Tradisi Gebug Ende di Seraya Karangasem: Sejarah, Tujuan, Aturan Permainan

Tradisi Gebug Ende di Seraya Karangasem: Sejarah, Tujuan, Aturan Permainan

Ni Kadek Restu Tresnawati - detikBali
Minggu, 24 Sep 2023 02:25 WIB
Tradisi Gebug Ende di Desa Adat Seraya, Karangasem, Bali dipercaya sebagai prosesi memohon hujan oleh krama (warga) setempat.
Tradisi Gebug Ende di Desa Adat Seraya, Karangasem, Bali dipercaya sebagai prosesi memohon hujan oleh krama (warga) setempat. (I Wayan Selamat Juniasa/detikBali)
Karangasem -

Desa Seraya di Kabupaten Karangasem, Bali, memiliki tradisi unik, yakni perang rotan atau yang disebut dengan istilah Gebug Ende. Warga setempat melaksanakan tradisi Gebug Ende secara turun-temurun dan masih eksis hingga saat ini.

Adapun, tradisi Gebug Ende diselenggarakan pada Sasih Kapat menurut sistem penanggalan Bali, atau sekitar bulan Oktober-November. Tradisi ini bertujuan untuk memohon hujan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Belakangan, pelaksanaan Gebug Ende juga menarik antusias wisatawan. Tradisi perang rotan itu pun menjadi atraksi yang kerap ditunggu-tunggu para turis domestik maupun mancanegara.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Simak serba-serbi tradisi Gebug Ende dari Desa Seraya, Karangasem, Bali, berikut ini.

Lokasi dan Waktu Gebug Ende

Tradisi Gebug Ende berlokasi di Desa Seraya, Karangasem. Desa ini berada di dataran tinggi dengan kondisi geografis tanah cenderung tandus dan kering saat musim kemarau. Perjalanan dari pusat Kota Denpasar akan memakan waktu kurang lebih 2 jam 30 menit menggunakan kendaraan pribadi.

ADVERTISEMENT

Tradisi Gebug Ende dilakukan saat menjelang musim tanam di ladang. Warga akan berkumpul di ladang pada siang atau sore hari untuk melakukan perang rotan ini. Perang rotan ini biasanya juga dilangsungkan di tempat umum dan mengundang lawan dari desa sekitarnya, salah satunya Desa Ujung Pesisi yang merupakan kampung nelayan di pinggir Pantai Ujung. Masyarakat di desa ini sebagian besar berasal dari Pulau Lombok.

Sejarah Gebug Ende

Nama Gebug Ende berasal dari kata "Gebug" yang artinya memukul dan "Ende" yang berarti perisai. Tradisi ini sudah ada sejak jaman Kerajaan Karangasem. Saat itu warga Desa Seraya ditugaskan sebagai prajurit untuk menyerang Kerajaan Seleparang di Pulau Lombok.

Warga Seraya saat itu dikenal sebagai prajurit yang kuat dan tangguh serta kebal sehingga dijadikan sebagai garda depan untuk menyerang kerajaan di Lombok. Perang berhasil dimenangkan sehingga Kerajaan Seleparang menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Karangasem.

Semangat kesatria dari prajurit Seraya masih berkobar meski telah menang bertarung, sehingga mereka bertarung dengan teman sendiri menggunakan alat perang seadanya. Kegiatan ini yang kemudian memunculkan tradisi Gebug Ende dan dilestarikan hingga sekarang.

Alur dan Alat Permainan Gebug Ende

Sebelum kegiatan Gebug Ende dilakukan, hal pertama yang dilakukan warga Desa Seraya adalah persembahyangan dengan berbagai banten dan sesaji. Setelahnya, dua orang lak-laki akan mengadu ketangkasan mereka dengan cara saling serang.

Kedua pemain akan membawa senjata, yakni:

  • Rotan dengan panjang 1,5 hingga 2 meter untuk memukul lawan
  • Perisai rotan bundar untuk menangkis serangan lawan.

Aturan Permainan Gebug Ende

Selama permainan berlangsung, ada suara yang dihasilkan dari rotan ini yaitu "plak, plak, plak, cebet, cebet". Suara ini akan disambut gembira oleh warga Desa Seraya dan pemain akan menari kegirangan.

Beberapa warga biasanya akan minum tuak (nira) sebelum permainan dimulai, tetapi tidak sampai mabuk. Tujuannya adalah membuat badan cepat panas dan semangat untuk melakukan Gebug Ende.

Peserta yang bertanding harus menaati aturan permainan, yaitu:

  • Permainan akan dilakukan di tempat dengan minimal luas lahan 6 meter persegi.
  • Juru kembar akan melakukan seleksi peserta sesuai dengan postur tubuh dan usia.
  • Peserta menggunakan pakaian adat Bali madya dilengkapi dengan udeng atau ikat kepala berwarna merah. Pemilihan warna merah ini sebagai lambang jiwa pemberani.
  • Peserta akan bertelanjang dada dan memakai sarung atau kamen saat bertanding.
  • Pertarungan berlangsung selama 10 menit yang dipimpin oleh saye atau juru kembar.
  • Juru kembar akan bermain terlebih dahulu, tetapi rotannya tidak sampai mengenai lawan. Tujuannya adalah merangsang semangat peserta permainan.
  • Selama Gebug Ende dilakukan, akan ada iringan dari suara gamelan untuk menambah ketegangan dan memacu adrenalin peserta untuk terys bertarung.
  • Peserta Gebug Ende diharapkan orang yang sudah ahli sehingga nantinya saat pertandingan berlangsung ada yang terluka hingga berdarah untuk mempercepat hujan turun.

Terdapat pula beberapa larangan dalam permainan ini, yaitu:

  • Peserta dilarang memukul bagian bawah pusar dan saling merangkul.
  • Peserta dilarang melewati garis batas wilayah posisi pemain untuk menyerang.
  • Apabila pemain melakukan pelanggaran, juru kembar atau saye akan melerai dan memberikan peringatan. Namun, apabila pemain masih melakukan tindakan yang sama maka akan dinyatakan kalah serta dikeluarkan dari permainan.

Artikel ini ditulis oleh Ni Kadek Restu Tresnawati peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(iws/iws)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads