Perang Aceh: Latar Belakang, Penyebab, Hingga Tokoh-tokoh yang Terlibat

Perang Aceh: Latar Belakang, Penyebab, Hingga Tokoh-tokoh yang Terlibat

Azkia Nurfajrina - detikSumut
Senin, 30 Okt 2023 19:15 WIB
Ilustrasi perang Aceh.
Foto: Wikimedia Commons
-

Ada berbagai perlawanan yang terjadi selama Belanda menjajah Indonesia di masa lampau. Salah satunya terjadi penolakan besar dari rakyat Aceh terhadap kolonialisme yang dikenal dengan perang Aceh.

Perang Aceh disebut-sebut sebagai perang terlama dalam menentang Belanda menurut catatan sejarah Indonesia. Perang ini diperkirakan berlangsung pada tahun 1873-1904.

Penasaran dengan perang Aceh? Simak latar belakang hingga tokoh-tokoh yang berkontribusi dalam perang Aceh pada uraian berikut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Latar Belakang Perang Aceh

Dilansir publikasi milik Repository Universitas Muhammadiyah Mataram, wilayah Aceh pada zaman dahulu dikenal memiliki sumber daya alam seperti minyak bumi, gas alam, serta rempah-rempah yang melimpah.

Di bawah naungan Kerajaan Aceh, sumber daya alam yang ada dimanfaatkan sehingga mengantarkan Aceh ke masa keemasan. Karena letaknya yang strategis pula, Aceh banyak didatangi berbagai bangsa asing untuk urusan perdagangan sampai diplomasi.

ADVERTISEMENT

Di antara mereka yang mendatangi Aceh, salah satunya ada bangsa yang sejak lama ingin menguasai wilayah tersebut yakni Belanda.

Sekitar tahun 1824 terjadi penandatanganan Traktat London. Perjanjian ini mewajibkan Belanda menghormati kedaulatan Aceh sehingga mereka tidak berani menduduki kawasan tersebut meski menggebu-gebu.

Pada 1871, Traktat Sumatra antara Inggris dan Belanda terjadi sebagai perbaikan Traktat London. Perjanjian ini di antaranya memberikan kebebasan bagi Belanda untuk memperluas kekuasaannya di Pulau Sumatra.

Sejak itu, Belanda bebas melebarkan wilayah kekuasaan ke seluruh Sumatra termasuk Aceh. Mereka tidak lagi menghormati hak dan kedaulatan Aceh yang sebelumnya harus diakui.

Situasi Terjadinya Perang Aceh

Pada tahun 1873, Belanda mengirimkan agresi pertamanya yang dipimpin Mayor Jenderal Kohler bersama 168 orang perwira dan 3800 serdadu menuju Aceh. Sesampai di sana, terjadilah kontak senjata antara pasukan Aceh dan Belanda di daerah pantai barat daya kota Pantai Ceureumen.

Setelah berhari-hari terjadi perlawanan antara keduanya, pasukan Belanda dikalahkan oleh pasukan Aceh dan Jenderal Kohler tewas dalam pertempuran tersebut. Kekalahan membuat Belanda semakin berniat untuk menguasai wilayah Aceh.

Sekitar akhir tahun 1873, Belanda mengutus pasukan keduanya untuk menyerang Aceh di bawah pimpinan Letnan Jenderal van Swieten. Pada 6 Januari 1874, penjajah berhasil menduduki wilayah Pante Pirak, sebelah utara Kutaraja.

Pada 12 Januari di tahun yang sama, Belanda merebut Kuta Gunongan. Hingga pada tanggal 24 Januari, pasukan kolonial mampu menduduki istana Kesultanan Kerajaan Aceh.

Dengan keberhasilan merebut istana, mereka menyangka bahwa Kerajaan Aceh berhasil ditaklukan. Sehingga J. van Swieten mengumumkan bahwa wilayah Aceh Besar menjadi milik Belanda pada 31 Januari 1874.

Meski telah diklaim menjadi milik Belanda, pasukan Aceh di bawah pimpinan Teungku Chik di Tiro dan pemimpin-pemimpin lain telah siap mengusir penjajah dari tanah Aceh. Berbagai serangan pun dilakukan terus-menerus untuk melawan dan melengserkan kedudukan Belanda di Aceh.

Demikian sejak itu, perang Aceh terus berlangsung dan jenderal-jenderal Belanda yang memimpin silih berganti hingga tahun 1891.

Pihak penjajah memikirkan cara yang lebih efektif untuk mengalahkan pasukan Aceh. Sehingga pada tahun 1891, seorang orientalis Belanda yakni Snouck Hurgronje menyamar sebagai orang Islam dan dikirim ke Aceh untuk melakukan penyerangan dari dalam.

Di sana, Snouck Hurgronje mempelajari kekuatan dan kelemahan pasukan Aceh untuk dilaporkan kepada Belanda sehingga mereka dapat menyusun strategi yang pas. Ia juga berusaha mendapatkan kepercayaan dari para tokoh terkemuka, ulama, sampai rakyat Aceh.

Snouck Hurgronje mempelajari pula motivasi yang dimiliki pasukan Aceh dalam berperang yang membuat mereka tidak takut menghadapi musuh. Dan ternyata ia menemukan bahwa semangat jihad untuk membela agama dan tanah air menjadi motivasi rakyat Aceh menjadi tidak pantang menyerah melawan kolonialisme Belanda.

Akhir Perang Aceh

Sambil berbagai serangan terus diberikan Belanda, Snouck Hurgronje terus mempelajari kelemahan pasukan Aceh untuk dijadikan pedoman dalam menyusun strategi perang oleh pihak penjajah.

Kerajaan Aceh pun sampai-sampai memindahkan ibukota dari satu tempat ke tempat lain demi keselamatan Aceh. Sejumlah pejuang hebat pun berguguran, seperti Teungku Chik di Tiro, Teuku Panglima Polem, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, serta yang lainnya.

Pada tahun 1900, Sultan Muhammad Daud Syah memindahkan markas pasukan Aceh ke wilayah Samalanga. Mengetahui ini, Belanda mengangkat Jenderal van Heutsz sebagai gubernur merangkap panglima perang untuk kawasan Kutaraja.

Di bawah pimpinan van Heutsz, Belanda meminta Sultan Muhammad untuk memindahkan markasnya lagi ke tempat lain sekiranya agar penjajah lebih mudah menaklukkannya. Akhirnya, Sultan memilih Tanah Gayo untuk markasnya yang punya pertahanan terjamin.

Namun, van Heutsz jengkel dengan pilihan Sultan Muhammad dan dia kemudian memerintahkan pasukannya untuk kembali menyerang pasukan Aceh dengan kekuatan yang lebih besar.

Jenderal van Heutsz pun menawan keluarga, istri, dan anak dari Sultan Muhammad Daud Syah sebagai ancaman agar Sultan bisa menyerahkan diri kepada penjajah. Akhirnya, Sultan pun menyerahkan diri demi membebaskan keluarganya.

Selain itu, banyak juga dari rakyat Aceh terpengaruh oleh kebaikan Belanda. Karenanya, Kerajaan Aceh mulai runtuh dan berada di bawah kekuasaan Belanda.

Itu tadi uraian mengenai sejarah perang Aceh sebagai perang terlama dalam sejarah Indonesia melawan kolonialisme Belanda.




(fds/fds)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads