Pemerintah Indonesia secara resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada tokoh perempuan inspiratif asal Sumatra Barat, Hajjah Rahmah El Yunusiyyah. Penganugerahan ini menjadi kado istimewa bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan, sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK Tahun 2025 yang ditetapkan oleh Presiden Prabowo.
Rahmah El Yunusiyyah, yang dikenal sebagai pendiri Diniyah Putri Padang Panjang, menjadi satu dari 10 tokoh yang menerima gelar kehormatan tahun ini. Penganugerahan ini adalah puncak dari pengakuan atas perjuangannya yang tak kenal lelah di bidang pendidikan Islam dan kemerdekaan Indonesia.
Siapakah Syekhah Rahmah El Yunusiyyah?
Lahir pada 26 Oktober 1900, Syekhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyah adalah seorang reformator pendidikan Islam terkemuka sekaligus pejuang kemerdekaan. Ia merupakan salah satu tokoh pemikir dan penggerak perempuan paling berpengaruh dari Minangkabau.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namanya terukir dalam sejarah sebagai pendiri Diniyah Putri, sebuah perguruan yang tercatat sebagai sekolah agama Islam perempuan pertama di Indonesia. Saat ini, perguruan tersebut telah berkembang pesat, meliputi jenjang taman kanak-kanak hingga sekolah tinggi.
Nafilah abdullah dalam tulisannya yang berjudul "Rahmah El Yunusiyyah Kartini Padang Panjang (1900-1969)" pada Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial menuliskan histori tokoh Rahmah El-Yunusiyyah, berikut penjelasannya.
Pelopor Pendidikan Perempuan dan Semangat Mendirikan Diniyah Putri
Rahmah El Yunusiyyah terlahir dari keluarga ulama. Ayahnya adalah Syaikh Muhammad Yunus dan kakaknya, Zainudin Labay El Yunusy, adalah pendiri Diniyah School. Pendidikan formal pertamanya ia tempuh di Diniyah School.
Namun, sebagai murid yang cerdas dan kritis, Rahmah merasa tidak puas dengan sistem koedukasi (campur) di sekolah tersebut. Ia merasa siswi kesulitan mengemukakan pendapat karena minimnya jumlah siswi dan guru perempuan, sehingga diskusi didominasi oleh laki-laki.
Berangkat dari kegelisahan ini, Rahmah bersama tiga sahabatnya, termasuk Rasuna Said, memutuskan membuat kelompok belajar sendiri. Mereka aktif berguru kepada syaikh-syaikh ternama seperti Syaikh Muhammad Jamil Jambek, sebuah langkah yang tidak lazim bagi perempuan Minangkabau di awal abad ke-20.
Dengan semangat memajukan kaum perempuan, pada 1 November 1923, Rahmah mendirikan Diniyah School Putri atau Madrasah Diniyah lil Banat di Masjid Pasar Usang. Murid angkatan pertamanya berjumlah 71 orang, yang sebagian besar adalah ibu-ibu muda.
Tujuan didirikannya sekolah ini adalah untuk "membentuk putri yang berjiwa Islam dan ibu pendidik yang cakap dan aktif serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air".
Hajjah Rahmah sangat teguh menjaga independensi sekolahnya. Ia menolak segala bentuk bantuan dari pemerintah Belanda, partai politik, atau organisasi agama lainnya. Ia bahkan memilih bercerai dari suaminya, H. Bahaudin Latief, karena perbedaan orientasi, di mana suaminya ingin terjun ke politik sementara Rahmah ingin fokus membangun pendidikan perempuan.
Perjuangan di Masa Perang dan Kemerdekaan
Perjuangan Rahmah tidak hanya di bidang pendidikan, tetapi juga dalam perjuangan fisik membela negara.
Zaman Belanda
Ia memimpin gerakan menentang dua ordonansi Belanda, yaitu Ordonantie Kawin Bercatat dan Ordonantie Sekolah Liar pada tahun 1932.
Pendudukan Jepang
Rahmah memimpin Haha No Kai di Padang Panjang untuk membantu perwira Giyugun. Ia juga menjadi pengurus Anggota Daerah Ibu (ADI) yang menentang Jepang yang menjadikan gadis remaja sebagai wanita penghibur dan menuntut penutupan rumah bordil.
Masa Revolusi
Saat perang kemerdekaan, ia memelopori berdirinya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Padang Panjang. Ia mengerahkan murid-muridnya dan menjadikan Diniyah Putri sebagai dapur umum untuk memasok perbekalan, obat-obatan, bahkan membantu pengadaan senjata bagi para pejuang. Karena perjuangannya ini, ia ditangkap oleh Belanda pada 7 Januari 1949.
Warisan dan Pengakuan Dunia
Perjuangan Rahmah El Yunusiyyah diakui secara luas, baik di dalam maupun luar negeri.
Gelar "Syekhah"
Keberadaan Diniyah Putri menginspirasi Universitas Al-Azhar di Mesir untuk membuka Kulliyatul Banat, fakultas yang dikhususkan untuk perempuan. Atas jasanya ini, saat berkunjung ke Mesir pada 1957, Universitas Al-Azhar menganugerahinya gelar kehormatan "Syekhah", gelar yang belum pernah diberikan kepada perempuan sebelumnya.
Bintang Mahaputra Adiprana
Di Indonesia, pemerintah menganugerahkannya tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adiprana secara anumerta pada 13 Agustus 2013.
Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2025 ini menjadi pengakuan tertinggi negara atas dedikasi, pengorbanan, dan perjuangan Syekhah Hajjah Rahmah El Yunusiyyah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memperjuangkan kemerdekaan.
Simak Video "Video: Mengulik Sejarah dan Syarat Pemberian Gelar Pahlawan Nasional"
[Gambas:Video 20detik]
(afb/afb)











































