Sebuah bangunan sekolah di Desa Fatuteta, Kecamatan Amabi Oefeto, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), jauh dari kesan layak. Bangunan tersebut bahkan lebih menyerupai gubuk.
Gedung SMP Negeri 5 Amabi Oefeto berdinding pelepah tanaman gewang dengan atap dari daun lontar yang tampak sudah lusuh. Tak ada lantai marmer, hanya beralas tanah liat.
Sementara itu, rumput liar tumbuh rimbun tinggi-tinggi di sekeliling bangunan. Saat hujan deras, para siswa dan guru sering kehujanan dan kebanjiran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
"Ya, kalau hujan kami dan anak-anak sering kena hujan bahkan banjir," kata Kepala SMP Negeri 5 Satu Atap Amabi Oefeto Sepriana Saefatu saat dikonfirmasi detikBali, Kamis (16/2) 2023).
Sepriana menjelaskan sekolah tersebut dibangun melalui swadaya warga setempat pada 2017. Keterbatasan dana tidak menyurutkan keinginan warga untuk bisa memiliki gedung sekolah dan mengakses pendidikan lebih dekat.
Mereka pun menggunakan material yang mudah didapat untuk membangun ruang kelas dan kantor untuk para guru. Mereka menghimpun pelepah dan daun gewang, daun lontar, dan kayu untuk tiang penyangganya.
"Masyarakat yang bangun secara swadaya makanya bahan bangunan seadanya saja," ungkapnya.
Sepriana mengatakan sekolah tersebut memiliki tiga ruang kelas untuk proses belajar mengajar. Satu lagi bangunan dijadikan kantor untuk para guru.
Ia mengakui kondisi sekolah tidak representatif untuk kegiatan belajar mengajar. "Seperti ini terus, siapa saja yang mendidik anak-anak tentu merasa tidak nyaman," imbuhnya.
Sepriana menyebut saat ini sekolah tersebut memiliki sebanyak 36 orang siswa. Rinciannya: siswa kelas VII 13 orang, kelas VIII 5 orang, dan kelas IX 18 orang. Sementara itu, sekolah tersebut memiliki guru berstatus PNS sebanyak 3 orang, honorer komite 8 orang, dan guru kontrak 1 orang.
"Jadi pendidik itu ada 12 orang dan peserta didik itu 36 orang yang setiap hari beraktivitas di ini sekolah," pungkasnya.
(iws/hsa)