Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memetakan tempat pemungutan suara (TPS) di 10 kabupaten kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Berdasarkan hasil pemetaan, tercatat 6.001 TPS berstatus rawan. Paling banyak ada di Lombok Timur.
"TPS rawan tersebut tersebar di lima kabupaten/kota di NTB," kata Ketua Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Hubungan Masyarakat (Parmas) Bawaslu NTB Hasan Basri Hasan, Jumat (22/11/2024).
Dari hasil pemetaan, kabupaten terbanyak memiliki TPS berstatus rawan ada di Lombok Timur dengan 2.057 TPS. Disusul Kabupaten Sumbawa dengan 1.354 TPS, Kabupaten Bima dengan 1.281 TPS, Kabupaten Lombok Tengah dengan 661 TPS, dan Kabupaten Lombok Barat dengan 648 TPS.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hasan menjelaskan dari pemetaan kerawanan tersebut dilakukan terhadap 8 variabel dan 25 indikator kerawanan. Pertama, rawan penggunaan hak pilih. Selanjutnya, indikator kedua mengenai keamanan dan kekerasan serta intimidasi dan penolakan penyelenggaraan pemungutan suara. Ada juga indikator politik uang, politisasi SARA, netralitas penyelenggara, kerusakan, kekurangan atau kelebihan, dan keterlambatan logistik.
"Masuk juga indikator lokasi TPS sulit dijangkau, rawan konflik, rawan bencana, dan terkahir masalah jaringan listrik dan internet," jelas Hasan.
Selain itu, ada empat indikator potensi TPS rawan yang paling banyak terjadi. Di antaranya, 2.711 TPS terdapat pemilih penyandang disabilitas, 2.065 TPS yang terdapat pemilih DPT yang sudah tidak memenuhi syarat, 612 TPS yang terdapat pemilih pindahan (DPTb), dan 571 TPS yang terdapat KPPS merupakan pemilih di luar domisili TPS tempatnya bertugas.
Selain itu, ada delapan indikator potensi TPS rawan yang banyak terjadi. Yakni, 444 TPS yang terdapat kendala jaringan internet di lokasi TPS dan 249 TPS yang terdapat potensi pemilih memenuhi syarat, tapi tidak terdaftar di DPT (potensi DPK). Kemudian, 249 TPS yang terdapat riwayat praktik pemberian uang atau materi lainnya yang tidak sesuai ketentuan pada masa kampanye di sekitar lokasi TPS.
Selain itu, ada 166 TPS yang memiliki riwayat kekurangan atau kelebihan dan bahkan tidak tersedia logistik pemungutan dan penghitungan suara pada saat pemilu. Ada pula 117 TPS yang dekat lembaga pendidikan yang siswanya berpotensi memiliki hak pilih.
"Ada juga 116 TPS yang sulit dijangkau karena kendala secara geografis dan cuaca, 115 TPS yang yang berada di dekat rumah pasangan calon, 112 TPS yang yang didirikan di wilayah rawan bencana seperti rawan banjir, longsor, cuaca ekstrem, gempa," beber Hasan.
Untuk indikator potensi TPS rawan yang tidak banyak terjadi, tapi perlu diantisipasi, yakni 91 TPS yang memiliki riwayat terjadi intimidasi kepada penyelenggara pemilihan, 79 TPS yang memiliki riwayat terjadi kekerasan, 76 TPS yang terdapat ASN, dan 74 TPS yang memiliki riwayat keterlambatan pendistribusian logistik pemungutan dan penghitungan suara.
Selain itu, ada 70 TPS yang memiliki riwayat logistik pemungutan dan penghitungan suara mengalami kerusakan di TPS saat pemilu, 66 TPS yang didirikan di wilayah rawan konflik, dan 59 TPS yang terdapat riwayat pemungutan suara ulang (PSU).
"Ada juga 46 TPS yang terdapat kendala aliran listrik, 35 TPS di dekat wilayah kerja, seperti wilayah lingkar pertambangan, 25 TPS di lokasi khusus, 25 TPS yang terdapat riwayat praktik menghina atau menghasut di antara pemilih terkait isu agama, suku, ras, dan 17 TPS yang terdapat petugas KPPS berkampanye untuk pasangan calon," urai Hasan.
"Ada juga 6 TPS yang mendapat penolakan penyelenggaraan pemungutan suara," sambungnya.
Menurut Hasan, Bawaslu berupaya mencegah agar tidak terjadi konflik dan politik uang dalam pilkada.
"Kami sudah minta ke tabligh masjid, salah satu materi khutbahnya soal itu (politik uang)," katanya.
Pada waktu masa tenang pilkada, Bawaslu berkordinasi dengan TNI, polisi, dan Pol PP untuk melakukan patroli pengawasan dengan tujuan mengantisipasi potensi kecurangan dalam pemilu. "Mulai hari sabtu ini, kita sudah mulai turun," tandasnya.
Baca juga: 684 TPS di Bima Berkategori Rawan |
(hsa/hsa)