Pernahkah kamu melihat perempuan Bali menjunjung rangkaian buah-buahan yang tersusun tinggi di kepalanya? Buah-buahan yang tersusun mengerucut ke atas itu biasanya dikreasikan dengan canang dan sampian. Rangkaian buah, canang, dan sampian itu adalah gebogan atau biasa juga disebut pajegan.
Gebogan biasanya dibawa oleh ibu-ibu dan gadis-gadis ke pura saat piodalan atau Dewa Yadnya sebagai rasa syukur yang diberikan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Gebogan dipersembahkan sebagai bentuk syukur.
Gebogan tidak dimaknai sebagai ajang pamer atau kompetisi, melainkan sebagai wujud ketulusan, rasa syukur, dan penghormatan kepada Tuhan serta alam yang menopang kehidupan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa itu Gebogan?
Gebogan adalah sesaji yang digunakan untuk upacara keagamaan umat Hindu. Biasanya, ketika piodalan tiba, pura akan dipenuhi dengan gebogan yang dibuat oleh setiap satu kepala keluarga.
Isi dalam gebogan adalah macam-macam buah, seperti apel, pir, pisang, dan juga roti. Buah-buahan ini dirangkai mengerucut ke atas dan dihias oleh janur di atas dulang berbentuk bundar.
Tradisi ini tidak hanya menampilkan sebuah budaya, tetapi sebuah refleksi perempuan memiliki kekuatan untuk selalu bisa tampil melakukan apa saja. Sebab, perempuan Bali harus menjaga kesimbangan ketika menjunjung gebogan di atas kepala. Tradisi ini membawa refleksi keanggunan, kekuatan, dan kedalaman spiritual masyarakat Hindu Bali.
Prosesi Spiritual yang Memukau
Gebogan juga biasanya dipakai untuk tradisi mepeed yang juga diikuti oleh perempuan. Perempuan Bali selama tradisi mepeed akan menjunjung gebogan dengan berjalan beriringan memanjang menuju pura sehingga memberikan pemandangan yang memukau. Mayoritas peserta mapeed adalah para ibu rumah tangga yang kerap diiringi oleh suami dan anak-anak.
Seluruh peserta mepeed mengenakan busana adat Bali, menciptakan suasana sakral sekaligus meriah. Prosesi ini menjadi cerminan semangat gotong royong, nilai kebersamaan, dan kerja sama yang telah lama menjadi landasan kehidupan masyarakat Bali.
Perbedaan Dahulu dan Kini
Gebogan pada zaman dahulu umumnya terdiri dari jajanan tradisional dan hasil bumi segar. Namun seiring waktu, isi gebogan kini terkadang mencakup makanan dan minuman kemasan. Penggunaan makanan dan minuman kemasan dalam gebogan masih menjadi perdebatan di kalangan umat Hindu Bali.
Sebagai contoh, minuman kaleng kerap dianggap tidak pantas karena dinilai tidak bersifat satwika atau tidak memberikan manfaat secara spiritual. Ajaran Hindu Bali meyakini makanan dan minuman satwika membawa pengaruh positif bagi tubuh dan jiwa, serta selaras dengan nilai-nilai kesucian dan keseimbangan.
Namun, di sisi lain, beberapa daerah di tengah era modernitas menghadapi tantangan berupa berkurangnya ketersediaan jajanan tradisional dan makin sedikitnya perajin yang mampu membuatnya. Perubahan ini mencerminkan kegelisahan yang lebih luas tentang upaya melestarikan warisan budaya di tengah tuntutan zaman.
Warisan Kebudayaan Bali
Tradisi membawa gebogan di atas kepala memiliki makna simbolis yang mendalam bagi masyarakat Bali. Cara ini dipandang sebagai bentuk persembahan yang lebih hormat dan penuh rasa syukur kepada Tuhan, dibandingkan dengan membawanya menggunakan tangan. Pemandangan perempuan Bali berjalan menempuh jarak jauh, bahkan ada yang mengendarai motor dengan gebogan bertengger seimbang di kepala, menjadi cerminan perpaduan antara ketahanan fisik dan disiplin spiritual.
Di luar makna religius, gebogan juga memuat nilai estetika yang kuat. Proses menata buah, bunga, dan jajanan dilakukan dengan ketelitian tinggi, mencerminkan keahlian serta kepekaan artistik masyarakat Bali. Tak heran jika prosesi ini kerap menarik perhatian wisatawan. Meski demikian, pengunjung umumnya tidak diperkenankan memasuki area pura saat ritual inti berlangsung, sebagai bentuk penghormatan terhadap kesakralan ibadah.
Lebih dari sekadar keterampilan menjaga keseimbangan, praktik membawa gebogan menyiratkan filosofi hidup masyarakat Bali tentang keselarasan, ketekunan, dan dedikasi. Upaya yang dilakukan para perempuan Bali menjadi pengingat bahwa tradisi bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan nilai yang terus dijaga di tengah arus modernisasi. Setiap gebogan yang diusung bukan hanya persembahan, tetapi juga simbol penghormatan terhadap kehidupan itu sendiri.
Simak Video "Video: Jelang Hari Raya Nyepi, Warga Blitar Ikuti Lomba Hias Penjor-Gebogan "
[Gambas:Video 20detik]
(dpw/dpw)











































