Pura Ulun Danu Batur merupakan salah satu pura yang berstatus sebagai kahyangan jagat bagi umat Hindu di Bali. Pangempon pura ini adalah krama atau warga Desa Adat Batur, Kecamatan Kintamani, Bangli.
Masyarakat Desa Adat Batur kuno semula tidak bermukim di lokasi yang sekarang. Mereka baru merelokasi diri pascaletusan Gunung Batur pada 2 Agustus 1926.
Black lava, yang berlokasi dekat Gunung Batur, merupakan jejak peradaban krama Desa Adat Batur terdahulu. Gundukan bebatuan dari pendinginan lava yang terhampar luas itu ternyata bekas lokasi pemukiman warga maupun Pura Ulun Danu Batur di masa lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Warga membuat prasasti untuk menandai lokasi yang diperkirakan sebagai bekas Pura Ulun Danu yang lama atau sebelum Gunung Batur meletus pada 1926. Pura Ulun Danu dan Pura Jati menjadi pusat peribadatan masyarakat Desa Adat Batur sejak dahulu kala.
"Titik black lava ini masuk Kawasan Rawan Bencana (KRB) III. Semakin tinggi angkanya, semakin berbahaya. Hampir semua black lava di sini adalah hasil dari letusan Gunung Batur tahun 1800-an sampai terakhir tahun 2000," ujar peneliti Batur UNESCO Global Geopark, Ida Bagus Oka Agastya, ditemui detikBali, Minggu (27/7/2025).
"Satu letusan lava di Gunung Batur punya ketebalan 20-50 meter. Pascaletusan tahun 1926, masih ada letusan lagi yang menghasilkan sekian lapisan. Desa Batur yang lama ada sekian meter di bawah kita," imbuhnya.
![]() |
Sekilas, black lava hanya terdiri dari bongkahan-bongkahan batu hitam. Namun, Oka menunjukkan bahwa setiap batuan memiliki spesifikasi tersendiri. Batuan hitam segar menandakan kondisinya belum lapuk. Sedangkan, batuan yang mulai dilapisi lumut berarti telah mengalami pelapukan.
Menurut Oka, lumut membantu proses pelapukan batuan tersebut. Hasil akhirnya berupa pasir yang mengandung zat hara yang kaya akan mineral dan bermanfaat menyuburkan tanah.
"Kalau kita lihat dari dekat, batuannya itu ada rongga-rongganya. Nah, itu disebut struktur atau vesikular, lubang hasil kelepasan gas dari magma," urai Oka.
Ada pula bebatuan kemerahan karena mengalami proses oksidasi yang menandakan adanya kandungan besi. Sebagian lainnya mengandung unsur magnet dan terdapat kaca. Untuk itu, Oka melanjutkan, letusan gunung yang mengeluarkan debu perlu diwaspadai karena dapat memicu iritasi mata hingga gangguan pernapasan.
Menurut Oka, Gunung Agung dan Gunung Batur mempunyai kondisi yang berbeda meskipun sama-sama berstatus gunung api. Bebatuan dari Gunung Agung umumnya berwarna putih seperti batu padas. Ini menunjukkan kondisi magma yang masuk kategori asam sehingga letusan yang dihasilkan begitu dahsyat dengan banyak debu.
Berbeda dengan Gunung Batur yang magmanya masuk kategori basa sampai intermediate yang ditandai bebatuan berwarna hitam dan keabuan. Letusannya pun didominasi aliran lava dan cenderung lambat.
Menurut Oka, hal itulah yang membuat masyarakat Batur cukup waktu untuk melakukan evakuasi pada saat erupsi 1926. Ia menambahkan Gunung Batur terakhir kali meletus pada tahun 2000.
Kendati begitu, ahli geologi tetap memantau aktivitas vulkanik Gunung Batur. Oka menyebut Gunung Batur sebagai gunung api aktif masih bisa meletus di kemudian hari.
Berdasarkan hasil identifikasi para ahli, Gunung Batur meletus setiap 20 tahun sekali. Namun, hingga tahun 2025, Gunung Batur belum mengalami erupsi. Hal ini, Oka berujar, perlu diwaspadai dengan menyiapkan mitigasinya.
"Kalau kita rekonstruksikan dari 1849 hingga 2000, periode letusan Gunung Batur harusnya setiap 20 tahun sekali. Berarti (tahun 2025) sudah melewati lima tahun tanpa letusan. Bagi kami yang ahli kebumian, ini alarm. Karena gunung api sekalinya meletus bisa panjang, berhari-hari letusannya. Ke depan kita harus upaya mitigasi untuk selamat dari letusan," imbuh Oka.
Simak Video "Video: Jalur Wisata Kintamani Padat Lancar Sore Ini"
[Gambas:Video 20detik]
(iws/iws)