Sejumlah artis ibu kota mendukung pasangan calon (paslon) gubernur dan wakil gubernur Bali nomor urut 1, Made Muliawan Arya-Putu Agus Suradnyana (Mulia-PAS). Mereka adalah Raffi Ahmad, Gading Marten, Celine Evangelista, Ria Ricis, hingga Inara Rusli.
Sederet artis papan atas itu bahkan dikerahkan ke Bali untuk kampanye menaikkan elektabilitas Mulia-PAS. Mereka juga diharapkan bisa mengerek popularitas calon kepala daerah lain yang diusung Gerindra.
Pengamat politik Universitas Udayana (Unud) Efatha Filomeno Borromeu Duarte memandang digandengnya sejumlah artis tersebut sebagai upaya kreatif Mulia-PAS untuk menarik perhatian pemilih. Selain itu, hal ini juga sebagai upaya untuk memecah suara pemilih.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terutama, kepada pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters). Selain menggaet undecided voters, strategi ini juga digunakan untuk meraih pemilih yang disebut masih berada dalam kategori asumtif, pemilih baru (new voters), dan pemilih milenial.
"Langkah ini mencerminkan upaya kreatif untuk menarik perhatian pemilih. Tetapi juga memecah suara pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters) serta mereka yang masih berada dalam kategori asumtif juga milenial," ujar Efatha, Senin (18/11/2024).
Efatha menuturkan strategi ini sekaligus untuk menantang dominasi paslon lain yang dinilai masih kuat. Untuk diketahui, paslon nomor urut 2, Wayan Koster merupakan mantan gubernur Bali. Sementara pasangannya, I Nyoman Giri Prasta adalah Bupati Badung.
"Dan menantang dominasi dua tokoh kuat itu," imbuhnya.
Dosen Ilmu Politik Unud itu memandang kampanye Mulia-PAS yang melibatkan sederet artis papan atas itu mengadopsi pola kampanye Koalisi Indonesia Maju (KIM) pada pilpres lalu. Bahkan, kampanye yang disebutnya bombastis itu menghadirkan sejumlah elemen strategis.
Pertama, efek trickle-down dari kampanye nasional. Sebelumnya, KIM berhasil menggaet perhatian generasi muda sehingga dapat memenangkan pilpres. Hal ini diharapkan dapat memberikan efek nostalgia pada pilgub Bali mendatang.
"Harapannya, pola ini menghasilkan efek nostalgia, bagaimana kemenangan Prabowo di tingkat lokal, terutama di beberapa wilayah di Bali," jelasnya.
Selanjutnya, adalah efek bandwagon dan amplifikasi digital. Menurutnya, kehadiran artis dengan pengikut besar di media sosial dapat memberikan efek amplfikasi yang signifikan.
Terutama, menjangkau pemilih muda yang aktif berselancar di media sosial. Para artis tersebut dinilai dapat mengubah algoritma sosial media hingga beberapa hari ke depan.
"Memberikan efek amplifikasi yang signifikan, menjangkau pemilih muda yang aktif di dunia digital. Kedatangan mereka akan mengubah algoritma sosmed masyarakat hingga berapa hari. Strategi ini juga memanfaatkan efek bandwagon, mendorong pemilih untuk merasa menjadi bagian dari gerakan besar yang populer di sosial media," jelasnya.
Disinggung soal karakteristik pemilih di Bali, Efatha mengatakan pemilih di Bali memiliki karakteristik yang unik. Pemilih di Bali disebut memadukan unsur modernitas dan tradisi.
Generasi muda, kata dia, mendominasi daftar pemilih di Bali. Namun di sisi lain, masyarakat Bali juga memperhatikan rekam jejak, hingga hubungan program kerja dengan kebutuhan masyarakat.
"Pemilih di Bali memiliki karakteristik unik yang memadukan modernitas dan tradisi. Generasi muda, terutama Generasi Z dan milenial, mendominasi daftar pemilih," pandangnya.
Partisipasi pemilih yang mencapai angka 83,34 persen saat pemilu 2024 lalu, disebut sebagai tanda keseriusan dalam menentukan pemimpinnya melalui kontestasi politik.
(dpw/iws)