Meme yang berbunyi "laki-laki tidak bercerita" mungkin sudah tidak asing lagi di dunia maya. Meme ini tidak hanya sekadar humor, tetapi juga mencerminkan realitas sosial yang dihadapi laki-laki dalam mengekspresikan perasaan mereka.
Mengapa laki-laki cenderung tidak bercerita? Berikut beberapa faktor yang memengaruhi, baik dari sisi sosial maupun biologis.
Stigma: Laki-Laki Harus Kuat
Ungkapan seperti "boys don't cry" atau "laki-laki harus kuat" menjadi salah satu bentuk bias gender yang memengaruhi cara laki-laki berperilaku. Dalam masyarakat, laki-laki sering kali diharapkan untuk kuat secara fisik maupun emosional serta melindungi dan memimpin.
Jika laki-laki melakukan sesuatu di luar ekspektasi tersebut, mereka sering dianggap lemah atau tidak "jantan." Stigma ini menyebabkan laki-laki enggan berbagi cerita, terutama tentang masalah pribadi karena takut dianggap tidak sesuai dengan peran gender mereka.
Padahal, berbagi cerita bukanlah tanda kelemahan. Sebaliknya, ini adalah cara manusia, baik laki-laki maupun perempuan, untuk meringankan beban emosional dan menemukan solusi. Setiap individu, tanpa memandang gender, memiliki hak untuk berbagi cerita kepada orang terdekat.
Faktor Biologis: Perbedaan Hormon
Selain faktor sosial, perbedaan biologis juga memengaruhi cara laki-laki dan perempuan menangani emosi. Kadar hormon testosteron pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan sehingga memengaruhi cara mereka merespons situasi emosional.
Sebaliknya, kadar hormon kortisol (hormon stres) pada perempuan lebih mudah meningkat sehingga perempuan cenderung lebih sering mengungkapkan perasaan mereka untuk mengurangi tekanan emosional.
Kombinasi antara tekanan sosial dan perbedaan biologis ini membuat laki-laki cenderung memendam masalah mereka dibandingkan berbagi cerita seperti perempuan. Namun, penting diingat bercerita adalah bagian dari kebutuhan emosional yang manusiawi. Dengan mengurangi stigma dan memberikan ruang aman bagi laki-laki untuk bercerita, diharapkan mereka dapat lebih terbuka dalam mengungkapkan perasaan dan menyelesaikan masalah mereka.
Artikel ini ditulis oleh Firga Raditya Pamungkas, peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
Simak Video "Video Survei: ChatGPT Berpeluang Jadi Medium Baru untuk Terapi Kesehatan Mental"
(hsa/hsa)