Pura Kahyangan Tiga merupakan pura yang dibuat di suatu desa adat tertentu di Bali. Pura ini tersebar di seluruh wilayah Pulau Bali.
Secara etimologi, "Kahyangan" berasal dari kata hyang (yang suci) dengan awalan ka dan akhiran Βan yang menunjukkan tempat suci. Sedangkan "tiga" jelas menunjukkan jumlah tiga. Jadi Kahyangan Tiga berarti tiga tempat suci (yang memuja Hyang) dalam satu kesatuan konseptual.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Konsep Kahyangan Tiga muncul sebagai suatu gagasan bahwa di tiap desa adat di Bali perlu ada tiga pura inti yang menjadi pusat aktivitas keagamaan desa tersebut. Tiga pura ini memiliki nama dan fungsi masing-masing, yakni Pura Desa (Brahma), Pura Puseh (Wisnu), dan Pura Dalem (Siwa).
Munculnya Kahyangan Tiga
Menelusuri catatan sejarah, munculnya Kahyangan Tiga tidak terjadi secara tiba-tiba dalam sumber tertulis kuno yang jelas, meskipun dokumen-dokumen zaman Bali Kuno jarang menyebut istilah itu secara tertulis. Namun dalam tradisi lisan dan catatan adat, terdapat cerita penting tentang Mpu Kuturan pada abad ke-11, yang dikenal sebagai tokoh yang membangun konsensus keagamaan di Bali.
Tokoh kunci adalah Mpu Kuturan atau Empu Kuturan, seorang resi atau pendeta dari Jawa yang datang ke Bali sekitar abad 11. Dia dikenal sebagai Raja Resi yang membantu Raja Udayana (suami Mahendradatta).
Mpu Kuturan mengadakan pasamuhan atau pertemuan besar di Pura Samuan Tiga di Bedulu, Gianyar. Di sana lah, ia menyatukan berbagai aliran Hindu seperti Siwa, Wisnu, dan Buddha yang sedang berkembang di masyarakat supaya damai. Hasilnya, adalah konsep Kahyangan Tiga yang lahir sebagai standar desa, yakni tiga pura untuk mewakili Tri Murti (tiga dewa utama Hindu).
Kahyangan Tiga
1. Pura Desa (Brahma)
Pura ini biasanya di tengah desa sebagai simbol penciptaan dan kehidupan sehari-hari. Di pura ini ritualnya ke urusan duniawi, seperti upacara untuk kesuburan tanah atau acara desa.
2. Pura Puseh (Wisnu)
Lokasinya di utara desa, mewakili pelestarian dan kesejahteraan. Fungsinya untuk upacara yang jaga harmoni alam dan masyarakat, seperti pemujaan leluhur.
3. Pura Dalem (Siwa)
Sering di selatan atau dekat kuburan, mewakili peleburan atau transformasi siklus kehidupan. Sebuah ritual pemakaman dan pembersihan dosa.
Tanpa tiga pura ini, sebuah desa dianggap tidak lengkap secara adat. Di Bali modern, hampir semua desa pakraman masih memegang konsep ini, meski terkadang ada tambahan pura lain.
Fungsi dan Makna Filosofis Kahyangan Tiga
Pura Kahyangan Tiga memiliki fungsi praktis sebagai pusat ritual desa, simbol identitas adat, dan pemersatu umat. Makna filosofisnya mencerminkan konsep Tri Murti dan Tri Kona yakni penciptaan, pelestarian, dan pelebur kehidupan.
Selain itu, Kahyangan Tiga adalah wujud hubungan manusia dengan Tuhan dalam konsep Tri Hita Karana, keseimbangan antara Parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), Pawongan (hubungan antarmanusia), dan Palemahan (hubungan manusia dengan alam).
(nor/nor)