Mengenal Asal Usul Hukum Tawan Karang di Bali dan Pelaksanaannya

Mengenal Asal Usul Hukum Tawan Karang di Bali dan Pelaksanaannya

Agnes Z. Yonatan - detikBali
Senin, 26 Des 2022 13:52 WIB
Kapal layar.
Ilustrasi. Foto: DDP/Unsplash
-

Hukum Tawan Karang di Bali adalah salah satu hukum yang cukup terkenal di masa lampau.

Hukum Tawan Karang mengatur mengenai hak istimewa yang dimiliki oleh raja-raja Bali dan berhubungan dengan masalah kapal yang terdampar.

Meski kini sudah tidak lagi berlaku di Bali tetapi bila kamu penasaran, yuk cari tahu mengenai asal usul dari Hukum Tawan Karang di Bali, cara pelaksanaannya, hingga sejarah bagaimana hukum ini dihapuskan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Asal Usul Hukum Tawan Karang di Bali

Hukum Tawan Karang di Bali, atau yang biasa dikenal sebagai Taban Karang, adalah hak istimewa yang dimiliki raja Bali pada masa lalu.

Dalam hukum ini, setiap kerajaan di Bali memiliki hak untuk merampas kapal-kapal asing yang terdampar di perairan Bali.

ADVERTISEMENT

Menurut e-paper berjudul Perang Bali yang diunggah oleh Rahmad Budiantoro melalui laman Scribd, dalam Hukum Tawan Karang, seluruh isi dari kapal yang terdampar itu menjadi milik kerajaan, mulai dari muatan hingga awak kapalnya.

Istilah Tawan Karang ini sudah dikenal sejak masa Bali Kuno melalui penemuan 2 buah prasasti, yakni sebagai berikut.

  1. Prasasti Bebetin Al
  2. Prasasti Sembiran

Kedua prasasti tersebut sama-sama menuliskan hukum yang berlaku apabila terdapat perahu yang lancang datang ke wilayah perairan kerajaan Bali.

Tidak hanya kerajaan Bali saja, hukum ini juga memberi hak istimewa pada penduduk sekitar untuk menawan kapal dan memperbudak para awak di dalamnya.

Seiring berjalannya waktu, guna menghindari konflik antar daerah, maka diusulkan suatu perjanjian.

Dalam perjanjian tersebut, wilayah kerajaan di mana kapal terdampar wajib memberi tahu raja asal kapal tersebut mengenai kapalnya yang terdampar. Raja asal kapal tersebut diwajibkan menyiapkan uang tebusan dalam tenggat waktu 25 hari.

Apabila raja gagal membayar uang tebusan tersebut, maka perahu beserta seluruh isinya akan dirampas oleh raja pemilik perairan.

Bagi daerah di luar perjanjian, maka tidak ada keringanan seperti ini. Perahu akan langsung dirampas tanpa adanya uang tebusan yang harus dibayar.

Pelaksanaan Hukum Tawan Karang

Hukum Tawan Karang di Bali dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan kondisi ekonomi kerajaan Bali pada masa itu.

Pada awal abad ke-19, ekonomi Bali sebagian besar tergantung pada perdagangan budak keluar Bali. Sekitar 2000 budak diperjualbelikan setiap tahunnya.

Menurut jurnal Tawan Karang dalam Perpolitikan Kolonial Belanda dengan Raja-Raja Bali Berdasarkan Surat-surat Kontrak Abad Ke-19 karya Muhammad Ilham dan Rahyu Zami, Pulau Bali tidak memiliki potensi sumber daya alam seperti mineral yang dapat diperdagangkan.

Untuk itu, dibentuklah Hukum Tawan Karang ini. Hukum tersebut hanya berlaku di Pulau Bali dan tidak di pulau-pulau lainnya.

Hak ini berlaku untuk semua kerajaan otonom di Pulau Bali, terutama yang terletak di pinggiran atau di pantai.

Ketika ada kapal asing yang karam di wilayah karang di pinggiran pantai Pulau Bali, semua yang ada di kapal itu menjadi milik kerajaan di wilayah tersebut. Pemilik kapal sudah tidak mampu lagi mengklaim barang-barang dagang yang ada di dalamnya.

Upaya Penghapusan Hukum Tawan Karang

Pelaksanaan Hukum Tawan Karang di Bali mendapat penolakan keras dari pihak Belanda.

Hal ini dikarenakan pihak Belanda merasa dirugikan apabila ada kapalnya yang terdampar di perairan Bali. Semua muatan kapal Belanda bisa langsung jadi milik raja setempat.

Pihak Belanda memang sering menjadi korban dari pelaksanaan Hukum Tawan Karang di Bali ini.

Salah satunya adalah ketika Van den Broeke hendak mengirim barang ke Buleleng. Kapalnya malah karam di perairan Bali dan seluruh muatannya dirampas.

Pada awalnya, Belanda meminta keringanan atas Hukum Tawan Karang ini. Pihaknya bersedia untuk membayar uang tebusan apabila ada kapalnya yang terdampar. Hampir semua kerajaan di Bali setuju dengan hal ini.

Meski begitu, pada kenyataannya, pihak Belanda sering kali tidak mau membayar uang tebusannya. Hukum Tawan Karang di Bali pun masih tetap diberlakukan.

Belanda pada akhirnya meminta Hukum Tawan Karang ini untuk dihapus sepenuhnya. Ketika itu, pihak Belanda membuat perjanjian untuk menghapus hukum tersebut dengan beberapa kerajaan berikut.

  1. Kerajaan Badung pada tanggal 28 November 1842
  2. Kerajaan Karangasem pada tanggal 1 Mei 1843
  3. Kerajaan Buleleng pada tanggal 8 Mei 1843
  4. Kerajaan Klungkung pada tanggal 24 Mei 1843
  5. Kerajaan Tabanan pada tanggal 22 Juni 1843

Meski sudah ada perjanjian untuk menghapus hukum ini, pelaksanaan Hukum Tawan Karang tetap terjadi.

Pada tahun 1844, setahun setelah perjanjian dibuat, kapal Belanda kembali karam di daerah Pantai Perancak dan Sangsit. Berbeda dengan yang tertulis di perjanjian, kapal-kapal yang karam itu tetap dirampas raja setempat.

Pada tahun 1845, Kerajaan Buleleng akhirnya menolak untuk mengesahkan penghapusan Hukum Tawan Karang. Hal ini membuat Belanda mengadakan perang dengan Bali, yakni pada:

  1. Perang Bali I tahun 1846
  2. Perang Bali II tahun 1848
  3. Perang Bali III tahun 1849

Setelah perang terjadi antara Belanda dengan Bali, maka perjanjian penghapusan Hukum Tawan Karang di Bali dilanjutkan dengan beberapa kerajaan berikut.

  1. Kerajaan Bangli pada tanggal 25 Juni 1849
  2. Kerajaan Jembrana pada tanggal 30 Juni 1849
  3. Kerajaan Gianyar pada tanggal 13 Juli 1849

Pada tanggal 13-15 Juli 1849, ditandatangani pula perjanjian perdamaian antara kerajaan di Bali dengan pihak Belanda. Raja-raja Bali juga sepakat untuk tidak lagi memberlakukan Hukum Tawan Karang tersebut.

Itulah dia beberapa hal seputar asal usul Hukum Tawan Karang di Bali untuk menambah wawasan. Bagaimana, kini sudah tidak lagi bingung mengenai hukum adat yang satu ini, bukan?




(khq/inf)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads