Subak kini semakin terancam dengan semakin menyempitnya lahan pertanian akibat alih fungsi lahan. Lebih dari sekadar sistem pengairan pertanian di Bali, Subak juga merupakan bagian penting dalam kebudayaan Bali. Ingin tahu lebih mendalam tentang Subak?
Museum Subak di Kabupaten Tabanan bisa menjadi salah satu referensi bagi mereka yang ingin mengetahui tentang Subak atau organisasi petani tradisional di Pulau Bali. Lokasi tepatnya berada di Banjar Sanggulan, Desa Banjaranyar, Kecamatan Kediri.
Pengunjung yang datang ke museum ini bisa memperoleh informasi mengenai Subak, baik dari sisi pertanian dan kelembagaan. Informasi yang tersaji di museum ini meliputi sejarah Subak, sumber utama mata air, dan irigasi yang mengalirkan air seluruh persawahan dan perkebunan di Bali.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seluruh informasi itu bisa dilihat pada museum outdoor, gedung audio visual, hingga museum indoor tempat dipajangnya sejumlah alat atau teknologi tradisional yang berkaitan dengan aktivitas pertanian.
Tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam untuk mengunjungi museum ini. Cukup membayar Rp 10 ribu per orang, pengunjung sudah dapat menggali informasi seputar Subak di dalam museum. Sementara bagi warganegara asing, dikenai tariff retribusi yang lebih mahal, yakni Rp 15 ribu per orang.
Sebelum pandemi, museum ini buka setiap hari dari Senin hingga Minggu. Namun setelah pandemi, waktu buka museum hanya dibatasi pada Senin hingga Jumat saja. Jumat pun hanya buka setengah hari.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Museum Subak, Ida Ayu Nyoman Ratna Pawitrani, Jumat (31/3/2022 menjelaskan, hari Sabtu dan Minggu dimanfaatkan untuk kegiatan perawatan koleksi. "Karena sebagaian besar koleksi kami berbahan kayu," ujar Ratna kepada detikBali.
Baca juga: Asyiknya Kemah di Atas 'Pohon Surga' |
Ratna menjelaskan, Museum Subak awalnya digagas pada 1975 oleh I Gusti Ketut Kaler, seorang pakar adat dan agama dari Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Bali. Gagasan itu muncul sebagai respon terhadap modernisasi pertanian yang memanfaatkan berbagai teknologi baru.
Modernisasi kala itu dikhawatirkan bisa membuat alat-alat pertanian tradisional semakin ditinggalkan. Sehingga tidak menutup kemungkinan Subak juga akan mengalami nasib yang sama.
"Oleh karena itu, I Gusti Ketut Kaler mengusulkan adanya satu tempat yang bisa dijadikan sebagai cagar budaya untuk melestarikan Subak. Museum Subak salah satunya," tuturnya.
Gagasan tersebut kemudian terealisasi pada 13 Oktober 1981 dan diresmikan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali, Prof. Dr. Ida Bagus Mantra. Pengelolaannya saat itu di bawah Majelis Lembaga Adat.
Seiring waktu berjalan, pengelolaan museum ini kemudian berada di bawah Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. TKini, museum dikelola oleh Dinas Kebudayaan Kabupaten Tabanan.
"Waktu itu (di bawah Pemerintah Provinsi Bali) menyandang nama Museum Subak Bali. Artinya bukan hanya (subak) di Tabanan saja," imbuh Ratna.
Menurutnya, Tabanan dipilih sebagai lokasi museum karena memiliki areal persawahan terluas di Bali, meskipun jumlah organisasi Subaknya tidak banyak.
"Yang lebih banyak (subaknya) itu, kalau tidak salah Kabupaten Gianyar," sambung Ratna.
Karena itu, sambung Ratna, maket wilayah Subak yang menjadi koleksi museum ini bukan mencontoh Desa Jatiluwih yang sejak 2012 lalu ditetapkan sebagai bagian dari Warisan Budaya Dunia (WBD).
Makanya kami punya maket di sini contohnya bukan di Jatiluwih, tetapi Subak Tedung di Kabupaten Gianyar," ujar Ratna seraya mengatakan alat-alat pertanian yang menjadi koleksi Museum Subak diambil dari seluruh Bali.
(nke/nke)