×
Ad

Studi Ungkap Ketimpangan Pemulihan Pascabencana antara Wilayah Kaya dan Miskin

Abdur Rahman Ramadhan - detikEdu
Kamis, 18 Des 2025 12:30 WIB
Ilustrasi pascabencana. Foto: Getty Image
Jakarta -

Bencana sering dianggap sebagai musibah yang bisa menimpa siapa saja. Namun, penelitian menunjukkan bahwa dampaknya tidak dirasakan secara sama oleh semua kelompok masyarakat.

Studi baru-baru ini menunjukkan, ada ketimpangan yang jelas antara kawasan berpenghasilan tinggi dan rendah dalam proses pemulihan pascabencana. Kawasan yang lebih makmur lebih cepat dibangun kembali, sedangkan

kawasan yang lebih miskin terbengkalai bertahun-tahun.

Fenomena tersebut membuat para peneliti mempertanyakan, apakah proses pemulihan pascabencana benar-benar adil? Benarkah pihak pemulihan justru mendahulukan wilayah masyarakat kaya?


Menengok Dampak Bencana Jangka Panjang


Temuan studi tersebut didasarkan pada analisis kecerdasan artifisial (artificial intelligence/AI) terhadap foto-foto permukiman di 16 negara bagian Amerika Serikat (AS) yang diperoleh dari Google Street View.

Penulis studi, doktor teknik sipil dan lingkungan serta ilmu komputer Stanford University Tianyuan Huang, melakukan penelitian ini bersama rekan-rekan untuk memperluas sudut pandang penelitian pascabencana sebelumnya.

Mereka tidak hanya melihat dampak bencana dalam jangka pendek, tetapi juga meneliti bagaimana lingkungan binaan berubah dan pulih dalam jangka panjang.

Untuk menggerakkan penelitian, dengan bantuan alat AI GPT-4, tim peneliti mengidentifikasi ribuan bangunan yang mengalami kerusakan. Mereka lalu menilai apakah bangunan tersebut dibiarkan kosong, dibangun kembali seperti semula, atau justru diperbaiki menjadi lebih besar dan lebih kuat.

Temuan Studi: Ketimpangan Meningkat Setelah Bencana

Hasil penelitian tim tersebut menunjukkan ketimpangan pemulihan. Bangunan di kawasan berpenghasilan rendah yang rusak akibat bencana lebih sering dibiarkan menjadi lahan kosong selama bertahun-tahun (lebih dari 37%), daripada bangunan rusak di kawasan ekonomi menengah (22%) dan kawasan ekonomi tinggi (7%).

Sebaliknya, bangunan rusak di daerah kaya cenderung dibangun kembali menjadi gedung yang lebih besar dan lebih kuat (81%), daripada kawasan kalangan ekonomi menengah (56%) dan kawasan kalangan ekonomi rendah (33%).

Temuan ini sedikit banyak mendukung konsep recovery machine. Gagasan ini menyorot bahwa setelah bencana, pengembang, agen properti, dan pihak-pihak di bidang keuangan cenderung membangun kembali wilayah terdampak dengan tujuan pertumbuhan ekonomi.

Namun, proses tersebut lebih sering menguntungkan orang-orang yang memiliki akses dan kendali atas sumber daya keuangan. Sementara itu, masyarakat berpenghasilan rendah justru kerap terabaikan. Akibatnya, kesenjangan sosial dan ekonomi di wilayah terdampak bencana bisa semakin melebar dari waktu ke waktu.

Ketika Pemulihan Tidak untuk Semua Orang

Selama ini, beberapa penelitian menyebut kelompok berpenghasilan rendah cenderung terjebak di wilayah rawan bencana karena keterbatasan untuk pindah. Teori ini dikenal sebagai segmented withdrawal.

Teori tersebut banyak dibahas setelah Badai Katrina. Saat itu, warga miskin dan komunitas berkulit hitam (Black) di New Orleans, AS tetap tinggal di kawasan rawan banjir.

Namun, temuan terbaru menunjukkan persoalan yang lebih berkaitan dengan kebijakan pemulihan. Analisis Huang dan timnya menemukan bahwa proses pemulihan pascabencana lebih banyak menguntungkan kawasan berpenghasilan tinggi, yaitu adanya dukungan pembangunan kembali, baik dari pengembang maupun sistem pembiayaan yang lebih mudah mengalir ke wilayah kaya.

Penulis studi lainnya, profesor sosiologi Stanford University Jackelyn Hwang, menyoroti sistem bantuan bencana Pemerintah AS turut membantu lingkungan kaya semakin kaya. Sistem bantuan ini membantu masyarakat kaya mempertahankan nilai properti mereka, meskipun juga berlokasi di daerah yang berisiko terdampak perubahan iklim.

Sebaliknya, lingkungan berpenghasilan rendah sering kali tidak mendapat dukungan kebijakan yang memadai, seperti akses asuransi atau bantuan pembangunan kembali. Akibatnya, banyak warga terpaksa meninggalkan rumah mereka karena tidak mampu pulih secara mandiri.

"Kebijakan saat ini tidak berfungsi dengan baik bagi masyarakat miskin," kata Hwang, dikutip dari Phys.org.

Berdasarkan studi mereka, Huang menilai pendekatan pemulihan pascabencana saat ini belum cukup melindungi masyarakat miskin.

"Pendekatan saat ini untuk membantu pemulihan iklim di lingkungan miskin tidak adil," ujar Huang.

Menurutnya, kondisi ini menegaskan perlunya kebijakan publik yang lebih adil dalam penanganan bencana. Ia menekankan, pemerintah perlu memperkuat bantuan dan keterlibatan warga dalam proses pemulihan.

Hasil studi ini telah dipublikasi di jurnal Nature dengan judul "Built environment disparities are amplified during extreme weather recovery", 3 Desember 2025.



Simak Video "Video: Momen Pengiriman Bantuan Logistik untuk Korban Bencana Sumatera via Udara"

(twu/twu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork