Fatwa MUI Diusulkan Jadi Landasan Etik dalam Revisi UU Penyiaran

Fatwa MUI Diusulkan Jadi Landasan Etik dalam Revisi UU Penyiaran

Devi Setya - detikHikmah
Rabu, 27 Agu 2025 14:45 WIB
Logo MUI
logo MUI Foto: detikINET/Agus Tri Haryanto
Jakarta -

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengusulkan agar fatwa-fatwanya dijadikan sebagai landasan etik dalam perumusan pasal-pasal Undang-Undang (UU) Penyiaran yang baru. Usulan tersebut disampaikan oleh Ketua MUI Bidang Informasi dan Komunikasi, KH Masduki Baidlowi, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi I DPR RI terkait Revisi UU Penyiaran di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (25/8/2025).

Fatwa MUI sebagai Pedoman Etik Penyiaran Digital

Dilansir dari laman MUI Digital, KH Masduki Baidlowi menekankan bahwa fatwa-fatwa MUI, khususnya yang berkaitan dengan Pedoman Bermuamalah di Media Sosial dan pornografi, dapat diadopsi sebagai pedoman etik dalam penyiaran. Ia menilai penyiaran harus berfungsi lebih dari sekadar hiburan komersial, melainkan sebagai sarana edukasi, pembentukan akhlak, dan perekat sosial.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Standar etik dalam P3SPS dan UU Penyiaran, baik norma yang sudah berlaku selama ini maupun yang baru, diperluas penerapannya ke media digital seperti YouTube, TikTok, dan Instagram," ujar Kiai Masduki.

Selain itu, MUI mendorong agar revisi UU Penyiaran memperkuat efektivitas larangan terhadap konten negatif, termasuk fitnah, hoaks, ujaran kebencian, hingga konten yang merendahkan martabat anak.

ADVERTISEMENT

Atasi Dampak Negatif Algoritma dan Ekonomi Digital

MUI menilai perlu adanya perlindungan masyarakat dari dampak negatif algoritma dan ekonomi digital. KH Masduki mengingatkan bahaya echo chamber yang dapat memperkuat radikalisme, polarisasi, intoleransi berbasis agama, dan ekstremisme digital.

Ia juga menyoroti peran algoritma media sosial yang mendorong viralitas konten sensasional dibandingkan kedalaman pesan moral. Karena itu, MUI mengusulkan agar UU Penyiaran mengatur tanggung jawab platform digital terhadap algoritma yang mempromosikan konten berbahaya, seperti judi online, radikalisme, konsumerisme ekstrem berbasis pinjaman online (pinjol), LGBT, pornografi, dan eksploitasi seksual.

"Pendekatan dalam UU Penyiaran harus mencegah dampak negatif secara nyata, tidak hanya mengandalkan pendekatan normatif," tegasnya.

Dorongan Literasi Digital dan Moderasi Beragama

MUI juga menyatakan kesiapannya untuk berkontribusi dalam program literasi digital, termasuk penyusunan kurikulum literasi konten keagamaan multi platform. Program ini mencakup sosialisasi fatwa dan tausiyah digital, standardisasi dan sertifikasi dai, ustaz, influencer, konten kreator, serta pegiat media sosial agar selaras dengan paradigma moderasi Islam wasathiyah.

"Program Mujahid Digital untuk melawan hoaks, radikalisme, judi online, konsumerisme pinjol, dan pornografi, termasuk podcast-podcast vulgar yang mengumbar percakapan seksualitas, harus diperkuat," kata Kiai Masduki.

Menurutnya, MUI bukan sekadar lembaga normatif, tetapi juga aktor aktif dalam menjaga moralitas bangsa di era digital.

Komisi I DPR RI Sambut Positif Masukan MUI

Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono, menyambut baik usulan yang disampaikan MUI. Ia menegaskan bahwa seluruh masukan tersebut akan dicatat sebagai bahan untuk memperkuat industri penyiaran ke depan.

"MUI memiliki pandangan yang sudah disampaikan, ini menjadi masukan, sama dengan KWI dan Komite Pengendalian Tembakau. Ada beberapa hal yang kita catat untuk memperkuat industri penyiaran agar lebih baik ke depannya," ujar Dave.

Ia berharap MUI terus memberikan masukan agar DPR RI dapat bekerja dengan tulus dan tetap berada dalam bimbingan nilai-nilai agama.

Dalam pembahasan RUU Penyiaran kali ini, Komisi I DPR akan fokus pada pengaturan penyiaran multi platform yang mencakup media digital. Dave menilai pengaturan ini penting karena sifat media digital yang tak terbatas dan minim penyaringan.

"Undang-undang penyiaran ini kita revisi agar sesuai perkembangan zaman, sehingga industri penyiaran dapat terus hidup dan melayani masyarakat Indonesia," ujarnya.

MUI Dukung Perluasan Kewenangan KPI

MUI juga mendukung perluasan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) agar tidak hanya mengawasi siaran TV dan radio, tetapi juga konten digital dan media sosial. Menurut KH Masduki, pergeseran konsumsi informasi masyarakat dari televisi ke media digital menuntut regulasi yang adaptif.

"Televisi sudah ditinggalkan masyarakat, sebagai industri sunset. Orang sekarang bermedsos dan berinternet semua," ungkapnya.

Ia menambahkan, media sosial yang tidak diatur berpotensi menimbulkan bahaya serius, termasuk radikalisasi berbasis algoritma yang dapat dimanfaatkan kelompok ekstremis.

Dengan integrasi nilai agama, penguatan KPI, pelibatan MUI dalam literasi digital, serta perlindungan anak dan kelompok rentan, KH Masduki optimistis ekosistem penyiaran di Indonesia akan menjadi lebih sehat, cerdas, dan berkelanjutan.




(dvs/inf)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads