Nias merupakan wilayah kepulauan yang letaknya berada di sebelah barat Pulau Sumatera. Secara administratif, Pulau Nias masuk ke dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Penduduk asli Nias menyebut diri mereka Ono Niha yang berarti anak manusia, sedangkan Pulau Nias disebut dengan Tano Niha yang berarti tanah manusia.
Masyarakat Nias terkenal dengan upacara tradisional yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Apa sajakah upacara-upacara itu? Simak penjelasan yang detikSumut rangkum dari buku yang berjudul Adat dan Budaya Suku Bangsa Nias Sumatera Utara.
6 Macam Upacara Tradisional Suku Nias
1. Upacara Kelahiran
Lahirnya seorang anak pada masyarakat Nias bagian Selatan disebut dengan istilah ono famatohu na'ötö yang berarti anak penyambung keturunan bila anaknya laki-laki. Sedangkan jika anak yang lahir perempuan, maka sebutannya adalah ono famachai mbambatö yang berarti anak pemerluas lingkaran kekeluargaan.
Terdapat peran yang sangat penting dari seorang imam atau dukun yang disebut dengan ere dalam proses kelahiran seorang anak. Selama masa kehamilan, ere membuat tiga patung yang disebut adu. Patung ini terdiri dari dua patung laki-laki dan satu patung perempuan.
Selama masa kehamilan, ibu dan ayah bayi harus mematuhi sebuah aturan yang disebut amonita. Amonita terdiri dari larangan menyembelih babi, membunuh ayam, ular, ikan, menjamah monyet, mendidihkan minyak, melewati kuburan, dan aturan lainnya.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, terdapat banyak roh jahat yang berkeliaran dan yang paling ditakuti di antaranya adalah maciana. Konon, maciana ini adalah perempuan yang mati ketika melahirkan. Oleh karena itu, roh jahat ini sering mengganggu ibu-ibu hamil dan hanya dapat diusir melalui mantera seorang ere.
Seorang ere akan memotong tali plasenta bayi yang lahir dengan pisau kulit bambu dan membungkusnya dengan kain tua lalu menanamnya di tanah belakang rumah. Tradisi ini memiliki makna agar si anak dapat mempunyai hubungan erat dengan kampung halamannya sendiri.
Selang satu atau dua hari setelah kelahiran bayi, diadakanlah sebuah jamuan kecil yang disebut dengan ma me ö zolohe yang berarti pesta wanita penolong. Disebut wanita penolong karena hanya wanitalah yang diundang pada jamuan itu. Jamuan ini bertujuan untuk menjamu para wanita yang sudah turut menolong sang ibu yang melahirkan.
Pada zaman dahulu jika ada seorang wanita yang tidak berhasil dalam melahirkan, maka akan dicela atau disebut dengan istilah sombuyu sumane yang berarti yang lemah. Jika dia mati saat melahirkan, maka dia tidak akan dikubur secara wajar.
Keluarga si ibu yang meninggal saat melahirkan akan membuang mayatnya melalui lobang lantai dari atas rumah serta dibiarkan dimakan babi. Hal ini dilakukan karena orang zaman dahulu percaya bahwa si ibu yang mati tersebut akan menjelma menjadi maciana.
Sebelum diberi nama oleh orang tua, biasanya ada nama panggilan yang diberikan oleh masyarakat yaitu oyo kepada anak laki-laki dan lawe untuk anak perempuan. Empat hari setelah lahir, maka orang tuanya akan mengantarkan si bayi ke rumah kakek dari pihak ibu dengan membawa emas.
Emas biasanya ditaruh dalam piring yang berisi air dan dipercikkan oleh sang kakek di kepala sang bayi sembari diberikan nama. Namun, kebiasaan seperti itu sudah tidak dilakukan lagi karena baptisan anak-anak sudah dilakukan di dalam gereja.
2. Upacara Perkawinan
Perkawinan dimulai dari tingkat pertunangan yang diprakarsai oleh orang tua pihak laki-laki. Setelah orang tua kedua belah pihak setuju, maka mereka akan mengusulkan agar anak laki-laki mereka ditunangkan dengan wanita impian sang anak. Hal ini menunjukkan bahwa pertunangan bukanlah urusan calon pengantin, melainkan orang tua kedua belah pihak.
Dalam mengatur tunangan, orang tua pihak laki-laki akan menyuruh seorang wanita yang sudah dianggap tua untuk menyampaikan pesan kepada orang tua si pihak perempuan. Wanita yang bertugas sebagai penyampai pesan itu akan membawa sirih dan menyampaikannya pesan kepada orang tua si gadis. Jika orang tua gadis setuju maka akan diatur waktu untuk upacara pertunangan yang disebut dengan famatuasa.
Di upacara famatuasa, orang tua laki-laki akan menyerahkan emas kepada orang tua pihak perempuan yang disebut dengan istilah fasa manömanö atau paku kata-kata. Sejak bertunangan, calon menantu sudah bebas berkunjung maupun bekerja di rumah calon mertua.
Perkawinan biasanya dilakukan setelah musim panen atau pada waktu persediaan beras sudah cukup. Jika orang tua si gadis merasa bahwa persediaan beras dan babi sudah cukup maka mereka menyetujui perkawinan karena orang tua pihak perempuan lebih banyak menentukan terhadap usul perkawinan.
Pihak perempuan akan menuntut emas jujuran kepada pihak laki-laki. Emas ini berkisar antara 80 moböli babi hingga satu karang 70 atau 69 batu emas seperti diistilahkan oleh orang Nias.
Jika pihak perempuan telah menentukan emas jujuran yang mereka minta dan telah disetujui oleh pihak laki-laki, maka mereka akan segera mengatur upacara famalgi ana'a yang berarti pemeriksaan emas. Sekelompok ketua adat serta para perantara perkawinan akan datang ke rumah pihak laki-laki untuk memeriksa apakah jumlah emas telah tersedia atau belum.
Bila emas, beras, babi, dan lain-lain dirasa belum cukup, maka ayah calon mempelai laki-laki akan memanggil seluruh menantu serta kaum kerabat untuk meminta bantuan materi. Orang-orang yang dipanggil ini disebut dengan si so banai yang berarti orang-orang pendamping.
Terdapat istilah manandrö dödö yang berarti meminta jantung. Di saat itu, calon menantu akan datang kepada calon mertuanya lalu mengatakan bahwa pihaknya tidak mampu untuk memenuhi jumlah emas jujuran yang diminta. Biasanya penawaran tersebut akan dikabulkan bila calon mertua merasa kasihan terhadap calon menantu dan menerimanya bila alasan penawaran itu tepat.
Di hari perkawinan, mempelai laki-laki akan ditemani oleh kerabat dan segenap masyarakat desa. Laki-laki dan perempuan yang disebut sanai niha berangkat ke rumah orang tua pengantin wanita. Pesta adat dan pembahasan tentang emas jujuran diadakan di rumah orang tua mempelai perempuan yang disebut dengan orahu.
Setelah orahu selesai, pengantin perempuan dibawa ke rumah orang tua pengantin laki-laki. Pengantiin perempuan akan diberkati oleh ayah, saudara laki-laki ibu, serta kakek-kakeknya sebelum ia meninggalkan rumah orang tuanya.
Setelah kedua mempelai beserta rombongan sampai di rumah orang tua mempelai laki-laki, maka diadakan lagi pesta yang disebut tadi orahu.
Perkawinan ditandai dengan adanya penyembeihan babi perkawinan di depan rumah pengantin laki-laki. Ditandai juga dengan adanya janji antara pengantin laki-laki dan perempuan bahwa mereka tidak akan berpisah kecuali oleh karena kematian yang biasanya dilakukan di gereja. Sebelum masuknya agama Kristen, deklarasi janji ini dilakukan di bawah bayangan patung nenek moyang.
Selambat-lambatnya satu bulan setelah pernikahan, pengantin akan berkunjung ke rumah orang tua pengantin perempuan yang disebut dengan manörö. Saat manörö dilakukan, kedua pengantin akan membawa makanan dan teman-teman pengiring.
3. Upacara Kematian
Bila seseorang yang mati adalah dari kaum bangsawan, maka gong dan tambur serta gendang akan dipukul. Jika tidak, maka lonceng akan dibunyikan sebagai pengumuman kepada masyarakat jika seseorang telah mati.
Tidak ada orang yang tidak hadir pada saat seseorang meninggal, karena orang Nias memiliki ungkapan berikut:
"Bila kamu datang kepada orang lain,maka orang lain akan datang kepadamu juga; tetapi jika kamu tidak perduli pada orang lain, maka orang lain tidak akan perduli padamu juga."
Di saat kaum wanita menangis, kaum laki-laki akan mendengarkan fahoho yaitu musik tradisional yang memiliki melodi khusus. Akan dipentaskan beberapa jenis tarian jika yang meninggal dari kaum bangsawan, seperti sifomanu, maluaya, mamualö, dan fetele. Semua laki-laki yang hadir akan memakai pakaian pesta perang yang dilengkapi dengan perisai tombak dan pisau.
Selama masa berkabung, kaum kerabat akan mengantarkan makanan kepada keluarga yang berduka karena mereka tidak diperbolehkan menjamah suatu pekerjaan. Tradisi ini disebut dnegan folosi we mata yang berati kegiatan menghapus air mata.
4. Pesta Adat
Selain upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian, ada dua pesta adat dalam skala besar yang sering dilakukan pada masyarakat yang menganut aliran animisme, yaitu:
- Pesta kedudukan atau owasa yang bertujuan untuk memperoleh kehormatan, kedudukan, serta gelar.
- Pesta börö nadu yaitu pesta yang dikaitkan dengan kejadian penciptaan dan terjadinya suku Nias. Seorang yang mengadakan pesta memamerkan kekayaan dalam bentuk barang-barang emas serta menghamburkan kekayaannya dalam bentuk babi yang berjumlah banyak.
5. Upacara Mata Pencaharian
Suku Nias mengenal tiga upacara yang biasa dilakukan dalam pencaharian nafkah, yaitu:
- Upacara membuka hutan atau famohu tanö
- Upacara ini adalah upacara memilih, menetapkan, dan meresmikan tanah sebagai hak milik. Pada upacara ini dilakukan doa permohonan rezeki kepada roh leluhur dan menyembah penguasa hutan.
- Upacara permulaan mengetam atau fanekhe basitö. Tujuan upacara ini adalah untuk memberitahukan pada dewa atau roh dan arwah keluarga bahwa mereka akan memanen padi, terutama kepada roh orang tua dan dilaksanakan di rumah pemilik ladang sampai ke tempat tujuan.
- Upacara Berburu atau Famalö. Upacara ini bertujuan untuk meminta izin penguasa hutan agar binatang-binatang yang merusak tanaman mereka direlakan untuk diburu.
6. Upacara Menolak Bala
Jika ada wabah penyakit yang menyerang maka penduduk desa akan memanggil tuhenöri atau raja adat untuk melakukan upacara menolak bala. Selanjutnya tuhenöri akan memanggil ere atau imam untuk melaksanakan kelanjutan upacara berupa persembahan untuk para dewa.
Artikel ini ditulis oleh Aprilda Ariana Sianturi, peserta program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
Simak Video "Menyaksikan Keseruan di Pinggir Pantai yang Memikat, Nias"
(astj/astj)