Tari Piring, salah satu seni pertunjukan tradisional yang berasal dari Minangkabau, bukan hanya sekadar tarian yang menghibur, tetapi juga memiliki makna filosofis yang mendalam bagi masyarakatnya.
Tari ini biasanya dipentaskan dalam berbagai acara, seperti pernikahan, khitanan, dan upacara adat lainnya, yang menunjukkan pentingnya nilai-nilai budaya dalam kehidupan sehari-hari.
Tari Piring mengisahkan hubungan antara manusia dengan alam, sesama manusia, dan Yang Maha Kuasa. Gerakan yang lincah dan penuh semangat menggambarkan rasa syukur masyarakat Minangkabau atas karunia Tuhan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikutip dari halaman resmi Kedutaan Besar Republik Indonesia, Tari Piring atau dalam bahasa Minang disebut Tari Piriang, merupakan tarian tradisional Minangkabau yang mempertunjukkan atraksi dengan menggunakan piring.
Para penari menggerakkan piring di tangan mereka sambil melakukan gerakan cepat yang teratur, tanpa menjatuhkan piring tersebut. Gerakan-gerakan tarian ini terinspirasi dari langkah-langkah dalam beladiri tradisional Minangkabau, yaitu silek.
Nah detikers mau lebih tau lagi tau lagi nggak makna filosofi tari piring bagi masyarakat Minangkabau, berikut penjelasannya:
Sejarah Tari Piring
Secara kebudayaan, tarian ini berasal dari Solok, Sumatera Barat. Berdasarkan legenda, tari ini awalnya merupakan ritual sebagai ungkapan syukur masyarakat setempat kepada para dewa setelah mendapatkan hasil panen yang berlimpah.
Ritual tersebut dilakukan dengan membawa persembahan berupa makanan di atas piring sambil melakukan gerakan dinamis. Setelah agama Islam masuk ke wilayah Minangkabau, Tari Piring tidak lagi digunakan sebagai bentuk syukur kepada dewa-dewa. Sebaliknya, tarian ini berubah menjadi hiburan masyarakat yang ditampilkan dalam berbagai acara meriah.
Filosofi Tari Piring
Filosofi Tari Piring juga mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong. Dalam tarian ini, penari biasanya tampil dalam kelompok, menampilkan harmonisasi yang indah.
Hal ini mencerminkan bagaimana masyarakat Minangkabau menjunjung tinggi prinsip kolektivitas dalam setiap aspek kehidupan.
Kebersamaan dan kerjasama dalam menjaga keseimbangan sosial menjadi inti dari budaya masyarakat Minangkabau, yang dikenal dengan semboyan "adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah
Lebih dari sekadar hiburan, Tari Piring juga menjadi media pendidikan bagi generasi muda. Melalui tarian ini, anak-anak diajarkan untuk mengenali dan menghargai warisan budaya mereka.
Selain itu, filosofi di balik Tari Piring memberikan pelajaran tentang pentingnya menjaga hubungan yang baik dengan lingkungan dan sesama manusia, serta menghormati tradisi dan nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhur.
Dalam era modern saat ini, di mana budaya global semakin mendominasi, keberadaan Tari Piring menjadi sangat penting. Masyarakat Minangkabau terus berupaya melestarikan dan mempromosikan tarian ini, tidak hanya sebagai bentuk hiburan, tetapi juga sebagai representasi identitas dan jati diri mereka.
Dengan demikian, makna filosofis Tari Piring tidak hanya terjaga, tetapi juga semakin diperkuat di tengah arus perubahan zaman.
Gerakan Tari Piring
Tari piring umumnya dilakukan dengan meletakkan dua piring di kedua telapak tangan. Para penari menggerakkan piring dengan cepat, sambil membunyikan dentingan dari piring atau cincin di jari-jari mereka.
Pada akhir pertunjukan, piring-piring tersebut biasanya dilempar ke lantai, dan para penari melanjutkan tarian mereka di atas pecahan-pecahan piring. Jumlah penari biasanya ganjil, berkisar antara tiga hingga tujuh orang.
Mereka mengenakan pakaian cerah dengan dominasi warna merah dan emas, lengkap dengan hiasan kepala. Tarian ini diiringi oleh alat musik talempong dan saluang, dengan irama yang awalnya lembut namun semakin cepat seiring berjalannya waktu.
Jadi detikers Tari Piring tidak hanya menjadi hiburan semata, tetapi juga sebagai pengingat akan kebersamaan, tanggung jawab, dan rasa syukur yang senantiasa terjaga dalam masyarakat Minangkabau.
Tarian ini menghubungkan masa lalu dengan masa kini, memperkuat identitas budaya, dan memberikan pelajaran penting bagi masyarakat tentang arti kehidupan.
Artikel ini ditulis Ahmad Zacky Parinduri, mahasiswa Program Magang Merdeka di detikcom.
(afb/afb)