Pemerintah kembali membuka pembatasan penempatan pekerja migran Indonesia (PMI) sektor domestik ke negara kawasan Timur Tengah. Hal ini seiring dengan dicabutnya Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan di Negara-negara Kawasan Timur Tengah.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) I Gede Putu Aryadi meminta warga yang hendak merantau ke Timur Tengah untuk tidak percaya terhadap calo. Menurutnya, jumlah perusahaan penyalur PMI tujuan negara Timur Tengah yang terdaftar saat ini sebanyak 49 perusahaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dari 49 perusahaan yang boleh merekrut itu, ada tiga cabangnya di NTB. Jadi, perusahaan yang punya izin dan ikut program serta punya cabang di NTB itu saja yang boleh memberangkatkan calon PMI," kata Gede di Mataram, Sabtu (2/9/2023).
Menurut Gede, calon PMI yang hendak berangkat bekerja ke luar negeri harus melalui pola rekrutmen Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK). Sebelumnya, semua berkas dan dokumen CPMI dipegang oleh majikan. Namun, saat ini semua berkas-berkas itu dipegang oleh perusahaan penempatan.
"Intinya tetap mengutamakan aspek perlindungan. Kalau tidak, tidak berikan rekomendasi. Hati-hati kalau ada perusahaan yang melanggar, kami tidak berikan pelayanan atau uzin," imbuh Gede.
Gede menegaskan proses penempatan PMI tujuan negara Timur Tengah akan dilepas oleh pejabat yang berwenang. Sejauh ini, minat PMI asal NTB yang bekerja di Timur Tengah tetap besar, terutama untuk pekerjaan asisten rumah tangga atau ART.
"Kami edukasi masyarakat berangkat dengan jalan terang. Jangan percaya calo," tandasnya.
Dilansir dari detikFinance, pembukaan kembali penempatan pekerja migran Indonesia sektor domestik ke negara kawasan Timur Tengah akan sepenuhnya mengikuti mekanisme dalam Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Berdasarkan UU tersebut, penempatan PMI harus mengikuti ketentuan, antara lain negara tujuan penempatan harus mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja asing, memiliki perjanjian tertulis antara Pemerintah negara tujuan penempatan dan Pemerintah RI, serta memiliki sistem jaminan sosial dan/atau asuransi yang melindungi pekerja asing.
(iws/iws)