Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Nonato Da Purificacao Sarmento, mengeluhkan kerja pengawasan pemilu yang tak sebanding dengan jumlah pengawas.
Ia menyoroti jumlah pengawas pemilu yang lebih sedikit dibandingkan lembaga penyelenggaran Pemilu lainnya, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU). Nonato mendorong adanya perubahan jumlah pengawas pemilu dalam revisi Undang-Undang Pemilu.
"Lembaga penyelenggaraan pemilu terdiri dari tiga, KPU, Bawaslu, DKPP. Namun, dalam praktik pengawasannya yang tidak bisa kita pisahkan, ada perbedaan," kata Nonato dalam sambutannya pada kegiatan Rapat Koordinasi penguatan kelembagaan Bawaslu Manggarai Barat di Labuan Bajo, Senin (13/10/3025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nonato mencontohkan perbedaan jumlah komisioner KPU dengan Bawaslu di tingkat kabupaten/kota. Di tingkat itu, KPU memiliki lima komisioner, sedangkan komisioner Bawaslu di tingkat yang sama sebagian besar hanya berjumlah tiga orang. Dari 22 kabupaten/kota di NTT, hanya dua kabupaten yang komisioner Bawaslu-nya berjumlah lima orang. Bawaslu kabupaten/kota lainnya berjumlah tiga orang.
"Kami mencontohkan sahabat-sahabat kami di KPU kabupaten jumlahnya lima, kami di Bawaslu kabupaten di seluruh 22 kabupaten/kota hanya 2 kabupaten jumlahnya 5 (orang), kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Selatan. Sebanyak 20 kabupaten lainnya jumlahnya hanya 3," urai Nanato.
Ketimpangan ini juga terlihat di tingkat kecamatan hingga desa. Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam) umumnya berjumlah tiga orang. Beda dengan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) yang berjumlah tiga orạng tiap kecamatan. Di tingkat desa hanya tersedia satu pengawas yang harus mengawasi hingga enam tempat pemungutan suara (TPS).
"Di tingkat kecamatan sahabat-sahabat kami Panwascam jumlahnya ada sebagian 3, tapi teman-teman PPK jumlahnya 5. Bahkan tingkat desa kami hanya punya 1," kata Nanato.
"Bapak ibu bisa bayangkan jumlah penduduk, jumlah pemilih, luas wilayah Manggarai Barat yang cukup besar, contohnya satu desa ada 4-6 TPS hanya ada 1 pengawas desa/kelurahan. Itu menjadi kesulitan buat kami dalam kerja pengawasan," lanjut dia.
Demikian juga saat melakukan pengawasan pencocokan dan pemuktahiran data pemilih, Bawaslu tak bisa merekrut tenaga ad hoc untuk tugas pengawasan tersebut. Pengawasan hanya dilakukan satu orang. Berbeda dengan KPU yang merekrut sejumlah petugas pemutakhiran data pemilih (Pantarlih) yang bersifat ad hoc.
"Juga dalam pencocokan dan pemuktahiran data pemilih, ada proses dikunjungi ke rumah masing-masing. Sahabat kami KPU merekrut teman-teman ad hoc, petugas pemutakhiran data pemilu sejumlah 1 TPS 1 orang. Bawaslu tidak bisa melakukan rekrutmen seperti itu. Praktis tugas coklit, 5 TPS 1 desa, untuk tugas pengawasan," jelas Nanato.
Menurut dia, jumlah pengawas pemilu ini perlu diatur kembali dalam revisi UU Pemilu. Nanato berharap Rapat Koordinasi Penguatan Kelembagaan Bawaslu Manggarai Barat di Labuan Bajo ini bisa merekomendasikan hal tersebut.
"Ini belum diatur dalam Undang-Undang Pemilu kita. Ini yang perlu dinormakan. Oleh karena itu saya berharap ada masukan, catatan sehingga beberapa perubahan ini nanti ke depan ini juga bisa menjadi rekomendasi dari forum ini untuk pembahasan Undang-undang Pemilu kita," tandas Nanato.
Ketua Bawaslu Manggarai Barat Maria Magdalena S Seriang mengatakan kegiatan penguatan lembaga ini menjadi momen penting untuk merefleksikan apa yang dilakukan Bawaslu di masa non-tahapan pemilu. Perempuan yang disapa Leni ini menegaskan kerja pengawas pemilu tidak berhenti pada masa tahapan pemilu. Kerja penguatan demokrasi harus terus dilakukan.
"Demokrasi yang substantif tentu harus dipupuk, dan dihidupkan sehingga pemilu mendatang kita semua sudah siap. Masa nontahapan adalah masa emas untuk kita mempersiapkan bersama sehingga tahapan itu ada di depan mata, kita semua sudah siap," kata Leni.
(hsa/hsa)