Wali Kota Batam, Amsakar Achmad, menyampaikan keprihatinannya atas meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak di wilayahnya. Hal itu diketahui dari data Jaringan Safe Migran Kota Batam yang mencatat adanya kenaikan kasus kekerasan terhadap perempuan, anak, dan migran sepanjang tahun 2025.
"Kami sedih dengan data yang ada itu. Angkanya memang meningkat signifikan dan ini tentu perlu menjadi perhatian bersama," kata Amsakar, Jumat (19/12/2025).
Menurut Amsakar, lonjakan data yang disampaikan Jaringan Safe Migran Batam tersebut menjadi pertanda perlunya koordinasi lintas pemangku kepentingan. Koordinasi harus diperkuat agar dapat meminimalisir kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tentu saja data itu mengisyaratkan perlunya koordinasi lintas stakeholder yang harus diperkuat," ujarnya.
Menurut Amsakar, lonjakan data tersebut tidak serta-merta harus dimaknai secara negatif. Ia menilai peningkatan jumlah laporan juga bisa menunjukkan adanya peningkatan kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus yang sebelumnya enggan disampaikan kepada pihak berwenang.
"Bisa jadi sekarang masyarakat sudah lebih terbuka dan berani melapor. Kalau dulu mungkin masih takut atau ragu," ujarnya.
Amsakar menyebut, salah satu upaya untuk meminimalisir kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah dengan disepakatinya Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Kota Ramah Anak oleh Pemerintah Kota Batam bersama DPRD Batam. Menurutnya, regulasi tersebut menjadi instrumen hukum penting dalam memperkuat perlindungan terhadap anak.
"Perda ini menjadi jawaban untuk meminimalisir kasus-kasus yang terjadi. Dengan regulasi yang ada, perlindungan terhadap anak-anak kita Insya Allah akan semakin kuat," ujarnya.
Berdasarkan data Jaringan Safe Migran, kekerasan seksual menjadi jenis kasus yang paling mendominasi dengan jumlah mencapai 52 korban sepanjang tahun 2025. Menurut Wali Kota, kondisi ini menunjukkan bahwa persoalan kekerasan terhadap anak banyak terjadi di lingkungan terdekat, khususnya dalam keluarga.
"Ini berarti ketahanan keluarga yang harus kita bangun bersama. Jangan sampai setiap problem keluarga dilampiaskan ke anak," tegasnya.
Untuk menekan angka tersebut, Pemerintah Kota Batam akan memperkuat koordinasi dengan berbagai pihak, termasuk Komisi Perlindungan Anak, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta instansi terkait lainnya.
"Saya akan segera berbicara dengan Asisten Pemerintahan dan Kesra untuk memperkuat koordinasi lintas instansi, termasuk untuk mengetahui penyebab-penyebab utama kasus ini," ujarnya.
Sebelumnya, Sepanjang 2025, Jaringan Safe Migran Kota Batam mencatat 340 kasus kekerasan dengan 448 korban perempuan, anak, dan migran. Jumlah ini meningkat tajam dibandingkan 2024 yang mencatat 164 korban, menandakan persoalan kekerasan masih serius.
Korban terbanyak berasal dari PMI nonprosedural sebanyak 114 orang, disusul eksploitasi ekonomi (81 korban) dan TPPO (79 korban). Kasus kekerasan seksual tercatat 65 korban, KDRT 43 korban, serta penelantaran, kekerasan fisik, dan perundungan dengan jumlah lebih kecil.
Berdasarkan usia, anak-anak menjadi kelompok paling rentan dengan 132 korban, melonjak tajam dari 2024. Sementara korban dewasa mencapai 316 orang, juga meningkat signifikan.
Kekerasan banyak terjadi dalam relasi kerja dan lingkungan terdekat, termasuk keluarga. Peningkatan data ini menunjukkan masih lemahnya pencegahan, meski keberanian korban untuk melapor mulai meningkat.
(nkm/nkm)











































