tersebut.

Setengah bulan berikutnya, saya belum bisa menyanggupi permintaan tersebut hingga pada akhirnya kawan saya menghubungi saya dengan mengatakan; Kang Maftuh, sampean adalah saksi hidup efforts dan perjuangan Indonesia untuk kemerdekaan Palestina. Sampean adalah Wakil Tetap (permanent representative) pertama yang dimiliki oleh Republik Indonesia di OKI (Organisasi Kerjasama Islam) yang didirikan untuk membela Palestina. Sejak OKI berdiri 1969, Republik Indonesia baru mempunyai Wakil Tetap (Watap) pada tahun 2016, dan Watap itu adalah sampean. Sampean harus menulis pengalaman selama 6 tahun menjadi Watap RI.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Memang benar Indonesia telah lama aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Pada tahun 1969, seorang ulama asal Kraksaan, Probolinggo, KH. Moh Ilyas, memimpin delegasi Indonesia dalam Konferensi Tingkat Tinggi di Rabat, Maroko. Tujuan utama konferensi itu adalah menginisiasi pendirian sebuah organisasi internasional yang fokus pada perjuangan Palestina. Dari pertemuan itu, lahirlah Organisasi Konferensi Islam (OKI), yang kini dikenal sebagai Organisasi Kerjasama Islam.

Ketika ditugaskan sebagai Wakil Tetap Indonesia di OKI, saya menyerahkan surat kepercayaan kepada Sekjen OKI saat itu, YM. Iyad Amin Madani. Komentar beliau cukup mengejutkan. Ia mengatakan bahwa setelah sekian lama, akhirnya Indonesia memiliki perwakilan tetap di OKI. Saya pun kaget. Ternyata sejak OKI berdiri tahun 1969, Indonesia baru menempatkan wakil tetapnya setelah 46 tahun berlalu.

ADVERTISEMENT

Sentilan kawan saya tersebut akhirnya menjadi trigger bagi saya untuk memberanikan diri menulis tema berat di buku tersebut. Tulisan saya berjudul "PRABOWO DAN FAST TRACK DIPLOMACY" sepanjang 15 halaman.

Tulisan tersebut terbagi menjadi beberapa tema. Mulai dari tema "mendefiniskan mazhab Prabowo", disusul dengan tema "Prabowo dan Dunia Arab", "Membumikan Islam Moderat" dan saya pungkasi dengan tema "Prabowo Tetangga Palestina".
Lalu kenapa ada tema "Prabowo Tetangga Palestina"? karena Saya yakin Prabowo tidak perlu membaca catatan atau membuka jurnal untuk memahami situasi Palestina. Ia sudah sangat mengenal isu ini sejak lama.

Prabowo pernah tinggal cukup lama di Yordania, sebuah negara yang berbatasan langsung dengan Palestina. Ia tidak hanya memahami peta politik kawasan ini secara teoritis, tetapi juga melihat dan merasakan langsung realitas yang ada di sana.

Tajwid dan I'rab Diplomasi

Aksi gebrak podium Presiden Prabowo di Sidang Umum PBB, dalam pandangan saya adalah merupakan aplikasi dari kaidah-kaidah tajwid (ilmu cara baca huruf al-Qur'an) dan I'rab (esensi gramatikal arab) dalam diplomasi baik bilateral (tsuna'iyyah) ataupun multilateral (muta'adidul atraf) seperti di PBB tersebut.
Lalu apa korelasi gebrak meja dengan ilmu tajwid dan ilmu i'rab itu? Korelasinya sangat erat dan significant karena dalam diplomasi ada saatnya kita keras, tegas dan lantang dalam menyampaikan sikap. Sikap tegas ini dalam ilmu tajwid dikenal dengan istilah "izhar" (jelas lantang bertekanan dalam membaca huruf per huruf dalam rangkaian narasi).


Sikap "izhar" Presiden Prabowo didorong karena sekian lama melihat sikap ketidak-tegasan dalam efforts untuk memerdekaan Palestina. Sikap tidak tegas tersebut yang kita kenal dengan istilah ikhfa' dalam ilmu tajwid, sebuah sikap yang samar-samar dan kurang menghentak dalam menyampaikan sikap untuk membantu Palestina.

Prabowo tahu persis sudah berapa ratus resolusi yang dikeluarkan oleh OKI dan PBB untuk menjewer Israel dan merealisasikan kemerdekaan Palestina? Israel selalu memandang OKI yang Bahasa Inggrisnya OIC (Organization of Islamic Cooperation) dengan menganggapnya sebagai singkatan dari: OIC= Oooh I See (ya saya ngerti dan faham). Israel juga memandang PBB atau UN (United Nations) sebagai singkatan UN: Under Negotiations (kabeh iso dirembug dan dinego). Sebuah sikap yang bikin Presiden Prabowo "gregeten".

Gebrak podium itu juga merupakan sikap "rafak" dalam gramatikal arab yang artinya Indonesia harus menjadi subyek aktif pelaku dan inisiator perdamaian Israel dan Palestina secara proporsional.

Lalu kenapa harus gebrak podium? Jawabannya: jika ngurus Palestina sekian puluh tahun tidak menemukan solusi dengan cara yang "biasa" maka kita harus lakukan dengan cara yang "tidak biasa". Cara yang tidak biasa ini saya sebut dengan "bid'ah diplomatik" sebagai "ice breaking" pemecah kebuntuan dalam diplomasi multilateral.

Manfaat "I'rab diplomatik" pernah saya rasakan ketika saya bertugas 6 tahun di Saudi sebagai pelayan WNI. Di depan para Pangeran Kerajaan Arab Saudi, saya nyanyikan lagu kebangsaan Saudi lengkap dengan analisa "i'rab" kata per kata dari mulai awal lagu sampai akhir lagu yang dipungkasi dengan " asyal malik lil alam wal watan". Sejak itu saya mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam tugas negara di Arab Saudi. Semua ini adalah barokah ketika saya di pesantren belajar kitab "Al-Kafrawi" dan "Milhatul I'rab" yang membahas khusus analisa dan posisi kata per kata narasi dalam Bahasa Arab.

9 bulan yang lalu saya goreskan tulisan di buku "Islam ala Prabowo" bahwa saya memang sangat berharap di bawah kepemimpinan Prabowo, Indonesia bisa lebih aktif dalam diplomasi untuk kemerdekaan Palestina.

Dengan semua wawasan tentang dunia Arab yang dimiliki Presiden Prabowo, saya semakin yakin bahwa Indonesia bisa memainkan peran besar dalam diplomasi jalur cepat, fast track diplomacy, untuk mendorong perdamaian antara Palestina dan Israel. Bukan sekadar wacana, tetapi benar-benar membuka jalan agar konflik yang tak berkesudahan ini bisa menemukan titik terang.

Dua negara ini harus bisa hidup berdampingan dalam skema two-state solution, hall al-daulatain, sebuah solusi di mana keduanya tetap berdiri sebagai negara berdaulat tanpa harus meniadakan atau menghapus salah satunya dari peta dunia atau yang biasa dinarasikan dengan "mahwu ad-daulah an al-kharithah".
Gusdurized General

Saya pungkasi tulisan ini dengan merecovery kenangan bersama Almarhum Gus Dur. Ketika itu Gus Dur sering melakukan pertemuan dan diskusi bersama Prabowo (Mas Bowo, begitu Gus Dur menyapa), The Rising Star saat itu. Diskusi kadang offline dan kadang online. Device untuk online ketika itu adalah Nokia Komunikator, sebuah gadget mewah dan "nggaya" saat itu.

Pesan-pesan serta advice Gus Dur ke Prabowo menjadi "mercu suar" sinyal pengarah langkah Prabowo. Tidak berlebihan kalau saya menyebut Presiden Prabowo sebagai "Gusdurized General" Jenderal yang ter-gusdur-kan .

Satu kenangan lagi bersama Gus Dur yang terkait dengan gebrak podiumnya Presiden Prabowo, terjadi pada tahun 2006. Saat itu saya nyopiri beliau ke Bandara Adisucipto selepas beliau rawuh ke rumah saya di Druwo Sewon Yogya. Di perjalanan tersebut beliau tanya ke saya dengan gaya khas beliau.
"Mas Maftuh" begitu Gus Dur panggil saya. Sampean pernah ngerti Madona-nya Timur Tengah?

Saya jawab: Umi Kulsum ya Gus. Penyanyi yang mendendangkan lagu "Ya Masharani' (Wahai Kau yang membuatku tidak bisa tidur).
"Salah" sahut Gus Dur. Madona Timur Tengah itu Namanya Ofra Haza yang terkenal dengan lagu shaddai. Ohh yang cantik itu ya Gus? Kata saya.
Gus dur langsung nyemprot saya: " Sampean kui ngertine mung ayune thok" (Anda tahunya hanya sisi cantiknya saja). Beliau sering memakai Bahasa Jawa halus kalau berkomunikasi.

Lalu? Tanya saya. Gus Dur pun langsung memberikan eksplanasi dengan narasi yang mengagetkan saya.
Kata Gus Dur: Kalau sampean kepingin ngerti dan faham penderitaan bangsa Yahudi maka dengarkan lagu-lagu Ofra Haza ini. Kulo yakin sampean gak ngerti isi lagu Ofra Haza tersebut karena liriknya campuran Inggris, Arab dan Ibrani (Hebrew).

Kita harus adil melihat keributan Israel dan Palestina, dua-duanya adalah bangsa yang menderita. Kita bisa mendamaikan keduanya ketika kita jernih melihat masalah tersebut, lanjut Gus Dur.

Kita bisa mendorong Israel untuk mengakui Palestina jika kita bisa membuat bangsa Israel bisa tidur nyenyak dan nyaman. Baru kita rembug skema perdamainnya, pungkas Gus Dur.

Saya pun bengong dengan kata-kata bijak Gus Dur tersebut dan saya pun matur ke beliau: lho Gus lagu-lagu Ofra Haza sering diputar di acara-acara fashion show busana-busana Muslimah di Indonesia ini. Gus Dur pun langsung nyahut: Ya berarti sudah menjadi pendukung dan fans Israel karena lagu terutama "Shadai" yang artinya Wahai Tuhan Yang Mahakuasa adalah nyanyian spiritualnya Israel. Gus Dur pun ngekek dengan gaya khasnya.

Dalam ngekeknya Gus Dur, saya langsung menyela: Gus, saya sangat suka lagu Ofra Haza yang judulnya "Albi" karena musiknya terutama betotan bass-nya bagus. Sampean kok sampai detail mengamati bass-nya? Saya jawab jelang Gus Dur Boarding; "saya ini musisi yang tersesat menjadi dosen Gus'.

Kalau Gus Dur masih hidup, saya akan matur ke belia; Gus, saya ini Duta Besar yang tidak sesuai dengan kriteria Sunnah Rasulullah. Pasti Gus Dur akan tanya: maksude pripun? Para Duta Besar Rasulullah (sufara ar-rasul) seperti yang terdapat dalam fiqih diplomasi itu kriterianya ada yang tidak bisa saya penuhi Gus. Apa itu? Dalam beberapa kitab al-alaqah al-duwaliyyah fil ilsam" (hubungan antar negara dalam Islam) itu ada syarat dubes tidak hanya gagah tetapi juga harus " hasanal mandhar" alias ganteng dan sawangable (enak di-sawang dan dipandang), nah saya ini tidak masuk kriteria itu. Saya tidak sawangable seperti Song Jong Ki mantan suami Song Hye Kyo. Gus Dur pasti akan komentar: ono2 wae sampean itu, sambil dibarengi ngekek khasnya.

Gebrak podium Presiden Prabowo adalah bentuk effort untuk membuat kedua negara ini, Israel dan Palestina bisa tidur nyenyak dan nyaman seperti harapan Gus Dur. Penyelesaian two state Solution, hall ad-daulatain dengan tanpa menghapus salah satunya dari atlas dunia.

Ini bukan impossible dream tetapi possible dream.
Begitu bukan? Indah Bukan?

Agus Maftuh Abegebriel

Penulis adalah Dubes RI untuk Kerajaan Arab Saudi merangkap OKI, 2016 - 2021

Artikel ini adalah kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)




(erd/erd)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads