Sumatera Utara (Sumut) memiliki berbagai macam adat dan kebudayaan dengan keunikannya masing-masing.
Termasuk salah satunya di Kabupaten Simalungun. Daerah ini memiliki beragam adat dan kebudayaan yang diwarisi dan masih dilestarikan hingga saat ini.
Biasanya, acara-acara besar di sana juga selalu dipadukan dengan kebudayaan setempat. Mulai dari acara pernikahan, kelahiran, hingga kematian tak luput dari adat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti halnya dengan Tortor Toping Huda-huda. Tarian ini merupakan bentuk penghormatan kepada orang tua yang telah meninggal pada usia lanjut. Acara ini digelar untuk menghibur keluarga yang berduka dan sebagai hiburan bagi para pelayat.
Dulunya, tortor ini hanya boleh dilakukan oleh keluarga kerajaan. Namun, seiring waktu, masyarakat dari berbagai kalangan telah diperbolehkan untuk menggelarnya. Bahkan saat ini, tarian itu juga kerap kali dipentaskan dalam acara-acara kesenian.
Dilansir dari jurnal berjudul 'Makna Simbolik Tortor Toping Huda-huda dalam Upacara Adat Sayurmatua Pada Masyarakat Simalungun Sumut', tortor ini biasanya digunakan untuk kematian orang tua yang telah lanjut usia atau dalam suku Batak biasanya disebut sayurmatua. Orang tua tersebut merupakan orang yang sudah memiliki cucu dari anak laki-laki dan anak perempuannya.
Upacara adat sayurmatua terdapat dua pembagian acara, yaitu mandingguri dan manggiligi. Biasanya tortor Toping Huda-huda ditampilkan dalam acara mandingguri.
Dalam pelaksanaan upacara adat sayurmatua terdapat beberapa acara. Kemudian terdapat musik dan tari di dalamnya. Penari pada tortor ini berjumlah tiga orang, yaitu dua penari menggunakan toping dalahi dan toping naboru, sedangkan satu orang penari huda-huda.
Tortor Toping Huda-huda ini merupakan salah satu tarian yang bersifat religius. Di dalam tortor ini terdapat unsur-unsur musikologis yang mencerminkan kedukaan, kesedihan maupun derita atau lara akibat kehilangan anggota keluarga yang dicintainya.
Gerak tari dalam tortor ini sangatlah sederhana, hanya gerakan dasar tortor dihar atau pencak silat. Geraknya mengikuti gual yang dimainkan dan tidak ada gerak yang diatur.
Tortor Toping Huda-huda dilakukan di halaman rumah orang yang sedang berduka. Penari toping naboru dan toping dalahi memiliki rambut yang terbuat dari ijuk dan topeng laki-laki memiliki kumis pada topengnya, sedangkan topeng perempuan memiliki giwang atau anting-anting pada telinga topeng.
Kemudian, topeng huda-huda menggunakan kain putih yang menutupi setengah badannya dan di kepala menggunakan paruh burung enggang. Busana yang digunakan penari toping dalahi, yaitu celana panjang hitam, surisuri berwarna biru gelap, hiou berwarna biru gelap dengan motif ragi
sattik, dan baju polang-polang atau warna belang-belang yang terdiri dari warna hitam, putih, merah serta membawa bahul-bahul atau kantong anyaman yang diselempangkan. Bahul-bahul ini digunakan untuk menerima uang dari para keluarga yang menyaksikan.
Sementara penari toping naboru menggunakan surisuri berwarna merah, hati rongga berwarna merah, baju polang-polang dan membawa bahul-bahul.
Untuk penari huda-huda hanya menggunakan kain penutup dari atas kepala sampai mata kaki yang berwarna sama dengan penari toping dan membawa padung ni onggang. Kemudian hadang-hadangan atau selendang pria dan wanita diletakkan di bahu sebelah kanan. Filosofinya adalah
letak dan posisi hadang-hadangan sama seperti kain gendongan untuk menggendong anak.
Cerita Asal Usul Toping Huda-huda
Dilansir dari website Kemendikbud, dulunya tortor Toping Huda-huda ini dipertunjukkan untuk acara kematian kerajaan. Awalnya, ada satu-satunya anak raja yang meninggal dunia.
Istri raja bersedih dan tidak merelakan anaknya untuk dikebumikan. Selang beberapa hari, istri raja tetap tidak mau melepaskan anaknya dari pangkuannya.
Mendengar pengumuman raja, maka parpongkalan nabolon atau sekelompok orang memikirkan cara untuk membujuk sang permaisuri. Alhasil, mereka menciptakan gerakan-gerakan yang lucu dan menutup mukanya dengan paruh burung enggang dan topeng seperti monyet.
Sebagian di antaranya membuat suara atau bunyi-bunyian untuk mengiringi gerak-gerak yang lucu. Raja pun turun ke bawah melihat gerak tari yang ditampilkan.
Tak lama, permaisuri pun merasa tertarik dan turun untuk menyaksikan pertunjukan itu. Melihat pertunjukkan ini sang permaisuri terlena dan lupa terhadap anaknya yang meninggal dunia tadi.
Pada kesempatan inilah sang raja memerintahkan supaya putranya yang meninggal dunia dikebumikan dengan segera. Sejak saat itu, jika ada keluarga kerajaan yang meninggal dunia, maka parpongkalan nabolon membuat suatu pertunjukkan yang lucu untuk menghibur keluarga yang berduka.
Namun sayang, sekarang ini penampilan tari topeng pada upacara kematian usia lanjut sudah jarang dilakukan oleh masyarakat Simalungun. Sekarang, banyak orang yang menjadikan tortor itu sebagai suatu seni pertunjukkan untuk menghibur para penonton.
(dhm/dhm)