Seorang dukun bernama Alfian (57) membacok pasiennya bernama Kwek Tjue (67) hingga tewas di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut). Pelaku melancarkan aksinya saat mereka melakukan ritual menggandakan uang.
Kapolsek Medan Tembung AKP Ras Maju Tarigan mengatakan peristiwa itu berawal pada 16 Agustus 2025. Saat itu, korban bersama anaknya E (38) mendatangi rumah pelaku di Desa Cinta Rakyat, Kecamatan Percut Sei Tuan, dengan mengendarai sepeda motor.
Saat itu, kata Ras Maju, korban ingin meminta bantuan pelaku untuk menggandakan uang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Modusnya yang pertama korban ini sedang susah, korban dan tersangka sudah lama kenal. Korban datang bersama anaknya yang perempuan, maksud hati datang menjumpai tersangka untuk meminta bantuan, untuk menggandakan uang," kata Ras Maju, Selasa (26/8/2025).
Awalnya, pelaku meminta korban menyiapkan uang Rp 100 juta untuk digandakan. Namun, belakangan mereka sepakat uang yang hendak digandakan itu menjadi Rp 20 juta. Nyatanya, pada saat kejadian itu, korban hanya membawa uang Rp 1,1 juta.
Setelah tiba di rumah pelaku, Alfian pun mengajak korban menuju Jalan Lembaga, Dusun 11 Desa Tanjung Selamat, Kecamatan Percut Sei Tuan, untuk melakukan ritual mandi. Sementara anak korban ditinggalkan di rumah pelaku bersama dengan anak Alfian dan tetangganya.
Saat menuju lokasi ritual itu, pelaku sempat menghentikan sepeda motor dan membeli kelapa muda untuk persyaratan ritual. Setibanya di lokasi, pelaku membelah kelapa muda itu dan meminum airnya sebagian, sedangkan sebagiannya lagi diminumkan ke korban.
"Saat korban disuruh membakar dupa dengan duduk bersila membelakangi tersangka, tersangka langsung membacok leher korban sampai jatuh," jelasnya.
Setelah memastikan korban tak bernyawa, pelaku pulang ke rumahnya dengan mengendarai sepeda motor korban. Sebelum tiba di rumah, pelaku sempat mencuci motor tersebut di tempat pencucian sepeda motor.
Setibanya di rumah, pelaku menyuruh anak korban masuk ke dalam rumah untuk ritual. Sementara anak pelaku dan tetangganya diminta untuk mengunci pintu rumah dari luar.
Setelah pintu terkunci, pelaku masuk ke dalam rumah melalui pintu kecil yang berada di rumah tersebut.
"Di dalam rumah, anak korban disuruh melakukan ritual juga dengan duduk bersila membelakangi tersangka," sebutnya.
Anak korban pun mulai menanyakan keberadaan ayahnya. Saat itu, pelaku berdalih bahwa korban tengah membeli makanan.
Namun, selang beberapa waktu, korban ternyata tak kunjung pulang. Anak korban pun terus mempertanyakan keberadaan ayahnya.
Karena ditanya terus-menerus, pelaku emosi dan menganiaya anak korban dengan cara memukul, mencekik, menginjaknya. Saat dianiaya itu, anak korban sempat melakukan perlawanan dengan menendang kemaluan tersangka.
Akibatnya, pelaku tidak sadarkan diri. Pada saat itulah, anak korban pergi melarikan diri dan meminta pertolongan ke kepala dusun (kadus) setempat. Setelah itu, kadus pun melaporkan soal peristiwa itu ke pihak kepolisian. Saat petugas mengecek ke rumah pelaku, pelaku sudah tidak berada lagi di rumah tersebut.
"Di dalam rumah, begitu dikunci dari luar, menyuruh anak korban ritual, padahal niat dia kita duga mau bunuh anak korban juga. Anak korban melarikan diri, pelaku pingsan, sadar, terus langsung lari," kata Ras Maju.
Petugas kepolisian pun mencari keberadaan korban. Lalu, pada 23 Agustus 2025, petugas mendapatkan informasi soal penemuan mayat di Jalan Lembaga, tempat pelaku dan korban melakukan ritual.
Saat dicek ke lokasi, anak korban membenarkan bahwa mayat tersebut adalah ayahnya. Selanjutnya, petugas kepolisian menyelidiki kasus tersebut hingga akhirnya menangkap pelaku.
Namun, saat proses pengembangan, pelaku melakukan perlawanan hingga terpaksa ditembak petugas kepolisian di bagian kaki.
"Hasil autopsi, diperoleh korban meninggal ada bekas luka di lehernya, sehingga kehabisan darah," ujarnya.
Mantan Kasat Reskrim Polres Tanah Karo itu mengatakan bahwa motif pelaku sampai nekat membunuh korban karena kesal. Sebab, korban hanya membawa uang Rp 1,1 juta dari total Rp 100 juta yang diminta pelaku.
"Tersangka marah karena korban datang tidak membawa uang sesuai permintaan tersangka sebesar Rp 100 juta. Kemudian diturunkan tersangka menjadi Rp 20 juta, namun yang dibawa korban hanya Rp 1,1 juta," jelasnya.
Ras Maju mengatakan bahwa pelaku selama ini diyakini warga sebagai 'orang pintar' yang bisa menyembuhkan penyakit anak-anak. Dari hasil pemeriksaan, pelaku tidak memiliki kemampuan untuk menggandakan uang. Modus bisa menggandakan uang itu dilakukan pelaku hanya untuk meraup keuntungan.
Atas perbuatannya, pelaku dijerat Pasal 340 subs Pasal 338 subs Pasal 351 Ayat 3 KUHPidana dengan ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup.
"Informasi tersangka dia selama selama ini hanya mengobati anak anak sakit, terkait dengan menggandakan uang hanya sebagai modusnya saja untuk dapat uang," pungkasnya.