Makepung atau tradisi balap kerbau khas Jembrana, Bali, mulai populer sejak 1960-an. Kini warga Jembrana mewarisi dua jenis makepung, yaitu makepung darat dan makepung lampit.
Tokoh makepung Jembrana, I Ketut Master menjelaskan salah satu perbedaan antara makepung darat dan makepung lampit adalah pada jenis lintasan yang digunakan. Makepung darat dilakukan di lahan kering, sementara makepung lampit digelar di atas lintasan basah dan berlumpur.
"Saat ini hanya ada sirkuit untuk makepung darat dan kami masih mencari lahan untuk sirkuit makepung lampit ini," kata Master kepada detikBali, Sabtu (7/1/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantaran belum ada sirkuit khusus, makepung lampit biasanya digelar di areal sawah warga menjelang musim tanam padi. Dengan demikian, selain digunakan untuk lomba, makepung lampit itu juga dimanfaatkan untuk mengolah lahan sawah.
Master menuturkan, secara umum makepung lampit hampir sama dengan makepung darat. Perbedaan lainnya yang paling menonjol adalah pada alat pemukul kerbau yang digunakan oleh joki saat makepung.
Makepung lampit menggunakan alat pemukul berupa pecut. Berbeda dengan makepung darat yang menggunakan bongkol berduri. Selain itu, makepung lampit juga tidak menggunakan cikar, melainkan lampit atau alat pembajak sawah.
"Kami berharap adanya sirkuit khusus makepung lampit di Jembrana. Sehingga ketika ada tamu atau wisatawan, sudah ada tempat yang pasti untuk makepung lampit," imbuhnya.
Kerbau yang digunakan saat makepung bukan kerbau biasa. Pemilik kerbau memperlakukannya dengan perawatan khusus agar lebih kuat berlari di lintasan makepung. Asupan makanan dan minuman untuk sang kerbau pun lebih diperhatikan. Termasuk waktu mandi dan istirahat kerbau.
Saat makepung digelar, kerbau yang diturunkan untuk balapan juga akan bersolek. Bagian kepala kerbau dipasangi mahkota atau yang disebut rumbing. Begitu balapan dimulai, hanya ada dua peserta dengan masing-masing sepasang kerbau yang akan beradu kecepatan di lintasan.
Menurut Koordinator Makepung Kabupaten Jembrana I Made Mara, makepung awalnya digelar para petani di Jembrana sebagai hiburan sekaligus untuk mengisi waktu senggang. Pada 1960-an, anggota sekaa makepung itu membentuk dua organisasi: Ijogading Timur dan Ijogading Barat. Pembatas antara dua blok tersebut adalah Sungai Ijogading yang membelah Kota Negara.
"Keduanya dibedakan dari warna bendera, Ijogading Timur warna merah dan Ijogading Barat warna hijau. Pembentukan dua grup ini dibentuk untuk memudahkan pembagian dalam lomba," kata Mara, Sabtu (7/1/2023).
Sebagai informasi, tradisi makepung lampit dan makepung darat sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda atau WBTb oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Tradisi yang berakar dari budaya agraris itu membuat Kabupaten Jembrana dijuluki sebagai Gumi Makepung.
(iws/gsp)