Suara ketukan berderu kala siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN) Tambing Kekeq, Desa Aik Berik, Kecamatan Batukliang Utara, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), belajar. Bunyi itu berasal dari dinding triplek pembatas kelas yang diketuk para siswa.
Ruang kelas sekolah di kaki Gunung Rinjani itu memang terpaksa dipisah menggunakan triplek. Keterbatasan gedung menjadi pemicunya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
SDN Tambing Kekeq hanya memiliki empat ruang, satu untuk kantor guru, dan tiga lainnya dipaksa menjadi enam ruang kelas belajar dengan penyekat seadanya. Tidak ada perpustakaan, apalagi unit kesehatan sekolah (UKS).
"Jadi aktivitas belajar kami terganggu. Kadang juga siswa kelas satu dan dua saling lempar saat dijelaskan oleh gurunya. Jadi miris kami," kata Muhammad Amir, salah satu guru di sekolah tersebut, saat berdialog dengan Komunitas Tastura Mengajar di sekolahnya, Minggu (19/10/2025).
Tak hanya ruang kelas yang rapuh dan disekat triplek, SDN Tambing Kekeq juga tak memiliki kamar mandi. Selama ini, jika terdapat siswa yang hendak buang air, mereka terpaksa harus pulang dahulu ke rumah masing-masing.
"Kami di sini serba keterbatasan. Bukan hanya ruang kelas yang kurang, tetapi fasilitas lain juga tak memadai," keluh Amir.
Menurut Amir, SDN Tambing Kekeq tak pernah ada bantuan ruang kelas baru dari pemerintah daerah setempat sejak 2009. Padahal, pihaknya kerap melaporkan kondisi di sekolah itu.
Amir dan sejumlah guru lainnya kadang iri melihat postingan atau cerita guru-guru sekolah lain yang menginformasikan sekolahnya tengah direhab. Ia sangat berharap pemerintah memperhatikan kondisi SDN Tambing Kekeq.
Ketua Komunitas Tastura Mengajar, Lalu Gitan Prahana, yang tengah melakukan pengabdian di wilayah tersebut mengaku sangat miris melihat kondisi tersebut. Kelas dengan ukuran 5 meter persegi harus dibelah dua agar mampu menampung enam kelas.
"Di SD Negeri Tambing Kekeq hanya memiliki 4 ruangan. Satu ruangan guru dan 3 ruangan untuk kegiatan belajar. Masing-masing kelas diberi sekat triplek agar satu ruangan bisa dipakai dua kelas," tutur Lalu Gitan.
Kondisi ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Jika suara kelas satu terlalu keras, kelas dua pun terganggu. Anak-anak kerap mengetuk bahkan memukul sekat triplek itu hingga berlubang. Suasana belajar jadi tak lagi nyaman.
"Namanya triplek, kalau dipukul pasti berisik. Anak-anak suka memukul penyekat itu, makanya sering ribut dan mengganggu proses belajar," Terang Lalu Gitan.
Keterbatasan ini bukan hanya terasa pada hari-hari biasa. Situasi makin sempit saat ujian atau asesmen nasional,. "Kelas 6 terpaksa harus numpang di ruang kelas 3 dan 4. Satu ruangan diisi 3 kelas," ujarnya.
Di tengah kondisi itu, Lalu Gitan berujar, semangat belajar anak-anak tetap menyala. Meski dalam keterbatasan, anak-anak begitu antusias mengikuti kegiatan Tastura Mengajar selama hampir sepekan.
"Jangan sampai semangat ini perlahan hilang karena sekolah mereka makin tidak layak," sambung Lalu Gitan.
Kondisi miris ternyata bukan hanya terjadi di SDN Tambing Kekeq. Kondisi lebih parah dialami oleh siswa-siswi di SDN 6 Satu Atap (Satap) Bangket Molo, Desa Mekarsari, Lombok Tengah.
"Yang di sana itu kami temukan sebagian siswanya harus jalan kaki sekitar 2,5 km untuk bisa sekolah," ungkap Lalu Gitan.
Para siswa di SDN 6 Satap Bangket Molojuga harus melewati curamnya perbukitan dan jalan tanah yang becek sehingga aktivitas belajar menjadi tak nyaman. Padahal, pemerintah desa hampir setiap tahun mengajukan untuk perbaikan infrastruktur.
"Kalau siswa-siswi ini jalan sekolah dalam keadaan rapi. Saat tiba di sekolah jangan harap masih bersih," terang Lalu Gitan.
Kepala Dinas Pendidikan Lombok Tengah, Lalu Idham Khalid, mengatakan akan turun untuk melakukan peninjauan ke sekolah tersebut. Ia berharap sekolah itu bisa direnovasi tahun ini.
"Mudah-mudahan tahun 2026 bisa direhab ya," kata Idham singkat via WhatsApp. Namun, Idham tak bisa menjelaskan secara detail soal sumber anggaran dan nominal yang akan digelontorkan ke sekolah tersebut.
(iws/iws)