Hutan mangrove tidak hanya berperan penting sebagai peredam angin dan gelombang laut, serta pelindung abrasi di pantai, tapi juga bisa menjadi destinasi wisata alam, sentra edukasi dan wisata kuliner. Salah satunya yang bisa menjadi tujuan, hutan mangrove di kawasan Ekowisata, Desa Budeng, Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana, Bali.
Hutan mangrove merupakan hutan yang bisa dilihat di kawasan pesisir, seperti di muara sungai dan daerah pasang surut. Hutan yang ditumbuhi tanaman mangrove dengan karakter yang hidup di laut dan darat ini, memiliki banyak potensi yang bisa kembangkan.
Ekowisata Desa Budeng yang menawarkan potensi hutan mangrove, tidak hanya bergerak bidang wisata alam, tetapi juga silvofishery adalah penghijauan sekaligus budidaya kepiting dan kerang yang dilakukan di kawasan mangrove, tanpa harus membabat atau merusak hutan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Justru, dengan silvofishery, hutan mangrove sebagai sumber kehidupan. Sehingga hutan mangrove tetap lestari. "Wisata di sini bonus dari kegiatan pelestarian alam yang kami lakukan sejak 2007," kata ketua kelompok tani hutan (KTH) Wana Merta Desa Budeng Putu Madiasa saat ditemui detikBali dilokasi, Minggu (10/7/2022)
Dari hutan mangrove ini juga menghasilkan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Yakni, daun dari tanaman mangrove dijadikan teh jeruju. Daunnya juga bisa buat pewarna alami tenun dan buahnya bisa diolah menjadi bahan makanan.
Pengembangan hutan mangrove menjadi kawasan ekowisata ini baru dilakukan setelah upaya pelestarian hutan belasan tahun lalu. Awalnya, sejumlah warga Desa Budeng yang sebagian petani, karena peduli hutan mangrove menanam kawasan hutan mangrove yang sebelumnya adalah tambak.
Tujuan pertama kali dari kelompok wana merta adalah peduli terhadap lingkungan terutama pada tanaman mangrove. "Saat itu saya hanya menanam menanam dan terus menanam karena kecintaan kami terhadap lingkungan, terutama mangrove," ucapnya.
Setelah lima tahun berlalu, tepatnya tahun 2011 komunitas kecil yang berjumlah 10 orang ini membentuk kelompok yang masih eksis sampai saat ini. Yakni KTH Wana Merta. "Pertama kali kita membentuk kelompok tahun 2011. Yang sebelumnya bernama KBR kebun bibit rakyat setelah berjalannya waktu akhirnya KBR dirubah menjadi KTH (kelompok tani hutan)," jelasnya.
Eksistensi KTH Wana Merta kemudian diakui pemerintah pusat dengan adanya surat keputusan (SK) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2018. Pendampingan secara berkelanjutan juga dilakukan Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Bali Barat.
Namun tidak semua keadaan hutan yang ada dapat dikelola, dari total luas 66,9 hektar KTH diberi hak mengelola hutan mangrove seluas 25 hektar. Luasan ini diperuntukkan untuk pengembangan.
Kemudian di dalam tubuh KTH sendiri dibentuk kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) yang bergerak di Ekowisata, bergerak di silvofishery dan bergerak di HHBK. Padahal Awal penanaman mangrove dimulai sejak tahun 2007. Saat itu dilakukan oleh 10 orang, dari awal menanam tidak pernah terbersit pikiran untuk membuat wisata Mangrove.
Dengan seiring berjalannya waktu, KUPS yang ditonjolkan di sini adalah ekowisata kuliner dengan warung makan tengah hutan mangrove ini. Semua bahan makanan yang diolah, terutama kepiting dari hutan mangrove. Selain budidaya kepiting juga berjalannya HHBK sudah terbukti membuat teh herbal berbahan dasar dari mangrove.
Saat ini sedang giat-giatnya melakukan konservasi atau penanaman mangrove di kawasan yang dikelola oleh KTH wana marta. Sebagai daya tarik dan wisata, sering datang pelajar dan mahasiswa untuk berwisata sekaligus menanam dan mengenal tentang mangrove.
Wisata edukasi ini menawarkan kepada pengunjung pengetahuan tentang tanaman mangrove, dari jenis mangrove hingga cara perawatan mangrove dan kegunaan manfaat dari pohon mangrove.
Dari kegiatan ini, tidak hanya siswa dan mahasiswa yang menempuh strata satu, mahasiswa strata dua juga banyak yang melakukan penelitian. "Saya hanya lulusan SMP. Tapi banyak yang datang ke sini mahasiswa S2 belajar tentang mangrove," tukasnya.
Kemudian yang kedua ekowisata pembudidaya kepiting Budeng. Untuk budidaya kepiting Budeng ini sengaja dipilih karena kepiting Budeng, dari dari rasa yang membedakan kepiting Budeng ini lebih enak dibanding dengan kepiting yang ada di Kabupaten lain di Bali.
Kepiting yang dibudidayakan kelompok, langsung digunakan mencukupi kebutuhan warung makan yang juga dikelola kelompok. Bahkan warga sekitar yang pekerjaannya mencari kepiting dan kerang, menjual hasil tangkapan kepada ekowisata. Dengan begitu, perekonomian warga menjadi berputar.
(kws/kws)