Riddah Artinya Murtad, Ini Penjelasan dari Empat Mazhab

Riddah Artinya Murtad, Ini Penjelasan dari Empat Mazhab

Devi Setya - detikHikmah
Rabu, 29 Nov 2023 08:45 WIB
Sebutan kafir bukan tertuju untuk non muslim. Seorang muslim jika ia melakukan ciri-ciri ini dapat disebut sebagai kafir.
Foto: Getty Images/iStockphoto/dcdr
Jakarta -

Riddah dilakukan oleh orang-orang yang mengingkari keberadaan Allah SWT setelah sebelumnya memeluk Islam. Riddah juga kerap disebut murtad.

Riddah merupakan perbuatan tercela yang diganjar dosa besar. Riddah dijelaskan dalam beberapa ayat Al-Qur'an, salah satunya dalam surat Ali Imran ayat 149,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تُطِيعُوا۟ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ يَرُدُّوكُمْ عَلَىٰٓ أَعْقَٰبِكُمْ فَتَنقَلِبُوا۟ خَٰسِرِينَ

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mentaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi." (Ali Imran: 149).

Pengertian Riddah Menurut 4 Madzhab

Mengutip buku Hukum Pidana Islam: Tinjauan Teoritis oleh Achmad Irwan Hamzani dan Havis Aravik menjelaskan riddah secara harfiah berasal dari kata radda yang artinya mengembalikan atau memalingkan. Menurut istilah, riddah adalah kembalinya seorang muslim yang berakal dan telah baligh untuk memilih keyakinan agama lain atas dasar pilihannya, bukan atas dasar paksaan.

ADVERTISEMENT

Mazhab Maliki

Ash-Shawi dari madzhab Maliki berpendapat, riddah adalah kafirnya seorang muslim dengan perkataan yang terang-terangan atau perkataan yang menuntut kekafirannya atau perbuatan yang mengandung kekafiran.

Mazhab Syafi'i

As-Syarbini dari Mazhab Syafi'i menjelaskan riddah adalah putus dari Islam dengan niat atau perbuatan, baik mengatakan tentangnya dalam rangka menghina, membangkang ataupun meyakini.

Mazhab Hambali

Al-Bahuti dari Mazhab Hambali menyatakan bahwa riddah secara syariat adalah orang kafir setelah keislamannya, baik melalui perkataan, keyakinan, keraguan ataupun perbuatan.

Mazhab Hanafi

Al-Kasani dari Mazhab Hanafi mengatakan rukun riddah adalah keluarnya perkataan kafir dari lisan, yang sebelumnya beriman, sebab riddah adalah rujuk (berpaling) dari keimanan.

Dari pengertian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa riddah adalah pengingkaran terhadap ajaran-ajaran agama Islam yang sudah pasti, pelecehan terhadap Islam atau penghinaan terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya.

Beberapa ulama mempersamakan riddah dengan murtad, oleh karenanya, seorang muslim yang meninggalkan sholat dan ibadah wajib lainnya dianggap sebagai murtad.

Dosa Orang yang Berbuat Riddah

Allah SWT melaknat orang-orang yang riddah, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an surat An-Nahl Ayat 106

مَن كَفَرَ بِٱللَّهِ مِنۢ بَعْدِ إِيمَٰنِهِۦٓ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُۥ مُطْمَئِنٌّۢ بِٱلْإِيمَٰنِ وَلَٰكِن مَّن شَرَحَ بِٱلْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ ٱللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Artinya: Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.

Rasulullah SAW dalam sebuah hadits pernah menjelaskan terkait orang-orang yang murtad.

Dari Ibnu Abbas, ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia." (HR Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa'i)

Berlandaskan hadits tersebut, sebagian ulama sepakat bahwa pelaku riddah adalah dibunuh. Namun, pelaksanaannya tidak boleh serta merta langsung membunuh tanpa ada bukti yang kuat.

Dikutip dari buku Fikih Jinayat: Hukum Pidana Islam oleh Ali Geno, dijelaskan seorang pelaku riddah harus lebih dulu diimbau untuk bertaubat dan kembali diajak mengimani agama Islam.

Bagi pelaku riddah yang mau bertaubat maka akan diterima taubatnya. Jika anjuran taubat tidak digubris maka ia boleh diperangi.

Ulama Madzhab Maliki berpendapat, bagi pelaku riddah yang siap bertaubat maka diberikan tenggang waktu untuk bertaubat selama tiga hari tiga malam. Waktu ini terhitung sejak pertama kali ia dinyatakan melakukan riddah tersebut.

Menurut Abu Hanifah, persoalan waktu untuk menunggu keputusan sikap pelaku ini menjadi wewenang penuh penguasa. Jika penguasa memutuskan untuk segera dieksekusi, maka harus dilakukan, sebaliknya, jika penguasa ingin memberikan toleransi maka tersangka akan dieksekusi sesuai waktu yang ditentukan.

Menurut Madzhab Syafi'i, ada dua pendapat mengenai pemberian tenggang waktu, yaitu (1) diberi waktu tiga hari dan (2) segera dieksekusi saat si pelaku menolak bertaubat.

Menurut Madzhab Hambali, ulama sepakat untuk memberikan tenggang waktu tiga hari. Namun selama tiga hari tersebut pelaku harus ditahan.




(dvs/lus)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads