Untuk lebih jelasnya, simak berikut penjelasan mengenai Tari Rejang Renteng.
Sejarah Singkat Tari Rejang Renteng
Dalam buku Tari Rejang Kini oleh I Gede Tilem Pastika dan I Wayan Sugita, dijelaskan bahwa Tari Rejang Renteng merupakan jenis tarian rejang yang unik karena dibawakan oleh penari putri yang belum mengalami masa akil balig. Para penari harus betul-betul suci sehingga penarinya rata-rata berumur enam sampai delapan tahun.
Namun pada akhirnya dalam praktik di masyarakat Bali, penari Rejang banyak ditarikan oleh remaja bahkan penari dewasa. Beberapa Tari Rejang yang memang dibawakan oleh penari laki-laki.
Ada pemahaman konsep bahwa penari yang membawakan haruslah penari tua. Bukan hanya dari segi umur tapi juga dewasa dan matang sebagai wujud keseriusan dalam menghaturkan persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui gerak tarian.
Pada tahun 1999, Tari Rejang Renteng telah dilestarikan kembali oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Bali di bawah komando Dayu Diastini dan I Nyoman Budi Artha. Awalnya, tarian ini merupakan kesenian klasik Nusa Penida. Rekonstruksi ini dilakukan untuk menggali dan melestarikan ragam kesenian yang ada di Bali agar tidak punah.
Ngrenteng dilakukan dengan gerak-gerik yang menyerupai gerak tari yang mengikuti ritme iringan tabuh. Gerakannya memutar dan membentuk lingkaran dihadapan upakara. Upakara merupakan hasil karya manusia sebagai wujud persembahan.
Disebutkan juga bahwa faktor kepenarian secara asli dari prosesi ngrenteng adalah orang yang sudah kasudi atau dipilih menjadi penari dari pawisik-pawisik Ida Bhatara. Tarian ini masih dilestarikan di beberapa desa tua seperti desa Bungaya, Asak, Tenganan, Sukawana, Batur, hingga kini berkembang keseluruh Bali. Di beberapa daerah, ada yang menamakan tari Sutri atau tari Ngeremas.
Fungsi Tari Rejang Renteng
Ni Made Haryati dan I Gede Gunadi Putri dalam penelitiannya yang berjudul Tari Rejang Renteng Sebagai Motivasi Belajar Tari Wali bagi Wanita di Kota Denpasar, menjelaskan bahwa Tari Rejang Renteng merupakan Tari Persembahan bisa disebut Wali atau Bebali.
Pada upacara Wali, Tari Rejang Renteng ditarikan pada upacara piodalan Alit, Madya, atau Ageng. Kalau dipentaskan pada upacara Bebali yaitu pada event Festival, upacara yang berkaitan dengan Desa, dan event-event yang penting dan terhormat.
Tari Rejang Renteng tidak boleh disebut sebagai tarian hiburan atau balih-balihan yang sifatnya komersial atau dipentaskan di sembarang tempat, sebab tarian ini memiliki nilai religius. Menurut buku Beberapa Tari Upacara dalam Masyarakat Bali oleh Anak Agung Gde Putra Agung, Tari Rejang termasuk tari upacara keagamaan yang diselenggarakan di Pura sehingga dianggap sakral karena tarian Rejang merupakan persembahan kepada para Dewa.
Para penari dipimpin oleh seorang Pemangku yang berjalan paling depan dengan membawa pedupaan (pasepan). Kemudian para penari sambil menari, berderet-deret mengikutinya dengan memegang seutas benang yang panjang dari tangan Pemangku sampai penari yang paling belakang. Inilah sebabnya tarian Rejang tersebut dinamakan Rejang Renteng.
Aturan Tari Rejang Renteng
Dilihat dari pakaian dan gerakannya, tari Rejang merupakan tari yang cukup tua usianya karena gerakannya yang sangat sederhana, halus, dan lambat. Tari Rejang Renteng merupakan tari kelompok yang sudah ditata ulang pada bagian pertama dan akhir tariannya.
Pada versi aslinya, para penari harus terbentuk dalam jumlah ganjil. Namun praktiknya dalam masyarakat, Tari Rejang Renteng sudah biasa ditarikan dalam jumlah genap. Hal tersebut mengacu kepada konsep pedum karang, pembagian posisi, dan pola lantai agar terlihat seimbang.
Struktur Tari Rejang Renteng mengacu pada konsep badan manusia secara utuh, bagian kepala (perwajahan), bagian badan, dan kaki (aspek gerak dinamis) sehingga berkaitan dengan aspek lahir - hidup - mati. Dalam struktur tariannya, Tari Rejang Renteng terbagi menjadi tiga bagian, yakni:
1. Papeson-pesu (Keluar)
Bagian penari keluar untuk pertama kalinya. Struktur gerak pada Tari Rejang Renteng diadopsi dari Tari Papendetan.
2. Pangawak (Tubuh)
Bagian ini merupakan bagian utama dalam tarian. Gerakan yang begitu sederhana membuat gerakan pada bagian ini sangat mudah untuk dilakukan.
3. Pangecet-Pakaad (Pangider)
Bagian klimaks sehingga ritme dari alunan melodi gamelan bertambah dinamis, namun struktural iringan tarinya kembali pada bagian pertama.
Kostum Tari Rejang Renteng
Dilansir dari laman resmi Kabupaten Buleleng, kostum dan model rambut dari penari rejang renteng juga memiliki beberapa makna yakni:
- Sasakan Polos: Filosofi pikiran yang polos tulus ikhlas berbakti kepada Tuhan.
- Sanggul (Pusung Tagel): Tanda penarinya sudah menikah.
- Bunga Jepun: Bunga jindah dengan bau yang harum dan sarinya tersembunyi, mengandung filosofi keindahan dan keharuman serta tidak pamer.
- Subeng: Hiasan telinga dengan filosofi mendengarkan ucapan atau suara yang indah dan suci, serta tidak terpengaruh oleh kata-kata yang kotor.
- Baju Putih: Mengandung filosofi bahwa badan manusia itu sakral perlu dijaga dengan hal-hal yang indah dan suci.
- Selendang Kuning Polos: Mengandung filosofi bahwa perut sebagai wadah tumbuh kembang kebaikan dan kejahatan serta emosi. Sehingga perlu diikat, yang disimbolkan dengan simpulan selendang.
- Kain Cepuk Tenunan Warna Kuning: Mengandung filosofi bahwa seni memiliki kekuatan sebagai penangkal bahaya (penolak bala).
Nah detikers, itulah tadi penjelasan mengenai Tari Rejang Renteng. Semoga informasi ini bermanfaat, ya!
(aau/fds)