Percandian Muara Takus telah diteliti oleh sejumlah pakar purbakala sejak tahun 1860-an. Hasilnya muncul pendapat yang mengemuka tentang masa pendirian Percandian Muara Takus.
Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Riau, Raja Yoserizal Zen mengungkap bahwa muncul pendapat para ahli purbakala di masa pendirian percandian Muara Takus. Hal ini dapat dikatakan hasil interpretasi yang sifatnya relatif.
Raja Yose menyebut kondisi tersebut bisa dimaklumi. Mengingat ketika pendapat itu dikemukakan para ahli purbakala, metode pertanggalan menggunakan carbon dating (C-14) belum diaplikasikan dalam kajian arkeologi di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan alasan tersebut, tahun 2022 Pemerintah Provinsi Riau lewat program pelestarian dan pengelolaan cagar budaya telah melakukan penelitian. Lokasinya ada di areal utama Percandian Muara Takus.
"Penelitian yang kami lakukan bertujuan untuk mendapatkan sampel organik yang akan digunakan dalam analisis pertanggalan absolut menggunakan metode AMS (Accelerated Mass Spectrometry). Lalu analisis terhadap sampel organik berupa arang telah dilakukan oleh Laboratorium Pertanggalan Radiokarbon (Radiocarbon Dating Laboratory) The University of Waikato, Selandia Baru," terang Raja Yose, Rabu (30/8/2023).
Menurut Raja Yose, interpretasi atas hasil analisis pertanggalan pakai metode AMS yang dikorelasikan dengan hasil penelitian sebelumnya. Hal ini menunjukkan tahapan masa pembangunan dan pemanfaatan percandian Muara Takus.
Tahap awal pada sekitar abad ke-3 hingga ke-6 Masehi ditandai kedatangan para bhiksu Buddha menyusuri Sungai Kampar Kanan ke pedalaman hingga ke tapak Muara Takus. Selanjitnya sekitar abad ke-11 hingga ke-14 Masehi, Percandian Muara Takus masih tetap digunakan sebagai lokasi peribadatan Buddha Mahayana Tantrayana, hingga berdirinya Malayupura di Dharmmasraya.
"Hasil kajian tahun 2022 membuktikan bahwa percandian Muara Takus telah dibina pada abad ke-7 Masehi bersamaan masa ketika Kerajaan Sriwijaya mendeklarasikan eksistensinya di bagian selatan Pulau Sumatera. Ketika Sriwijaya tumbuh dan berkembang sebagai suatu kekuatan dominan di Nusantara bagian barat pada abad ke-8 hingga ke-9 Masehi, peradaban ini terus berlangsung hingga abad ke-14 Masehi sampai pada masa akhirnya di abad ke-15 Masehi," katanya.
Bukti disampaikan oleh: J.L. Moens (1937), yang memperkirakan bahwa percandian ini berasal dari abad ke-7 hingga ke-8 Masehi, atau sejak berdirinya Sriwijaya.
Dapat dipahami bahwa salah satu hal yang menarik untuk dapat dikaji lebih luas lagi yaitu terkait isi dari sebuah Prasasti yang berangka tahun 679 Saka (775 Masehi) yang ditemukan di Wat Sema Muang, Nakhon Si Thammarat, Thailand Selatan. Prasasti ini dikenal dengan sebutan Prasasti Ligor yang berbahasa Sansekerta.
Baca selengkapnya di halaman berikut...
Prasasti ini dipahati di kedua sisinya dan memuat berbagai informasi kehidupan keagamaan Buddha khususnya aliran Vajrayana dalam Buddha Mahayana. Dari sumber itu, tentu bukan tidak mungkin bahwa Prasasti Ligor merupakan prasasti yang justru berasal dari Percandian Muara Takus, bukan di wilayah Thailand Selatan.
Sejumlah alasan yang mengemuka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya prasasti Ligor berhubungan dengan Percandian Muara Takus. Prasasti batu itu semula berada pada kawasan Percandian Muara Takus.
Namun karena sesuatu sebab prasasti kemudian dipotong dan dibawa untuk kemudian terdampar di Nakhon Si Thammarat. Pemerintah Provinsi Riau melihat bahwa perlu adanya sebuah kerjasama di bidang penelitian atau kajian dengan pemerintah-pemerintah daerah lainnya seperti Jambi, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara yang memiliki tinggalan arkeologis peninggalan Buddha di Sumatera.
Bukan tanpa alasan, Raja Yose melihat hal itu karena rentang masa yang kurang lebih sama. Bahkan pada setiap daerah juga tumbuh dan berkembang suatu peradaban yang berlatar belakang agama Buddha pada daerah-daerah tersebut.
Oleh sebab itu, mustahil jika tinggalan-tinggalan arkeologis monumental pada masing-masing daerah terjalin interaksi intensif dalam kerangka besar kerajaan Sriwijaya.
"Kiranya di masa mendatang memang perlu diadakan kajian komprehensif yang melibatkan para pakar sejarah dan arkeologi yang tergabung dalam lembaga pemerintahan pusat dan daerah selain dari lembaga non Pemerintahan lainnya seperti asosiasi profesi Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) dan Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI)," kata Yoserizal.
Secara terpisah Gubernur Riau Syamsuar meyakini bahwa masih banyak potensi peradaban masa lalu yang perlu diungkap dari wilayah Provinsi Riau.
"Adanya bukti-bukti baru yang ditemukan belum lama ini semakin meyakinkan kita bahwa tinggalan arkeologis yang berkelindan dengan sejarah peradaban dunia dapat dimunculkan dari Riau. Karena itu pula diperlukan kajian-kajian lanjutan oleh pihak-pihak yang berkompeten untuk menguaknya," kata Syamsuar.
Pemerintah Provinsi Riau masih terus menelusuri Percandian Muara Takus. Penelitian dilanjutkan setelah dilakukan pada tahun 2022, peneliti fokus pada pengambilan sampel arang dari hasil tes pit di zona inti dan tanggul tanah.
Untuk itu didapati hasil pembacaan analisis pertanggalan menggunakan metode AMS. Angka tahun yang ditampilkan merupakan hasil kalibrasi OxCal, dalam kurun Masehi sebagai berikut:
1. TP-01/01: 900 M / awal abad ke-10 M (probabilitas 92,4 %)
2. TP-02/02: 830 M / awal abad ke-9 M (probabilitas 94,8 %)
3. TP-02/03: 240 M / pertengahan abad ke-3 M (probabilitas 95,4 %)
4. TP-03/04: 1820 M / awal abad ke-19 M (probabilitas 47,0 %)
5. TP-03/05: 1230 M / awal abad ke-13 M (probabilitas 91,2 %)
6. TP-04/06: 1810 M / awal abad ke-19 M (probabilitas 57,7 %).
Simak Video "Video: Puncak Kemarau Riau Bakal Terjadi Juli, Potensi Karhutla Meningkat"
[Gambas:Video 20detik]
(ras/dhm)