Kontroversi AI di Dunia Agama, Muncul Sosok Yesus hingga Nabi Musa Virtual

Kontroversi AI di Dunia Agama, Muncul Sosok Yesus hingga Nabi Musa Virtual

Rachmatunnisa - detikBali
Senin, 06 Okt 2025 08:05 WIB
Ilustrasi patung Yesus
Ilustrasi patung Yesus. (Foto: Unsplash/Raghavendra V. Konkathi)
Denpasar -

Kecerdasan buatan kini mulai masuk ke rumah ibadah dan aplikasi keagamaan. Teknologi ini menawarkan tokoh Alkitab virtual hingga khotbah otomatis, memicu reaksi beragam dari umat di seluruh dunia.

Chatbot keagamaan dan perangkat digital berbasis spiritual kini semakin marak, menyediakan nasihat, penghiburan, dan bimbingan rohani di tengah pesatnya perkembangan teknologi serta perubahan cara interaksi sosial.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

'Text with Jesus' dan Tokoh Virtual Alkitab

Salah satu aplikasi yang tengah populer, 'Text with Jesus', memungkinkan ribuan pelanggan berbayar mengajukan pertanyaan seolah kepada Maria, Yusuf, Yesus, hingga ke-12 rasul.

Menurut Stephane Peter, CEO Catloaf Software selaku pengembang aplikasi tersebut, tujuannya adalah mendidik pengguna lewat interaksi keagamaan yang interaktif.

ADVERTISEMENT

"Ini adalah cara baru untuk membahas isu-isu keagamaan secara interaktif," kata Peter, dilansir dari detikInet.

Meski secara terbuka mengakui penggunaan teknologi AI, karakter virtual seperti Musa dan Yesus di aplikasi itu tidak mengakui sifat buatan mereka ketika ditanyai secara langsung.

Peter menjelaskan, aplikasi itu berjalan pada versi terbaru ChatGPT, GPT-5, yang lebih baik dalam mengikuti instruksi dan menjaga konsistensi karakter, serta lebih meyakinkan dalam menyangkal identitas bot-nya.

Meski menuai kontroversi, 'Text with Jesus' tetap mendapat rating tinggi, yakni 4,7 dari 5 di App Store.

Respons dari Pelayanan Katolik

Tak hanya 'Text with Jesus', lembaga pelayanan Katolik Catholic Answers juga mengalami langsung sensitifnya penggunaan AI di ranah agama. Tahun lalu, mereka meluncurkan karakter animasi bernama 'Father Justin' yang menuai protes dari publik.

"Banyak orang tersinggung karena menggunakan karakter seorang pendeta," kata Christopher Costello, Direktur Teknologi Informasi lembaga tersebut.

Beberapa hari kemudian, mereka menghapus gelar kependetaannya dan mengganti nama karakter itu menjadi 'Justin'.
" Kami tidak ingin menggantikan manusia. Kami hanya ingin membantu," ujarnya.

Ekspansi Digital di Berbagai Agama

Fenomena serupa juga muncul di agama lain. Ada Deen Buddy untuk Islam, Vedas AI untuk Hindu, dan AI Buddha. Sebagian besar aplikasi tersebut berfungsi sebagai antarmuka kitab suci, bukan representasi keilahian.

Nica, seorang Anglikan asal Filipina berusia 28 tahun, mengaku menggunakan ChatGPT hampir setiap hari untuk mempelajari Alkitab, meski pendetanya tidak menyetujuinya.
"Menurut saya itu lapisan tambahan. Saya berada di komunitas Kristen, dan suami saya serta saya memiliki mentor spiritual. Hanya saja terkadang saya memiliki pemikiran acak tentang Alkitab dan saya ingin segera mendapatkan jawaban," kata Nica.

Namun, banyak otoritas agama khawatir soal keterbatasan spiritual AI. Rabi Gilah Langner menilai hukum Yahudi memiliki banyak interpretasi yang membutuhkan pemahaman manusia.

"Saya rasa kita tidak benar-benar mendapatkan hal itu dari AI. Mungkin saja akan sangat bernuansa, tetapi hubungan emosionalnya hilang," ujarnya.

Ia juga memperingatkan, penggunaan AI bisa membuat orang merasa terisolasi dan terputus dari tradisi keagamaan yang hidup.

Di Katedral St. Patrick, New York, umat paroki bernama Emanuela menyatakan skeptis.

"Orang-orang yang ingin percaya kepada Tuhan mungkin sebaiknya tidak bertanya kepada chatbot. Mereka seharusnya berbicara dengan orang-orang yang percaya juga," ujarnya.

Gereja dan AI, Perlu Kehati-hatian

Meski banyak pihak waspada, komunitas Kristen belum sepenuhnya menolak teknologi AI. Tahun lalu, Paus Fransiskus bahkan mengangkat Demis Hassabis, salah satu pendiri laboratorium riset AI Google DeepMind, ke akademi ilmiah Vatikan.

Beberapa pendeta juga mulai bereksperimen. Pada November 2023, Pendeta Jay Cooper dari Gereja Violet Crown City di Austin, Texas, menugaskan asisten AI untuk menyampaikan khotbah penuh-setelah memberi tahu jemaat sebelumnya.

"Beberapa orang panik, bilang kami sekarang gereja AI. Namun, kebaktian itu menarik pendatang baru, terutama penggemar video game yang biasanya tidak menghadiri gereja," kenang Cooper.

Meski eksperimen itu menarik perhatian, Cooper mengaku belum mengulanginya.
"Saya senang kami melakukannya. Tapi itu tidak mencerminkan hati dan semangat dari apa yang biasa kita lakukan," katanya.

Meskipun aplikasi AI keagamaan telah diunduh jutaan kali, hanya sedikit pengguna yang secara terbuka mengaku memakainya. Teknologi ini terus berkembang seiring masyarakat mencari keseimbangan antara inovasi digital dan spiritualitas.

Stephane Peter menilai banyak pemuka agama melihat AI sebagai alat pendidikan yang potensial. Ia percaya, peran teknologi dalam kehidupan beragama akan terus berubah seiring semakin luasnya penerimaan masyarakat terhadap kecerdasan buatan.

Halaman 4 dari 3


Simak Video "Video Harga Obat Makin Mahal, Ini Komentar BPOM"
[Gambas:Video 20detik]
(dpw/dpw)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads