Pengertian PHK: Aturan, Jenis, dan Cara Menghitung Pesangon

Pengertian PHK: Aturan, Jenis, dan Cara Menghitung Pesangon

Rio Raga Sakti - detikBali
Senin, 02 Sep 2024 06:30 WIB
Ilustrasi PHK
Ilustrasi PHK (Tim Infografis: Zaki Alfarabi)
Denpasar -

Pemutusan hubungan kerja (PHK) bukan istilah asing dalam dunia kerja. Hal ini sering kali terjadi sebagai bagian dari dinamika ekonomi dan kebijakan sebuah perusahaan.

Sebagian besar karyawan sangat takut jika sampai di-PHK oleh perusahaannya. Dalam beberapa kasus, PHK bisa saja datang secara tiba-tiba tanpa ada pemberitahuan sebelumnya.

Simak pengertian, peraturan, jenis, dan cara menghitung pesangon saat di-PHK oleh perusahaan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengertian PHK

Berdasarkan Pasal 1 Nomor 25 dari Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja atau buruh dan pengusaha.

Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 151 Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, PHK juga tidak dapat dilakukan secara sepihak, baik dari karyawan atau perusahaan itu sendiri. Akan tetapi, jika memang hubungan kerja harus diakhiri, maka kedua belah pihak harus mengadakan musyawarah untuk mencapai hasil yang mufakat.

ADVERTISEMENT

Namun, jika musyawarah telah dilakukan dan masih belum mendapatkan titik tengah, maka pengadilan hubungan industrial juga dapat dilibatkan. Oleh karena itu, PHK yang dilakukan oleh perusahaan merupakan hasil dari keputusan pengadilan. Proses ini melibatkan berbagai tahapan, salah satunya adalah melalui proses hukum di pengadilan.

Selain itu, berdasarkan Pasal 162 Ayat 2 Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, jika seorang karyawan ingin mengundurkan diri dari pekerjaannya, hal tersebut harus dilakukan tanpa adanya tekanan atau paksaan dari pihak manapun. Keputusan untuk berhenti harus didasarkan pada keinginan pribadi karyawan.

Peraturan PHK

Selain tidak boleh dilakukan secara semena-mena, PHK juga memiliki peraturan yang harus dipatuhi oleh perusahaan dan karyawan itu sendiri. Berikut diantaranya.

Alasan PHK yang Dilarang

Dikutip dari Pasal 153 Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, berikut adalah alasan yang dilarang bagi perusahaan untuk melakukan PHK.

  • pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
  • pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban
    terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  • pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
  • pekerja/buruh menikah;
  • pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
  • pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
  • pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
  • pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
  • karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
  • pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

Alasan PHK yang Diperbolehkan

Berdasarkan Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, ada beberapa alasan yang memperbolehkan perusahaan untuk melakukan PHK.

  • Tidak lulus masa probation atau masa percobaan.
  • Kontrak atau PKWT sudah berakhir.
  • Sanksi karena karyawan melakukan kesalahan atau pelanggaran berat.
  • Karyawan ditahan ataupun diputuskan bersalah oleh pihak pengadilan.
  • Karyawan terbukti melanggar perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, ataupun melanggar aturan perusahaan.
  • Mengundurkan diri tanpa adanya paksaan dan tekanan.
  • Penggabungan, peleburan, atau perubahan status kerja, jika pihak pekerja atau pemilik usaha sudah tidak ingin melanjutkan hubungan kerja.
  • PHK massal karena perusahaan mengalami kerugian.
  • Perusahaan bangkrut atau pailit.
  • Karyawan dinyatakan meninggal dunia.
  • Karyawan pensiun.
  • Karyawan bolos ataupun mangkir selama 5 hari atau lebih setelah dipanggil sebanyak dua kali.
  • Karyawan sakit lebih dari 1 tahun atau 12 bulan.

Jenis PHK

Selain memiliki aturan khusus, PHK juga terdiri dari beberapa jenis. Berikut di antaranya:

PHK Karena Hukum

Salah satu contoh PHK yang terjadi secara otomatis karena ketentuan hukum adalah ketika seorang karyawan meninggal dunia atau masa perjanjian kerja telah berakhir. Dalam situasi seperti ini, perusahaan tidak perlu mengirimkan surat pemutusan hubungan kerja karena status hubungan kerja tersebut secara otomatis berakhir sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Pada kasus karyawan meninggal dunia, hubungan kerja dianggap selesai karena sudah tidak memungkinkan bagi karyawan untuk melanjutkan tugasnya. Sementara itu, ketika masa perjanjian kerja habis, baik perusahaan maupun karyawan telah menyepakati sebelumnya bahwa hubungan kerja hanya berlangsung hingga jangka waktu tertentu, sehingga tidak ada kewajiban tambahan bagi perusahaan untuk memberikan pemberitahuan resmi.

PHK Secara Sepihak

PHK semacam ini biasanya terjadi ketika ada pelanggaran serius terhadap perjanjian kerja yang telah disepakati. Sebagai contoh, jika seorang karyawan melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh perusahaan, maka perusahaan berhak untuk mengambil tindakan PHK tanpa harus mendapatkan persetujuan dari karyawan tersebut.

Selain itu, pengunduran diri yang dilakukan oleh karyawan juga termasuk dalam kategori PHK sepihak. Dalam hal ini, karyawan yang memilih untuk berhenti bekerja mengambil inisiatif untuk mengakhiri hubungan kerja tanpa adanya persetujuan atau permintaan dari perusahaan.

Dengan kata lain, PHK sepihak dapat terjadi baik atas dasar keputusan perusahaan maupun keinginan karyawan, dimana salah satu pihak secara unilateral menentukan berakhirnya hubungan kerja.

PHK Karena Kondisi Khusus

Ada berbagai kondisi khusus yang dapat memicu terjadinya PHK. Misalnya, ketika seorang karyawan menderita penyakit yang berkepanjangan, sehingga mengakibatkan ketidakmampuan untuk melanjutkan tugas-tugas pekerjaannya.

Selain itu, PHK juga bisa terjadi sebagai akibat dari upaya efisiensi perusahaan, di mana pengurangan tenaga kerja dianggap perlu untuk menyesuaikan biaya operasional dengan kondisi bisnis yang ada.

PHK Karena Kesalahan Berat

Ketika seorang karyawan melakukan kesalahan, perusahaan tidak dapat serta-merta mengambil keputusan untuk memutuskan hubungan kerja. Namun, jika kesalahan yang dilakukan tergolong berat, perusahaan memiliki hak untuk melakukan PHK.

Beberapa contoh kesalahan berat yang dapat berujung pada PHK yaitu seperti penipuan, di mana karyawan sengaja memberikan informasi palsu atau menipu perusahaan untuk keuntungan pribadi.

Cara Menghitung Pesangon PHK

Berdasarkan Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, perusahaan diharuskan atau diwajibkan untuk memberikan uang pesangon ketika melakukan PHK terhadap karyawan.

Pada Pasal 156 Ayat 2 Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 juga menjelaskan jumlah minimal pesangon yang harus diberikan kepada karyawan yang terkena PHK. Namun, dalam Undang-Undang Cipta Kerja, ketentuan ini diubah, sehingga aturan tersebut kini mengatur besaran maksimal pesangon yang bisa diterima oleh karyawan yang mengalami PHK.

Apabila dilihat dari Pasal 156 Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, berikut adalah rincian cara menghitung pesangon bagi para karyawan yang terkena PHK.

  • masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
  • masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
  • masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
  • masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
  • masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
  • masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
  • masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah.
  • masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
  • masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

(3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:

  • masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
  • masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
  • masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
  • masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
  • masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
  • masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
  • masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
  • masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.

(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:

  • cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
  • biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
  • penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
  • hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

(5) Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.




(iws/iws)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads