Sejumlah karyawan bank swasta menggugat Mahkamah Konstitusi (MK) agar menghapus pajak atas uang pensiun, pesangon, tabungan hari tua (THT), dan jaminan hari tua (JHT). Namun, gugatan tersebut kandas karena dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK.
Dilihat dari situs resmi MK, Senin (13/10/2025), perkara itu terdaftar dengan nomor 186/PUU-XXIII/2025. Pemohon terdiri atas Jamson Frans Gultom, Agus Suwargi, dan Aldha Reza Rizkiansyah.
Mereka mengaku sebagai karyawan bank swasta yang telah memasuki masa pensiun dan merasa dirugikan oleh keberadaan Pasal 4 ayat (1) serta Pasal 17 UU Pajak Penghasilan juncto UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam putusannya, MK menyatakan permohonan para pemohon tidak memenuhi sistematika yang diatur dalam ketentuan hukum. MK menilai ada frasa yang ditulis dalam permohonan, padahal tidak tercantum dalam pasal yang digugat, seperti frasa 'tunjangan dan uang pensiun'.
"Setelah Mahkamah mencermati rumusan Pasal 4 ayat (1) huruf a dalam Pasal 3 angka 1 UU 7/2021 telah ternyata tidak terdapat frasa 'tunjangan dan uang pensiun' sebagaimana dimaksud para Pemohon, melainkan kata 'tunjangan' dan frasa 'uang pensiun' yang masing-masing terpisah dan tidak dalam satu kesatuan frasa. Terlebih lagi, pada bagian petitum angka 1, para Pemohon menambahkan uraian kalimat alasan permohonan yang seharusnya diuraikan pada bagian posita, sehingga hal tersebut menyebabkan ketidakjelasan petitum angka 1 para Pemohon karena tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1) huruf c UU MK dan Pasal 10 ayat (3) huruf d PMK 7/2025 bahwa petitum berisi hal-hal yang dimohonkan untuk diputus," ujar MK, dilansir dari detikFinance.
MK juga menilai poin kedua dalam petitum pemohon tidak jelas. Menurut MK, ketidakcermatan dalam penyusunan permohonan menyebabkan permohonan menjadi kabur.
"Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon adalah tidak jelas atau kabur (obscuur)," ujar MK.
Atas dasar itu, MK tidak melanjutkan pemeriksaan substansi perkara dan menyatakan gugatan tidak dapat diterima.
"Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima," ujar Ketua MK Suhartoyo.
Alasan Gugatan
Sebelumnya, para pemohon berpendapat pasal-pasal yang digugat menempatkan seluruh tambahan kemampuan ekonomis sebagai objek pajak, termasuk pesangon dan pensiun. Mereka menilai pensiun dan pesangon adalah hak normatif pekerja setelah puluhan tahun bekerja.
Menurut mereka, aturan yang berlaku saat ini memperlakukan pensiun dan pesangon seolah-olah tambahan kemampuan ekonomis, padahal dana tersebut berasal dari potongan gaji karyawan setiap bulan selama masa kerja.
"Negara masih tega mengambil bagian dari jatah atas rakyat untuk biaya hidup sampai kepada kematian, padahal karyawan/pensiunan telah dipotong langsung pajaknya puluhan tahun dan kontribusi balik secara langsung kepada pembayar pajak tidak ada," ujar pemohon.
Isi Permohonan
Dalam gugatannya, para pemohon meminta MK untuk:
- Mengabulkan permohonan mereka seluruhnya.
- Menyatakan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan juncto UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai bahwa uang pesangon, uang pensiun, THT, dan JHT adalah tambahan kemampuan ekonomis.
- Menyatakan ketentuan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap pesangon, uang pensiun, THT, dan JHT.
- Memerintahkan pemerintah untuk tidak mengenakan pajak atas pensiun, pesangon, THT, dan JHT bagi seluruh rakyat Indonesia, baik pegawai pemerintah maupun swasta.
- Memerintahkan pembentuk undang-undang menyesuaikan sistem perpajakan agar sejalan dengan UUD 1945.
Atau apabila hakim berpendapat lain, mereka meminta putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Simak Video "Video: Gugatan Pajak Uang Pensiun Dihapus Tak Diterima MK"
[Gambas:Video 20detik]
(dpw/dpw)











































