Di Luar Nalar, Kiai di Trenggalek Ngaku Bisa Gandakan Diri-Bantah Hamili Santri

Regional

Di Luar Nalar, Kiai di Trenggalek Ngaku Bisa Gandakan Diri-Bantah Hamili Santri

Tim detikJatim - detikSumut
Jumat, 28 Feb 2025 12:14 WIB
Kiai di Trenggalek yang hamili santriwati
Kiai di Trenggalek hamili santriwati (Foto: Adhar Muttaqin/detikJatim)
Trenggalek -

Kasus asusila yang menjerat pimpinan Pondok Pesantren MH Trenggalek, Kiai Imam Syafii alias Supar mengaku bisa menggandakan diri menjadi beberapa orang. Ia pun membantah telah menghamili salah satu santriwatinya.

Hal itu diungkap dalam sidang putusan di PN Trenggalek. Majelis hakim membacakan amar putusan yang dihadiri oleh terdakwa dan kuasa hukum serta JPU Kejaksaan Negeri Trenggalek, Kamis (27/2/2025).

Dalam amar putusan tersebut, terungkap sejumlah hal menarik, salah satunya pengakuan Supar yang mengaku bisa menggandakan diri menjadi beberapa orang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Terdakwa menyampaikan hal itu saat ditemui keluarga korban saat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya.

Di luar nalar, terdakwa malah enggan meminta maaf dan bertanggung jawab karena merasa tidak pernah menyetubuhi korban. Ia lalu mengaku bisa menggandakan diri dan berdalih yang menyetubuhi korban adalah jinnya.

ADVERTISEMENT

"Lalu, terdakwa mengatakan bisa menjadi beberapa orang dan yang melakukan persetubuhan kepada anak korban adalah 'rewangnya' atau jin terdakwa," kata Ketua Majelis Hakim PN Trenggalek Dian Nur Pratiwi saat membacakan amar putusan dilansir detikJatim, Jumat (28/2/2025).

Dalam amar putusan itu, terdakwa juga disebut melakukan kekerasan seksual terhadap korban sebanyak lima kali pada rentang waktu 2022-2024.

Perbuatan keji itu dilakukan di lingkungan pesantren, mulai dari ruang kelas hingga kamar khusus di samping mihrab masjid. Majelis hakim berpendapat perbuatan asusila itu bisa dilakukan karena adanya relasi kuasa antara pelaku dengan korban.

"Relasi kuasa dalam hal ini ada hubungannya secara horizontal, guru kepada murid. Dalam hal ini terdakwa adalah orang yang lebih tua dari pada anak korban sekaligus guru dan pengasuh pondok pesantren. Sehingga korban tidak berdaya untuk menolak keinginan terdakwa," ucapnya.

Meskipun terdakwa kekeh menolak tuduhan perbuatan asusila itu, namun hakim menyimpulkan dakwaan jaksa dapat dibuktikan dan dikuatkan dengan keterangan korban, saksi dan alat bukti.

Sehingga terdakwa divonis hukuman 14 tahun penjara dan denda Rp 200 juta serta uang restitusi sebesar Rp 106 juta kepada korban.

Jika sesuai batas waktu yang ditentukan terdakwa tidak membayar restitusi, maka jaksa diperintahkan untuk menyita aset terdakwa untuk dilelang.




(nkm/nkm)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads